tirto.id - Ingatan “Aku” berkisar-kisar tentang berbagai hal, selagi dia duduk di perjalanan kereta api yang membawanya dari Jakarta ke Blora. Dari jendela, matanya tertuju pada gundukan tanah, sawah yang tandus, ladang-ladang, rongsokan mesin-mesin peninggalan dari zaman perang. Sebentar-sebentar, dia pun teringat akan surat ayahnya yang membuatnya menggigil karena sesal yang mendalam.
Nun di Blora sana, sang ayah tengah tergolek lemah melawan tuberkulosis.
Bersamaan dengan laju kereta, ingatan itu membentuk mozaik abstrak, sebelum tiba-tiba berantakan karena suara perempuan dari sebelahnya.
“Jangan terlalu lama di Blora. Barangkali kalau nanti terlalu lama, aku terpaksa pulang dahulu.”
Permintaan itu membuat si Aku kesal. Dia memandang istrinya itu dan menjawab sekadarnya.
“Kita lihat keadaannya dulu.”
Diam-diam Aku menyimpan gerutu dalam hati.
“Dulu,” kata Aku bersenandika, “dulu sebelum bertunangan, matanya amat bagus dalam perasaanku. Tapi kebagusan itu telah lenyap sekarang. Ya, matanya seperti mata orang-orang lainnya yang tak menarik perhatianku.”
Kereta berjalan terus dan si Aku meneruskan renungannya. Dapat ditebak, hari-hari sesudahnya, sosok perempuan yang menyertai perjalanan si Aku membesuk ayahnya tidak meringankan beban di kepala. Malah beberapa kali dia membuat suasana canggung.
Demikianlah fragmen dalam roman Bukan Pasar Malamkarya Pramoedya Ananta Toer.Terbit pertama kali pada 1951, roman tipis itu berlatar belakang perjalanan Pram sendiri menemukan kembali keluarganya di Blora usai ditinggalnya selama hampir delapan tahun.
Apa yang dijumpainya kemudian memang bikin hati nelangsa: ayah yang sakit-sakitan, adik yang banyak dengan jarak usia rapat, dan rumah orang tua yang lapuk. Masih pula Pram dihadapkan pada istri yang cerewet.
Setelah ayahnya berpulang, semua masalah itu harus dia pikul sendirian sebagai anak tertua. Beban hidup bertambah, sementara pemasukannya tidak stabil. Tak dinyana, percikan-percikan yang lahir dari kekecewaan istrinya akan penghidupan demikian mengantarkan Pram pada petualangan cinta dalam hidupnya. Tentang harga yang harus dia bayar untuk menemukan sosok belahan jiwa sejati.
Menyemai Cinta dari Penjara
Pram mengalami asmara pertama kali saat menjadi letnan dua Tentara Republik Indonesia (TRI) di garis pertahanan Cikampek. Pengakuan itu dia tulis dalam sepucuk surat dari Pulau Buru yang ditujukan kepada Nenny, salah seorang putrinya, tertanggal pertengahan Juli 1975.
Surat bertajuk “Jawaban Batin” itu kemudian dihimpun dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu II (1997) bersama surat-surat Pram kepada anak-anaknya yang lain. Itulah surat-surat yang tidak berhasil dikirim karena tidak lolos sensor petugas Instalasi Rehabilitasi Pulau Buru.
Sepengakuan Pram, benih-benih cintanya bertumbuh dari perasaan kagum dan terpesona saat menyaksikan seorang gadis menyanyi di pendopo Kawedanan Cikampek. Gadis itu menumbuhkan kesan pertama yang kuat di hati Pram. Dia punya segala yang diidamkan Pram saat itu, yaitu perawakan yang kukuh dan tegap, berani tampil di depan orang banyak, dan tidak pemalu.
Gambaran itu sangat berbeda ketimbang Pram sendiri yang kurus-kering, menderita gangguan perut, serta rendah diri atau yang dia istilahkan inco—singkatan inferiority complex. Gadis penyanyi itu cocok betul dengan impian Pram.
“Dan sebagai seorang pemalu, aku tak ada ketabahan untuk berusaha berkenalan dengannya. Aku sering mengenangkan wajahnya yang bulat dan matanya yang besar,” tukas Pram dalam suratnya (hlm. 174).
Wajah bulat serta mata besar itu mengingatkannya pada bintang film Amerika dan Eropa yang pernah dia lihat dalam majalah-majalah Belanda.
Waktu pun berlalu. Pram memilih keluar dari dinas kemiliteran pada 1 Januari 1947. Pram lelahpada arogansi tentara yang tak segan membunuh warga sipil tanpa senjata. Dia kemudian memilih bertekun dalam tugas-tugas kepengarangan sebagai wartawan majalah Siasat.
Keberpihakan Pram pada perjuangan republik lantas mengantarnya ke penjara Belanda di Bukit Duri pada 21 Juli 1947. Pemenjaraan itupun didahului perampasan terhadap sejumlah naskah awalnya, seperti Mereka yang Dilumpuhkan dan Di Tepi Kali Bekasi.
Terungku sementara mengalihkan Pram dari dunia tulis-menulis ke kewajiban kerja paksa.
