tirto.id - Pada bulan ini Presiden Joko Widodo setidaknya sudah dua kali mengatakan Indonesia berhasil mengendalikan pandemi COVID-19 dan dampak yang ditimbulkan. Mantan Gubernur DKI Jakarta itu dianggap tengah berhalusinasi karena klaimnya bertolak belakang dengan kenyataan.
Pada Minggu 10 Januari lalu, dalam acara hari ulang tahun PDIP, Jokowi mengatakan meski pandemi belum berlalu, “kita wajib bersyukur bahwa kita termasuk negara yang mampu mengatasi pandemi ini.” “Penanganan kesehatan dan pertumbuhan ekonomi sudah kembali walaupun masih dalam kondisi minus,” tambahnya.
Pernyataan itu juga ia sampaikan dalam sambutan virtual di Sidang Majelis Pekerja Lengkap Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (MPL-PGI), Senin 25 Januari. “Kita bersyukur, Indonesia termasuk negara yang bisa mengendalikan dua krisis tersebut (kesehatan dan ekonomi) dengan baik.”
Pada 25 Januari itu, total 5.883.540 orang telah diperiksa dan hasilnya jumlah kasus terkonfirmasi positif hampir menyentuh angka 1 juta, tepatnya 999.256, dengan total yang meninggal ada 28.132. Artinya, persentase orang terjangkit COVID-19 atau positivity rate sebesar 16,9 persen.
Hari berikutnya total terkonfirmasi positif menembus 1.012.350 kasus dengan total meninggal 28.468. Pada 27 Januari total terkonfirmasi positif menjadi 1.024.298. Penambahan kasus meninggal pun menyentuh rekor tertinggi selama 10 bulan pandemi, yakni 387, sehingga total kasus meninggal menjadi 28.855.
Positivity rate secara akumulatif juga menanjak. Dengan total orang yang telah diperiksa sebanyak 5.978.128, maka persentasenya naik menjadi 17,1 persen. Sementara jika dihitung positivity rate hari itu dengan penambahan kasus 11.948 dari 46.491 orang yang diperiksa, maka angkanya 25,6 persen.
“Pandemi kita ini tidak terkendali. Positivity rate yang jauh di atas 20 persen itu indikator sangat jelas dan tegas bahwa pandemi tidak terkendali. Kalau terkendali positivity rate harusnya minimal 5 persen,” simpul Epidemiolog Griffith University Australia, Dicky Budiman saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (27/1/2021).
Halusinasi
Ketua Terpilih Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Dedi Supratman juga menilai apa yang dikatakan Jokowi tak sesuai dengan apa yang terjadi. Data menunjukkan bahwa pandemi di Indonesia jelas-jelas tidak terkendali. “Data angka-angka terkait COVID-19 menunjukkan semua naik. Saya tidak tahu data apa yang digunakan Pak Presiden sehingga bisa menyebut pandemi terkendali. Ini data dari mana?” kata Dedi melalui sambungan telepon, Rabu.
Selain tak sesuai kenyataan, ia khawatir pernyataan Jokowi membuat masyarakat semakin abai. Jika demikian, maka pandemi akan semakin sulit terkendali.
Pun demikian dengan program vaksinasi yang digadang-gadang pemerintah mempercepat pemulihan. Pemerintah mencatat baru 179.428 orang telah menjalani vaksinasi per 25 Januari. Jumlahnya hanya mencapai 12,52 persen dari total 1,43 juta orang yang telah bersedia divaksin hingga saat ini.
Menurut data registrasi ulang per 25 Januari pukul 17.30 WIB, hanya 1.453.379 yang telah bersedia dari total sasaran vaksinasi 1.487.408. Sisanya, 20.136 orang, masih tercatat berhalangan menjalani vaksinasi.
Dari jumlah bersedia 1,45 juta orang, hanya 216.407 yang telah terjangkau vaksin. Itu pun belum seluruhnya benar-benar menjalani vaksinasi. Rinciannya ada 179.428 orang yang sudah divaksin, 17.361 ditunda vaksinasinya, dan 19.618 batal divaksin.
Dosen sosiologi bencana dari Nanyang Technological University (NTU) Singapura Sulfikar Amir mengatakan “Pak Jokowi mesti berhenti berhalusinasi dan segera bangun dari tidur.” ‘Membangunkan’ Jokowi penting agar “keberhasilan penanganan pandemi dan ekonomi bukan sekadar mimpi siang bolong,” kata Sulfikar saat dihubungi reporter Tirto, Rabu.
Menurutnya. ada jurang lebar antara pernyataan Jokowi dengan fakta. Bukti sudah jelas menunjukkan bahwa pandemi di indonesia adalah yang paling buruk di Asia Tenggara dengan jumlah kasus dan kematian terbanyak keempat di Asia.
Ia menilai Jokowi tengah berupaya meredam kecaman dan kritik publik terhadap kinerja pemerintah yang buruk dalam penanganan pandemi. Padahal menurutnya hal itu tak perlu dilakukan sebab kekuatan politik Jokowi relatif kuat. Justru yang perlu ditunjukkan Jokowi adalah sikap rendah hati, jujur, dan terbuka terhadap kritik. “Karena itu satu-satunya cara pemerintah bisa memperbaiki diri dalam melindungi rakyat dari risiko COVID-19,” kata Sulfikar.
Penting bagi seorang presiden untuk transparan. Tanpa itu, anjuran dan aturan pemerintah akan dianggap angin lalu oleh masyarakat.
Sehari setelah Jokowi mengajak masyarakat bersyukur, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin memberikan pernyataan yang kontras. Menurutnya, kasus terkonfirmasi positif yang pada hari itu telah menembus satu juta semestinya “membuat kita merenung”. “Ini saatnya kita untuk berduka karena ada banyak saudara-saudara kita yang telah wafat. Ada lebih dari 600 nakes gugur hadapi pandemi, sebagian keluarga dan teman dekat sudah meninggalkan kita.”
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Rio Apinino