Menuju konten utama

Kala Sinar Mentari Menyengat, Bahaya Radiasi UV Mengintai

Menurut Darma, ketika sinar UV mengenai kulit secara berlebihan, terjadi beberapa proses merugikan seperti kerusakan DNA pada sel kulit.

Kala Sinar Mentari Menyengat, Bahaya Radiasi UV Mengintai
Ilustrasi cuaca panas. FOTO/iSTockphoto

tirto.id - Cuaca panas yang melanda beberapa wilayah Indonesia membuat sinar mega terasa begitu menyengat. Tak hanya membuat tubuh lepek dengan keringat, paparan matahari di jam-jam tertentu dalam waktu lama bahkan membuat kulit pedih.

Maka, tidak mengagetkan, baru-baru ini, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengimbau masyarakat waspada radiasi ultraviolet alias paparan UV yang berisiko mengganggu kesehatan kulit dan mata.

Pekan lalu, BMKG mengimbau masyarakat menghindari paparan langsung sinar matahari, terutama pada waktu siang menjelang sore hari, atau sekitar pukul 10.00 hingga 16.00 WIB. Imbauan ini didengungkan lagi menyusul kondisi cuaca panas ekstrem. Suhu maksimum di sejumlah wilayah melewati batas normal, bahkan mencapai 35 derajat Celcius atau lebih.

BMKG menerangkan bahwa kondisi panas pada sejumlah daerah akhir-akhir ini dipicu gerak semu matahari yang bulan Oktober ini berposisi sedikit di selatan ekuator. Alhasil, wilayah Indonesia bagian tengah dan selatan menerima penyinaran matahari yang lebih intens.

Ditambah, penguatan angin timur yang membawa massa udara kering dari Benua Australia (Australian Monsoon) turut berkontribusi pada peningkatan suhu udara di sejumlah daerah. Meskipun Fenomena ini bersifat sementara, masyarakat tetap perlu waspada dan menjaga kesehatan tubuh agar tidak terdampak cuaca panas ekstrem.

Seperti dilansir Antara, Direktur Meteorologi Publik BMKG, Andri Ramdhani, menyebut hasil pemantauan terbaru menunjukkan indeks UV di beberapa wilayah mencapai tingkat yang berpotensi menimbulkan dampak negatif bagi kesehatan, apabila terpapar secara langsung dalam waktu yang lama.

Ia mengingatkan, pentingnya memperbanyak konsumsi air putih untuk mencegah dehidrasi. Sekaligus membatasi aktivitas fisik berat di bawah terik matahari yang dapat meningkatkan risiko heat stroke atau kelelahan akibat panas.

Ilustrasi cuaca panas

Ilustrasi cuaca panas. FOTO/iStockphoto

“Paparan sinar matahari langsung pada indeks UV tinggi dapat menyebabkan iritasi kulit dan mata dalam hitungan menit. Karena itu, masyarakat perlu melindungi diri saat beraktivitas di luar ruangan,” ujar Andri di Jakarta.

Mengacu BMKG, indeks UV adalah angka tanpa satuan untuk menjelaskan tingkat paparan radiasi sinar UV terhadap kesehatan manusia. Skala indeks UV dinyatakan dalam satuan angka 0 hingga >11.

Skala indeks UV dibagi mulai kategori bahaya rendah (low) hingga bahaya sangat ekstrem (extreme). Skala indeks UV dengan angka 0-2 (hijau) adalah yang paling rendah; angka 3-5 (kuning) moderate atau sedang; angka 6-7 (oranye) bahaya tinggi; angka 8-10 (merah) yaitu bahaya sangat tinggi; terakhir bahaya sangat ekstrem (ungu) dengan angka 11 ke atas.

Melalui indeks UV ini, manusia dapat mengetahui tingkat sinar UV yang aman maupun berbahaya bagi kesehatan.

Jika mengecek di laman prediksi indeks UV TuTiempo, di Jakarta pada Rabu (22/10/2025), tergolong dalam kategori merah dengan angka 10 alias bahaya sangat tinggi. Paparan UV tertinggi terjadi di jam 12:00 WIB (angka 9); jam 13.00 WIB (angka 10); serta jam 14:00 WIB (angka 7).

Perlu diketahui, ultraviolet atau UV sendiri merupakan bagian dari sinar matahari yang memiliki gelombang antara 100-400 nm. Berdasarkan panjang gelombangnya sinar UV dibagi menjadi tiga, yaitu UVA, UVB, dan UVC.

UVA merupakan sinar UV dengan gelombang terpanjang, yakni 315 - 400 nm. Kemudian UVB memiliki panjang gelombang antara 280 - 325 nm, sedangkan UVC memiliki panjang gelombang 100 - 280 nm.

Apa Dampaknya bagi Kesehatan Kulit?

Spesialis kulit dari Rumah Sakit Pusat Pertahanan Negara Soedirman, dr Ruri Diah Pamela, SpDVE, FINSDV, menjelaskan bahwa paparan sinar ultraviolet (UVA dan UVB) berintensitas tinggi dapat menimbulkan kerusakan baik akut maupun jangka panjang bagi kulit. Paparan UVB merusak DNA sel kulit dan memicu sunburn, sedangkan UVA menembus lebih dalam hingga dermis, merusak kolagen dan elastin sehingga mempercepat penuaan dini.

Jika terjadi terus-menerus, dampaknya bisa membuat kondisi kulit memerah, perih, bahkan melepuh atau sunburn. Paparan UV dalam jangka panjang juga memicu kondisi photoaging yakni keriput lebih cepat, muncul flek hitam, dan kulit bertekstur kasar.

