tirto.id - Bagaimana manusia mengkonsumsi berita hari ini jelas berbeda dengan masa lalu. Perkembangan teknologi menjadi faktor utama perubahan itu. Media cetak seperti koran digantikan oleh media elektronik seperti radio dan televisi. Kini, pergantian pun terjadi. Internet dan teknologi di sekelilingnya kian menggeser posisi koran, radio, dan televisi.
Banyak media konvensional mengubah platform dari cetak ke portal online. Televisi dan radio pun bersiap dengan perubahan infrastruktur. Dunia kemudian mengenal frasa “dot-com bubble.”
Perubahan teknologi pun merembet pada cara kita menjalani keseharian. CEO Kurio David Wayne Ika dalam pemaparannya tentang “Homeless Media” di acara ICON 2017 Media Now mengungkapkan revolusi internet memiliki kegentingan yang sama dengan apa yang terjadi saat revolusi industri.
Dengan revolusi internet, nilai ekonomi berubah. Hari ini, masalah tidak terjadi pada proses produksi atau distribusi, tapi terletak pada mengkontrol konsumsi. Kelahiran media sosial juga berdampak banyak pada wajah media hari ini. Menurut David, Facebook dan Google adalah perusahaan teknologi raksasa hari ini seperti adalah perusahaan media raksasa.
Platform ciptaan dua perusahaan ini dipergunakan secara massif oleh masyarakat sebagai wahana memperoleh kabar. Ini dikuatkan oleh riset Pew Research Center pada 2016 tentang bagaimana warga Amerika memanfaatkan media sosial sebagai sumber berita. Ada 6 dari 10 warga Amerika Serikat yang memperoleh berita dari media sosial.
Facebook menjadi platform yang paling besar digunakan penggunanya sebagai sumber berita. Sebanyak 66 persen pengguna Facebook memanfaatkan media sosial tersebut sebagai tempat mendapat berita. Sebanyak 21 persen pengguna Youtube juga digunakan untuk hal yang sama. Pada 2013, angkanya 20 persen. Kenaikannya memang kecil, tapi patut diingat bahwa Youtube adalah tempat video streaming yang ditujukan bukan sebagai medium berita.
Data yang dipaparkan Reuters Institute menunjukkan 51 persen responden mengaku memanfaatkan media sosial sebagai sumber berita. Bahkan, alih-alih mengunjungi portal berita, 12 persen responden menyatakan media sosial dijadikan sebagai sumber utama mereka dalm mendapat berita.
Di Jepang, 26 persen pengguna Youtube memanfaatkan situs streaming video tersebut sebagai tempat memperoleh berita. Aplikasi pesan instan Line juga digunakan oleh 13 persen responden di Jepang untuk memperoleh berita. Sementara di Korea Selatan, 24 persen responden mengaku memanfaatkan Facebook sebagai tempat memperoleh berita. Kakao Talk, sebuah aplikasi pesan instan, dipakai 22 persen responden untuk tujuan yang sama.
Reuters Institute pun mengungkap temuannya bahwa anak muda, merupakan generasi yang mengandalkan media sosial sebagai tempat utama memperoleh berita dibandingkan media konvensional seperti televisi. Terdapat 28 persen anak muda berusia 18 hingga 24 tahun yang mengungkapkan bahwa media sosial lebih utama sebagai sumber berita dibandingkan televisi yang hanya memperoleh 24 persen.
Jika kita menengok media sosial kini, penggunaan media sosial sebagai sumber berita terbagi ke dalam dua pola. Pertama, yakni penerbit konten yang benar-benar merancang konten beritanya untuk platform media sosial tersebut. Kedua, penerbit membagi link berita pada platform media sosial. Twitter bahkan bekerja sama dengan
Keberadaan media sosial juga mengubah bagaimana masyarakat memperlakukan konten-konten berita. Sebuah konten berita yang menarik di media sosial bisa dengan cepat menyebar di kalangan pengguna media sosial lainnya. Hal ini terungkap dari paparan Reuters Institute yang mengungkapkan bahwa 24 persen pengguna internet membagikan konten berita di media sosial.
Data yang dipaparkan Pew dan Reuters tersebut, mengindikasikan telah terjadi perubahan yang cukup besar tentang perilaku masyarakat. Khususnya, bagaimana masyarakat kini mengkonsumsi berita. Konten-konten berita lebih mudah dibaca dan cepat menyebar jika konten berita tersebut muncul di newsfeed atau timeline media sosial.
NowThis, salah satu perusahaan media, malah sudah menghilangkan konten di situsnya. Situs ini hanya menampilkan tautan ke berbagai akun media sosialnya. Di laman portalnya, NowThis terang-terangan menyatakan: “Homepage. Even The Word Sounds Old.”
Mereka melanjutkan, “Kami membawakan berita ke social feed [timeline media sosial] Anda.”
Bagi penerbit, media sosial hari ini bisa dilihat sebagai sebenar-benarnya rumah yang memberi mereka sumber penghidupan. Menurut data Reuters Institute, 20 persen lalu-lintas BuzzFeed, salah satu media, diberdayakan oleh Snapchat melalui fitur Discover. Konten berita dari Cosmopolitan juga ditonton 3 juta kali di Snapchat.
Itu artinya, secara sederhana, penerbit seperti tidak memiliki rumah sendiri. Media sosial justru menggantikan laman depan sebuah portal berita.
Selain media sosial, aplikasi pengumpul berita atau news aggregator juga berkembang cukup pesat sebagai wadah masyarakat memperoleh berita. News aggregator yang cukup dikenal adalah Flipbord. Di Indonesia, ada nama seperti Babe dan Kurio sebagai aplikasi pengumpul berita. American Press Institute di tahun 2014 mengungkapkan ada 51 persen warga Amerika Serikat memanfaatkan news aggregator dan mesin pencari untuk memperoleh berita.
Perubahan juga terjadi pada format dan teknologi yang mengiringi berita. Menurut Reuters Institute, 36 persen responden mengaku membaca berita karena direkomendasikan secara otomatis oleh mesin yang bekerja di belakang platform. Cara ini menghasilkan persentase pembaca berita lebih tinggi dibanding konten-konten yang direkomendasikan oleh jurnalis atau editor.
Konten video pun banyak berubah. Pemimpin redaksi Opini.id Tri Wahono mengatakan bahwa video hari ini yang banyak dikonsumsi berdurasi kurang dari satu menit. Format video portrait juga meningkat dibandingkan landscape.
Jika ingin bertahan, media harus mengetahui dan menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan ini.
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Maulida Sri Handayani