tirto.id - Merosotnya harga minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) di pasar internasional mendorong pemerintahan Joko Widodo menghapus pungutan ekspor CPO berserta produk turunannya.
Keputusan itu disampaikan Menteri Koordinator Bisang Perekonomian Darmin Nasution usai rapat Komite Pengarah Badan Pengelolaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP KS) di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Senin lalu (26/11/2018).
Darmin mengatakan langkah ini sebagai upaya menyelamatkan harga komoditas sawit yang kian terpuruk. Apalagi, International Monetary Fund (IMF) sempat memprediksi penurunan harga CPO bakal menekan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2018 ke angka 5,1 persen.
Salah satu kalangan yang terkena imbas cukup parah dari merosotnya harga komoditas tersebut adalah petani sawit mandiri. “Kami tahu bukan hanya perusahaan, harga pokok petani kalau harga CPO sudah di bawah 500 dolar AS maka mereka akan kesulitan,” kata Darmin.
Tahun ini memang jadi masa suram bagi komoditas sawit. Berdasarkan data Bloomberg, harga CPO di pasar spot bergerak 500 dolar AS per ton. Sementara pada 16 November lalu, harga CPO terjerembab ke level 470,59 dolar AS per ton atau terendah sepanjang 2018.
Penurunan harga tersebut juga berimbas pada rendahnya harga referensi CPO untuk penetapan Bea Keluar (BK) periode Desember 2018 sebesar 549,37 dolar AS per ton. Harga referensi pada Desember itu melemah sebesar 28,97 dolar AS/ton atau 5,01 persen dari periode November 2018 yang sebesar 578,34 dolar AS/ton.
“Saat ini harga referensi CPO kembali melemah dan berada pada level di bawah 750 dolar AS/per ton,” kata Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Oke Nurwan, di Jakarta, pada Rabu (28/11/2018).
Jatuhnya harga CPO yang berkelanjutan ini dinilai memukul pekebun sawit di sektor hulu, terutama petani rakyat (mandiri) yang tidak bermitra dengan perusahaan sawit manapun.
Misalnya, harga beli Tandan Buah Segar (TBS) merosot hingga Rp 880/kg, bahkan ada yang menyentuh Rp 600/kg di sentra produksi seperti Indragiri Hulu, Riau.
Karmen Simarmata, salah seorang petani sawit mandiri dari Kecamatan Tambusai, Kabupaten Rokan Hulu, Riau membenarkan bila harga TBS memang sempat berada di angka tersebut.
Karena itu, Karmen menilai rencana pemerintah untuk menghapus pungutan ekspor CPO cukup logis. Sebab, selama ini pungutan tersebut membuat keuntungan pekebun mandiri atas hasil BTS yang mereka jual tertekan.
Menurut Karmen, di daerahnya saat ini harga Tandan Buah Sawit (TBS) sudah cukup rendah, yakni sekitar Rp900/kg. Dengan luas lahan rata-rata petani mandiri sekitar 4-5 hektar, pendapatan yang akan diterima per-petani berkisar Rp6,5-8 juta per bulan.
Ia berharap penghapusan tersebut dapat mendorong harga TBS ke angka Rp1.200/kg. “Kalau harganya kayak yang sekarang, ya mana bisa untuk anak sekolah kuliah,” ujarnya, di Jakarta, Rabu (28/11/2018).
Pungutan Ekspor Tak Untungkan Petani
Karmen menilai sudah selayaknya pungutan ekspor itu dihapus karena tak memberikan dampak signifikan bagi petani mandiri. Ia mengaku selama ini tak pernah mendapat manfaat langsung dari pungutan ekspor yang dikelola oleh BPDP KS.
“Kalau dulu enggak ada pungutan saja kami bisa peremajaan [lahan] sendiri, harga masih lumayan. Kalau pun mau dipungut, dananya salurkan koperasi supaya manfaatnya lebih ada dan mudah kami pakainya,” kata dia.
Selama ini, dana pungutan ekspor CPO dan turunannya memang dikelola oleh BPDP KS untuk kepentingan industri sawit. Jumlahnya pun terus meningkat dari tahun ke tahun sejak diterapkan pada 2015.
Pada tahun pertama pungutan yang masuk ke BPDP KS mencapai sebesar Rp7 triliun dan meningkat menjadi Rp11,7 triliun pada 2017 dan Rp14,8 triliun pada 2018.
Namun demikian, Direktur Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia Sahat Sinaga ragu harga sawit bisa dikerek dengan sejumlah insentif yang dikeluarkan pemerintah. Menurutnya hal itu tak akan pernah efektif tanpa diiringi dengan pengembangan produk hilirisasi kelapa sawit.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Abdul Aziz