Selain itu, memicu imunosupresi lokal atau kondisi daya tahan kulit menurun sehingga lebih rentan peradangan. Ruri menambahkan, paparan UV dengan intensitas tinggi berhubungan juga dengan risiko kanker kulit (termasuk melanoma dan non-melanoma) akibat mutasi DNA yang berulang. Termasuk kerusakan mata jika terkena paparan UV tanpa perlindungan.

“Jadi ketika indeks UV harian mencapai level tinggi hingga ekstrem (UV Index 8–11+), risiko kerusakan meningkat signifikan bahkan dalam hitungan menit,” ujar Ruri kepada wartawan Tirto, Selasa (21/10/2025).

Ilustrasi cuaca panas

Ilustrasi cuaca panas. FOTO/iStockphoto

Ruri memperingatkan gejala awal yang perlu diwaspadai antara lain: kulit memerah, terasa terbakar, panas, atau perih saat disentuh. Selain itu, perlu waspada ketika timbul flek gelap baru atau bagian kulit yang semakin kusam setelah sering beraktivitas di luar ruangan.

Gejala lainnya efek paparan UV adalah kulit semakin kering, kasar, gatal, dan mengelupas. Bisa juga muncul bintik-bintik coklat (lentigo) di wajah, lengan, dan punggung tangan. Jika sudah muncul keluhan di atas, artinya kulit sudah mengalami inflamasi imbas radiasi UV yang serius, bukan sekadar kondisi “kepanasan biasa”.

Masyarakat perlu memperhatikan kondisi kulit dan mata imbas cuaca panas yang diprediksi terus terjadi setidaknya hingga awal bulan depan. Dihubungi Tirto pada Jumat pekan lalu, Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, mengatakan, kondisi panas ini masih dapat berlangsung hingga akhir Oktober atau awal November 2025, tergantung awal masuknya musim hujan di masing-masing wilayah.

Ia menyebut, ada tiga faktor utama penyebab kenaikan suhu di Indonesia belakangan waktu ini. Pertama, minimnya tutupan awan yang membuat sinar matahari mencapai permukaan bumi secara maksimal tanpa banyak hambatan. Padahal secara alami, awan itu laiknya “payung” atau tameng yang memantulkan dan menyebarkan sebagian paparan matahari.

Faktor berikutnya adalah gerak semu matahari ke arah selatan. Dwikorita menekankan pada Oktober ini, posisi matahari berada di wilayah Lintang Selatan, sehingga wilayah Indonesia bagian selatan mulai dari Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara menerima penyinaran matahari lebih intens.

Terakhir, fenomena penguatan angin timuran atau Monsun Australia (angin yg bertiup dari daerah gurun di Benua Australia) yang membawa massa udara kering dan hangat.

“Dengan masih aktifnya Monsun Australia yang bersifat kering, maka mengakibatkan kondisi udara di wilayah Indonesia bagian selatan saat ini juga kering (dalam kondisi kelembapan udara rendah). Sehingga panas matahari juga terasa lebih menyengat,” tutur Dwikorita.

Fenomena cuaca panas diprakirakan hingga November 2025

Warga menyeberang jalan di tengah cuaca terik di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, Rabu (15/10/2025). Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengungkap fenomena cuaca panas yang melanda sebagian besar wilayah Indonesia disebabkan posisi gerak semu matahari yang pada Oktober berada di selatan ekuator dengan suhu maksimal 36,7 derajat celsius, dan diprakirakan akan terjadi hingga November 2025. ANTARA FOTO/Sulthony Hasanuddin/rwa.

Spesialis kulit dari DNI Clinic, I Gusti Nyoman Darmaputra SpDVE, Subsp.OBK, FINSDV, FAADV, menyatakan bahwa sinar UVA dan UVB sama-sama dapat menimbulkan kerusakan pada kulit, meskipun dengan cara berbeda.

UVB memiliki energi lebih besar dan menyebabkan kerusakan langsung pada lapisan luar kulit (epidermis), seperti sunburn atau kulit terbakar. Sementara UVA menembus lebih dalam ke lapisan dermis dan mempercepat penuaan dini melalui kerusakan kolagen dan elastin.

Menurut Darma, ketika sinar UV mengenai kulit secara berlebihan, terjadi beberapa proses merugikan seperti kerusakan DNA pada sel kulit, yang bisa memicu perubahan genetik dan risiko kanker kulit. Secara klinis, kata Darma, dampaknya dibagi menjadi dua, yakni akut dan jangka panjang.

“Perlu diingat, kerusakan akibat UV bersifat kumulatif. Artinya, setiap paparan tanpa perlindungan akan menumpuk dan mempercepat proses penuaan maupun risiko penyakit kulit di kemudian hari,” ujar dia kepada wartawan Tirto, Rabu (22/10).

Darma mengimbau masyarakat, terutama yang beraktivitas di luar ruangan, agar melakukan upaya perlindungan kulit, termasuk memantau indeks UV harian, menggunakan perlindungan fisik seperti pakaian lengan panjang, celana panjang, dan topi bertepi lebar.

Selain itu, masyarakat juga diimbau menggunakan tabir surya dengan benar, yakni tabir surya broad-spectrum dengan SPF minimal 30. Oleskan 15–30 menit sebelum keluar rumah, dan ulangi setiap dua jam, atau lebih sering, bila berkeringat atau setelah berenang.

“Jika kulit terasa panas atau kemerahan setelah terpapar, segera pendinginan dengan air sejuk dan gunakan pelembap atau soothing gel seperti aloe vera. Hindari mengelupas kulit yang terbakar secara paksa. Periksa kulit secara rutin, terutama bila muncul bercak atau tahi lalat baru,” pungkas Darma.

Baca juga artikel terkait KESEHATAN atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - News Plus
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Farida Susanty