tirto.id - (Bagian terakhir dari 5 seri. Bagian sebelumnya bisa dibaca di sini)
Bersama masuknya kehidupan rumah tangganya yang kedua, kepengarangan Pramoedya Ananta Toer menemukan jalan terang. Tulisan-tulisannya, meski sebagian ditolak, tetap memperoleh apresiasi di lingkungan sastra Indonesia. Beberapa kali, dia diundang kunjungan ke luar negeri, termasuk menjadi Ketua Delegasi Indonesia di Konferensi Pengarang Asia-Afrika di Tashkent, Uni Soviet, pada 1957.
Selain ke luar negeri, kiprah Pram di dalam negeri juga makin moncer. Dia, misalnya, dapat kesempatanmenjadi anggota rombongan Departemen Pengerahan Tenaga Rakjat untuk meninjau keadaan di Banten Selatan. Amatannya atas kondisi di sana kelak dia olah menjadi novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan yang diterbitkan pertama kali pada 1958. Pada 1959, ceritanya itu dipanggungkan oleh kelompok sandiwara Dahlia di Medan.
Puncaknya, Pram diundang dalam Kongres I Lembaga Kebudajaan Rakjat (Lekra) di Solo pada Oktober 1959.
Dalam kiprahnya yang menanjak itu, tidak sekali-sekali Pram meninggalkan urusannya di rumah. Putri sulung Pram dan Maimunah, Astuti, mengungkapkan dalam Pram Melawan! (2011), “Mami juga cerita kalau sampai saya bocah, dia itu nggak mandiin anak. Papi yang ngurusin saya.”
Titiek, sapaan akrab Astuti, juga mengenang ayahnya sebagai sosok yang romantis dan berusaha memanjakan istri.
Enggan berlama-lama hidup susah, dengan perintah dan ongkos tambahan dari mertua, Pram membeli sebuah rumah permanen di Rawamangun. Rumah itu cukuplah layak: berdinding tembok, dengan kamar mandi dan kakus milik sendiri.
“Rumah itu besar, memanjang ke belakang, dengan beberapa jendela kaca untuk kamar tamu dan jendela kayu untuk tiga kamar tidurnya. Lantai rumah dari tegel bersih, dan sehat, karena letaknya tinggi,” ujar Koesalah Soebagyo dalam memoar Bersama Mas Pram (2009, h. 204).
Tak mengeluh di waktu susah dan tak silau di waktu jaya, Pram selalu menyanjung dan mengunggulkan Maimunah. Dia adalah sosok yang lembut dan tabah, pendamping bagi Pram yang berhati keras.
Dalam surat kepada putrinya dari istri pertama yang bertitimangsa 1975, Pram tak ragu memuji, “Sebagai istri, pada tahun ini Maimunah Thamrin telah melayani aku dua puluh tahun. Melayani tidak dalam makna kiasan, sungguh-sungguh harfiah.”
Masih pula Pram menyambung, “Ia tidak pernah mengusir aku, tidak pernah mencakar aku, ia temani aku dari kemiskinan luar biasa pada awalnya, melalui dukacita dan kesukaan. Ia urus aku sewaktu ditahan tidak menentu antara 1960-1961. Ia tunggui aku di depan penjara RTM dalam keadaan mengandung. Satu tahun lamanya aku ditahan. Satu tahun ia mengurus aku.”
Meski demikian, Maimunah bukannya selalu bisa memahami pendirian dan tabiat suaminya. Dia sangat paham obsesi Pram untuk mempunyai anak laki-laki. Selama sembilan tahun menikah, Maimunah melahirkan empat anak perempuan. Yang sulung, Astuti, lahir pada 1956, disusul Arina, Rita, dan Tatiana.
Barulah di kehamilan kelima, Pram dan Maimunah dikaruniai anak laki-laki. Yudhistira, si bungsu, lahir pada 29 Juli 1965.
“Pak Pram memang sangat gembira mendapat anak laki-laki. Kegembiraan itu ia ungkapkan dengan cara nyanyi terus, nyanyi sambil kerja, walaupun tak pernah tuntas, sepotong-sepotong saja. Jadi ia nulis dan kerja sambil nyanyi terus,” kisah Maimunah saat diwawancarai (2011, h. 474).
Masa Puncak, Lalu Amblas
Di masa Yudi lahir, Pram sudah menjadi pengarang garis depan. Dia adalah redaktur ruang “Lentera” di surat kabar Bintang Timur.Dia juga dikenal galak dan lantang menghardik seniman-seniman yang setengah hati mendukung Manipol.
Lain itu, Pram masih pula diangkat jadi penasihat di pabrik pensil, juga dosen di Universitas Res Publica dan Akademi Sedjarah Ranggawarsita. Dia juga berhasil membangun perpustakaan yang dia impikan di rumahnya di Rawamangun.
