tirto.id - (Bagian ke-4 dari 5 seri. Kisah sebelumnya bisa dibaca di sini)
Berbunga-bunga di awal, berantakan di akhir. Demikianlah kisah cinta dan perjalanan rumah tangga Pramoedya Ananta Toer dan Arvah Iljas. Tak sampai lima tahun, bahtera rumah tangga mereka karam.
Usai bercerai, Pram keluar dari rumah mertuanya dan turut bergabung dengan adik-adiknya di sebuah kontrakan di Rawamangun. Hanya pakaian dan buku yang dibawa Pram keluar dari rumah di Kebon Jahe Kober.
Koesalah masih ingat, abangnya datang dengan becak pada suatu petang yang gerimis dan dari luar berseru, “Aku ikut tinggal di sini!”
Secara intuitif, ucapan itu dipahami Koesalah bahwa rumah tangga Pram benar-benar karam dan tidak bisa diselamatkan.
Dicerai istri dan diusir dari rumah mertua, Pram cukup lama berada dalam keterpurukan. Dia berusaha teerus menulis, tetapi writer’s block menghalangi jari-jarinya menari. Kepercayaan diri dan kesehatan mental yang baik tidak berhasil dia andalkan untuk bekerja. Keadaan ini berpengaruh langsung pada pemasukannya yang kian seret.
Gambaran bagaimana Pram amat belangsak dalam waktu ini ditulisnya dalam cerita pendek “Sunjisenjap Disiang Hidup” yang dimuat majalah Indonesia, No. 6, Th. VII, Juni 1956.
Dengan dompet yang tetap sering cekak, menu makanan Pram sehari-hari tidak berubah banyak. Bedanya, sekarang Koesalah yang harus belajar memasak hidangan sederhana, seperti sayur asam, tempe goreng, dan sambal terasi.
Hanya pada waktu-waktu tertentu, mereka dapat menyantap hidangan istimewa. Itu dibawakan dalam rantang susun oleh seorang gadis yang telah menjadi tambatan hati Pram. Gadis itu, Maimunah Thamrin, adalah cahaya baru di hati Pram.
Mereka bersua pertama kali dalam Pekan Buku Indonesia 1954, pameran buku pertama di Indonesia. Ekshibisi besar ini dihelat Penerbit Gunung Agung di Gedung Pemuda di Decca Park (sekarang Lapangan Gambir dalam kompleks Monumen Nasional). Dalam ekshibisi itu, beberapa teman Pram ikut menjaga stan penerbit masing-masing, antara lain Soekanto S.A., sampai Ajip Rosidi yang waktu itu belum 17 tahun.
Pram sejatinya tidak berkepentingan datang ke pameran itu. Dia mengaku hanya “keluyuran” karena writer’s block membuat daya menulisnya macet.
Pada sebuah stan, perhatian Pram tertambat pada dua perempuan yang menjaga sebuah stan dan belakangan dia tahu bersaudari putri H. Abdillah Thamrin, adik kandung Mohammad Hoesni Thamrin. Pram ingat keadaannya yang nelangsa waktu itu: kantung kempis, tampang pucat, dengan berat badan 49 kilogram, mengenakan celana corduroi longgar.
“Rokok pun saya minta dari dia. Waktu pameran saya tungguin aja dia. Setelah dua hari saya tanya, ‘Mau enggak nikah dengan saya?’ ‘Mau,’ katanya ha...ha...ha... gitu aja,” tukas Pram dalam wawancara yang dibukukan dalam Pram Melawan (2011, h. 198).
Demikianlah, mereka mulai berkencan dengan situasi nyaris terbalik. Bukan Pram yang mendahului dengan berkunjung, tapi sebaliknya, dia sering dikunjungi Maimunah. Kunjungan-kunjungan Maimunah kepada Pram pada akhirnya berdampak bagus bagi psikologi Pram.
Maimunah memulihkan kepercayaan Pram akan cinta. Maimunah, yang dia gambarkan dalam figur “Dini” dalam cerpen “Sunjisenjap”, disebut Pram, “....mentjoba untuk dapat menghargainja, dapat mengerti kehidupan seorang pengarang, dan karenanja menjediakan diri mendjadi istrinja.”
Kepribadian Maimunah segera membuat dunia Pram yang kelabu mendadak silau. Mata kepalanya sendiri melihat betapa Maimunah terampil mengurus rumah sehingga selalu tampak resik. Pun Maimunah tak mempermasalahkan kemelaratan Pram, selain juga menolak untuk terus dimanja-manja.
Pada keutamaan pribadi yang terakhir ini, lambang kemandirian perempuan, Pram menemukan kembali mendiang ibunya yang berkarakter sama. Semua nilai tambah dalam diri Maimunah yang tak dia temukan dalam istrinya yang lalu, membuat Pram mantap meminang kemenakan M.H. Thamrin tersebut pada 19 Februari 1955, dalam sebuah upacara jatmika yang dihadiri Nugroho Notosusanto, M.S. Ashar, Sobron Aidit, S.M. Ardan, dan Ramadhan K.H.
Orang terakhir menyelamatkan Pram dari rasa malu lantaran dengan sigap menawarkan isi dompetnya saat Pram dimintai mas kawin oleh penghulu. Maklum, dompet Pram sendiri cuma berisi angin belaka. Koesalah mengenang mantenan abangnya itu dengan hujan deras yang turun, tanda baik dan berlimpah rezeki.
Teman di Lembah dan Puncak Hidup
Setelah menikah sampai beberapa waktu lamanya, Pram tinggal di rumah mertuanya, H. Abdillah Thamrin. Tak mau mengulang pengalaman yang sama, Pram kemudian memboyong Maimunah untuk tinggal sendiri di sebuah rumah petak di Rawamangun.
Rumah itu terletak di belakang sebuah toko kelontong di pinggir jalan. Kondisinya tak jauh beda seperti kontrakan adik-adik Pram, ia malah lebih kecil dan sempit.
Bagi Maimunah, keadaan sekarang jelas jauh berbeda ketimbangkehidupan mapan bersama orang tuanya. Di depan rumah mereka ada sumur umum; di sanalah ia mencuci, demikian kamar mandi umum di dekatnya, juga dipakai secara kolektif. Cara hidup seperti itu, bersama beragam cerita lain yang dikhayalkan Pram tentang kehidupannya di kampung kota itu, kelak dibukukan dalam Tjerita dari Djakarta yang pertama kali terbit pada 1957.
Di awal berumah tangga bersama Maimunah, keadaan ekonomi Pram sebagai pengarang tak jauh beda dari sebelumnya. Meski begitu, dia terus bergerak dan berupaya.
Pernah dia diundang untuk menghadiri peringatan kematian pengarang Lu Hsun pada 1956. Kunjungan itunantinya ditafsirkan oleh lawan-lawannya sebagai momentum banting setirnya ke kubu kiri. Ini sekaligus awal dari penolakan tulisan-tulisannya oleh media-media antikomunis.
Pram yang pernah menjadi kontributor Star Weekly—mingguan terkemuka di masa itu—kemudian tak pernah lagi diundang menulis. Padahal, dia terus terang mengakui honorarium Star Weekly termasuk yang paling besar yang ia terima dari majalah, tanda apresiasi yang tinggi.
==========
Bersambung ke bagian ke-5.
Penulis: Chris Wibisana
Editor: Fadrik Aziz Firdausi