“Aku kerja nyingkirin besi-besi bekas alat berat. Juga mbabati alang-alang di Lapangan Gambir, Lapangan Terbang Kemayoran, dan Jatinegara,” kisah Pram pada adiknya, Koesalah Soebagyo, sebagaimana dicatat dalam reminisensi Pramoedya Ananta Toer Dari Dekat Sekali (2006, hlm. 150).
Seingatnya, untuk 3 jam kerja satu hari, dia diupah 24 sen. Upah kerja paksa itu digunakan untuk membeli bacaan dengan pertolongan Komite Korban Perang—kolektif kemanusiaan yang diketuai oleh Erna Djajadiningrat. Berkat buku-buku itu, Pram tidak benar-benar kehilangan kontak dengan dunia luar.
Bahan bacaan itu juga, dilengkapi dengan perpustakaan kecil di penjara, membuatnya mampu menulis dua novel yang kemudian diselundupkan berkat bantuan G.J. Resink, Perburuan dan Keluarga Gerilya.
Akhir 1948, komandan penjara mulai mengizinkan tahanan dibesuk. Tanpa Pram duga, salah satu yang rutin membesuk dan membantunya mendapatkan kertas untuk menulis secara sembunyi-sembunyi adalah gadis dari pendopo Cikampek dulu. Pram pun berkenalan dan jadi lebih dekat dengan gadis yang mewarnai angannya itu.
Arvah Iljas, demikian nama si gadis yang rutin beranjangsana ke penjara setiap pekan itu. Semasa Jakarta diduduki Belanda, Arvah bekerja sebagai operator telepon di Kantor Pusat Telepon di Gambir. Dalam salah satu kunjungan itulah, Pram melamar Arvah.
“Dengan sadar aku tak mau melihat pada kekurangan mamamu. Ia tidak melihat pada kekuranganku,” kisah Pram pada putrinya (hlm. 176).
Maka jam-jam besuk yang tak berapa lama pun bertambah agenda menjadi persiapan membangun rumah tangga.
Kisah kasih yang berjalin dari jeruji besi itu menemukan titik terang saat Pram menerima pembebasan berdasarkan Besluit no. 304 tertanggal 2 Desember 1949 yang ditandatangani oleh Letnan Kolonel B.P. de Vries atas nama Basis Komando KNIL Batavia.
Langkah Pram begitu ringan ketika keluar penjara. Dunia seakan berada dalam genggamannya: tanah air yang segera bebas; kekasih yang telah mempersiapkan rumah tangga; dan reputasi kepengarangan yang membuat namanya mulai naik daun.
“Aku seorang pemuda yang punya hari depan gilang-gemilang, setidaknya demikian menurut perasaanku. Dan aku rasai kekuatan tak terbatas untuk menulis,” tukas Pram.
Karena segan kembali ke rumah pamannya, Pram menerima undangan Arvah untuk tinggal di rumah orang tuanya di Kebon Jahe Kober Gang III. Mereka pun meneruskan pacaran sambil mempersiapkan rencana pernikahan yang didorong orang tua Arvah supaya dipercepat.
Dalam pekan-pekan bersamaan, Pram diberitahu oleh seorang temannya yang bekerja di redaksi koran Merdeka bahwa novelnya, Perburuan, menerima Hadiah Pertama Sayembara Balai Pustaka. Ganjarannya lumayan, uang tunai 1.000 gulden atau lima belas kali honorarium tulisan yang biasa dia terima.
Uang itulah yang menjadi sangu bagi hajatan pernikahan sekaligus untuk membeli mahar.
Pasang Surut Rumah Tangga
Jumat Legi, 13 Januari 1950. Itulah hari bahagia pasangan Pram dan Arvah. Dengan bersumpah setia di muka penghulu, Pram menapaki jenjang kehidupan barunya menjelang usia 25 tahun.
Di antara tamu yang hadir di hajatan itu ada M.S. Ashar, G.J. Resink, Andjar Asmara, beserta rekan-rekannya dulu saat penjara. Dari karangan bunga yang datang, tampak satu papan kiriman Mayor Soegandhi, ajudan Presiden Sukarno. Kiriman ini bukan ramah tamah belaka karena beberapa pekan sesudahnya, Arvah ikut dimutasi dari Kantor Telepon Gambir menjadi operator telepon Istana Negara.
Biduk rumah tangga Pram berpacu dengan gejolak sentimental nasionalisme yang masih pekat. Menganggap bermatapencaharian sebagai kooperator di negara Republik Indonesia Serikat, Pram meminta istrinya berhenti bekerja di pemerintahan yang dinilai masih erat dengan kekuasaan Belanda.
Arvah memenuhi permintaan itu. Sebagai konsekuensinya, Arvah meminta Pram mencari pekerjaan tetap agar dapur mereka tetap berasap. Dari sini, Pram belajar mengetahui kelemahan istrinya di samping kelemahannya sendiri.
“Aku adalah orang yang tidak suka diperintah, juga tak suka memerintah. Mamamu sebaliknya suka ngambek. Dalam keadaan seperti itu, ia lebih suka menaungkan diri di bawah orang tuanya daripada menyelesaikan persoalan,” jelas Pram (hlm. 184).
==========
Bersambung ke bagian II.
Penulis: Chris Wibisana
Editor: Fadrik Aziz Firdausi