Jumlah bukunya tak tanggung-tanggung, mencapai 20.000 buku. Itu sudah mencakup manuskrip kuno dan cetak timah foto-foto yang dapat digunakan untuk buku-bukunya. Sekarang, dia lebih banyak bekerja di perpustakaan itu, menulis naskah buku, menyusun kliping, membaca, sampai mengurus rubrik asuhannya di Bintang Timur.
Sampai-sampai, Pram tidak memperhatikan lingkungan luar. Juga ketika situasi politik di Jakarta makin tegang pascahuru-hara 1 Oktober 1965.
Suatu hari, selagi Pram bekerja seperti biasa, Maimunah pergi ke rumah orang tuanya. Pram ia tinggali sepanci sup daging manila untuk santapan. Bersama Pram, ada Koesalah, adik nomor enam yang tengah pulang dari Moskow untuk keperluan menyiapkan disertasi doktoral di Indonesia.
Kalender hari itu menunjuk 13 Oktober 1965. Tak dinyana, sup daging manila itu adalah masakan terakhir yang dinikmati Pram sebagai warga negara merdeka. Malam itu, rumah Pram diserbu dan dilempari batu besar dari persil tetangga yang sedang dibangun. Perpustakaannya dibakar, bersama delapan naskah buku yang belum rampung. Pram dan adiknya lalu “diamankan” oleh sepasukan tentara.
Lebih tak dinyana, “pengamanan” itu ternyata tidak sebentar. Secara total, Pram “diamankan” negaraselama 14 tahun. Selama itu, dia berpindah-pindah terungku, dari Salemba, Tangerang, Nusa Kambangan, sampai dibawa ke Pulau Buru. Dalam “pengamanan” itu, Pram diberi gelar baru: tapol, singkatan tahanan politik.
“Yang melihat pembakaran itu, Ibu [Maimunah—red], waktu pagi mendengar berita ada penyerbuan. Dia pulang, nggak boleh masuk, tapi lihat pembakaran di belakang rumah. Saya sendiri tidak melihat,” kisah Pram getir kepada Andre Vltchek dalam film dokumenter Terlena (2004).
Maimunah pun berkisah serupa, “Ketika Pak Pram diambil, saya tidak membayangkan akan selama itu. Saya tidak menyangka akan tahunan, paling beberapa bulan akan keluar.”
Itu dugaannya semula. Maka Maimunah tidak mempunyai persiapan apa-apa, termasuk untuk kehilangan rumah kecintaannya.
Kini, peransebagai tulang punggung keluarga sekaligus pendidik anak—yang tertua belum 10 tahun—jatuh pada Maimunah. Tak ingin melihat istrinya hidup nelangsa, Pram dengan ikhlas hati mengizinkan Maimunah menikah dengan laki-laki lain yang bisa menjamin hidupnya.
Namun, seperti saat diajak menikah Pram dulu, Maimunah tidak mengeluh, apalagi meminta cerai.
Sendiri Memegang Kemudi
Dengan segala daya dan intuisi seorang ibu tunggal, Maimunah memanfaatkan kulkas pemberian adiknya untuk membuat es mambo. Sepulang sekolah, anak-anak bersalin seragam dan berangkat menjajakannya. Dia juga membuat kue-kue jajanan pasar, bahkan sampai menerima pesanan.
Satu buah mobil taksi pun tak dibiarkannya menganggur. Setiap sore, dia tanpa segan menerima setoran taksi.
Meski sudah mengusahakan segala jalan halal untuk memutar roda ekonomi rumah tangga, hidup tak serta-merta jadi mudah bagi Maimunah. Urusan birokrasi salah satunya. Dia dipersulit bahkan ditolak kala mengurus surat-surat jika menggunakan nama “Ananta Toer”. Demikianpun anak-anaknya.
“Maka saya putuskan untuk ganti nama jadi Maimunah Thamrin. Ini taktis agar saya dapat kembali terima surat dan gampang mengurus surat-surat di kelurahan,” ungkapnya (2011, h. 476).
Goresan mangsi di atas kertas yang tidak sekali dititiki air mata kerinduan jadi satu-satunya penghubung Maimunah dan Pram, juga anak-anaknya. Sebuah foto Pram juga dipasang di kamar anak-anak agar mereka tak lupa wajah sang ayah.
Melalui surat-surat itu pula, Pram mengontrol perkembangan anak-anaknya, secara fisik maupun intelektual.
“Kalau kita kirim surat ke Buru itu setengah tahun baru sampai,” kenang Astuti berkaca-kaca dalam sebuah episode dokumenter Melawan Lupa.
Sebisa mungkin Pram membalas surat-surat itu. Ada yang sampai, ada juga yang gagal lolos sensor penguasa Tefaat Buru. Surat-surat Pram yang tak terkirim nantinya dibukukan dalam jilid dua Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. Sementara itu, surat-surat balasan yang berhasil terkirim dipamerkan dalam sebuah pameran arsip dan memorabilia khusus di Dia.Lo.Gue Art Space, Jakarta, pada 2018 lalu.
Empat belas tahun Maimunah memegang sendirian kemudi rumah tangga. Empat belas tahun pula anak-anak Pram dipaksa negara bertumbuh tanpa bapak. Titiek, yang sewaktu Pram ditangkap baru berumur 9 tahun, berhasil lulus Sekolah Menengah Farmasi. Si bungsu, Yudi, yang ketika Pram tinggalkan belum ada setengah tahun, sudah jadi pemuda remaja.
Tangan dingin Maimunah membesarkan mereka dengan melewati berbagai persekusi dan intimidasi sosial.
“Sampai sekarang saya masih takut kalau lihat baju hijau. Bahkan kalau dengar ada gerakan sepatu laras lewat depan rumah Utan Kayu saya masih merasa ketakutan.”
Ketika kabar pembebasan terdengar pada 1977, Maimunah harap-harap cemas menanti kepulangan suaminya. Demikianpun terjadi pada awal November 1979, saat gelombang tapol terakhir diberangkatkan dari Buru dan diperkirakan sampai di Tanjung Priok pada 20 November. Maimunah mengerahkan anak-anaknya untuk membenahi rumah dan mengadakan acara penyambutan.
“Bunga-bunga dan tulisan ‘Selamat Datang Papa Tercinta’ dipersiapkan di ruang tamu. Semalam suntuk keluarga ini tak mampu memejamkan mata karena membayangkan hari esok. Menjemput, bertatap muka, dan berkumpul kembali dengan suami serta ayah tercinta,” tulis Kompas 2 (Desember 1979)dalam reportase “Ny. Pramudya Ananta Toer Mencari Suaminya”.
Bersama sampai Akhir
Harapan keluarga seketika ambyar ketika mengetahui Pram tidak ada dalam rombongan 1.874 tahanan politik yang mendarat hari itu. Informasi yang kemudian diperolehnya dari Jenderal Yoga Sugama adalah Pram berada “di suatu tempat di Pulau Jawa dan tidak di Jakarta”. Hanya itu.
Belakangan diketahui, Pram dipisahkan bersama 40 tapol lain yang dikategorikan “kepala batu” di Tanjung Perak. Mereka kemudian diangkut dan ditahan di Penjara Banyumanik.
“Andai saya tahu kalau demikian adanya, tentu tidak akan sekecewa ini,” keluh Maimunah.
Perjumpaan baru berhasil dilakukan sewaktu Pram benar-benar dibebaskan pada 21 Desember 1979 pukul 09.00. Kompas memberitakan suasana pertemuan mereka di halaman Penjara Salemba itu dalam edisi 22 Desember 1979.
Diantarkan dalam sebuah pikap, Kompas menulis, “Seorang di antaranya berseru, ‘Pram itu keluargamu!’ Dan yang dipanggil memperjelas pengamatannya ke arah seorang wanita yang dengan setengah berlari mendekatinya. Tanpa kata-kata mereka berpelukan. Hanya tekanan raut muka yang mengandung dendam rindu selama empat belas tahun berpisah itu yang berbicara. Mereka berpelukan erat dan berciuman, di antara kerumunan manusia yang tertegun tanpa gerak menyaksikan adegan tersebut.”
Gambar pertemuan itu diabadikan dan kelak menghiasi sampul belakang jilid pertama Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (1995). Sesuai janjinya dalam sebuah surat, Pram yang waktu itu telah berusia 54 tahun menggendong Titiek yang telah berusia 23 tahun.
Banyak yang berubah dalam diri Pram sesudah dibebaskan, mulai dari perawakan dan penampilannya sehari-hari.
“Dulu, sebelum ke Buru, saya senang melihatnya. Dia selalu rapi bersepatu, pakai kemeja, celana panjang. Sekarang lihat saja, tidak keruan. Kalau dulu dia rapi, bahkan ketika merokok kalau ada abu jatuh, dia akan bersihkan dengan ludah. Sekarang? Kalau lihat dapur rumah kami, wah.... sudah berantakan semua,” cerita Maimunah.
Perbedaan lain, dia menjadi semakin keras dan apa yang ia mau harus dituruti tanpa tawar-menawar—kemungkinan besar sebagai wujud penyesalan atas hilangnya umur produktif selama pengasingan. Penulis Tetralogi Buru itu juga menjadi sangat cerewet soal makanan.
“Namun, walaupun dia kasar, saya sama sekali belum pernah dibentak, apalagi dipukul. Malah saya yang kadang bentak-bentak, misalnya ketika dia pakai sepatu yang belepotan tanah ke dalam rumah,” aku Maimunah.
Satu yang tidak hilang, Pram tetap romantis. Menulis di dapur, contohnya, adalah salah satu alasan Pram agar bisa dekat dengan istrinya. Ketika pindah rumah ke Bojonggede—yang dibangun dari royalti buku-buku Pram yang diterjemahkan, mereka berjalan kaki bersama mengitari taman dan kebun yang luas.
Bagi Pram, waktu yang hilang memang tak bisa kembali. Namun, tidak dengan cinta yang dia jaga sampai berpulang ke keabadian pada 30 April 2006.
Penulis: Chris Wibisana
Editor: Fadrik Aziz Firdausi