Menuju konten utama

Joko Anwar dan Polesan Film Pengabdi Setan

Pengabdi Setan (1980) adalah film horor legendaris. Joko Anwar mendaur ulang film itu, bagaimana hasilnya?

Joko Anwar dan Polesan Film Pengabdi Setan
Ilustrasi hantu. FOTO/Shutterstock

tirto.id - Selain Joko Widodo, ada Joko lain yang juga populer di telinga masyarakat Indonesia. Ia adalah sineas asal Medan, Sumatera Utara yang punya banyak karya langganan juara festival. Nama lengkapnya Joko Anwar, tapi belakangan ia populer dipanggil Jokan, sebagai akronim namanya.

Jokan terkenal karena film-filmnya yang tak biasa dibanding film Indonesia lain. Terutama dari segi cerita dan sinematografi. Mantan wartawan The Jakarta Post ini memulai karier sineasnya ketika menerima tawaran Nia Dinata menulis Arisan! (2003), yang sempat kontroversi karena mengangkat sepasang tokoh gay (diperankan Tora Sudiro dan Surya Saputra) sebagai salah satu karakter utamanya. Film itu tak cuma sukses menarik minat penonton, tapi menang sebagai “Film Terbaik” di Festival Film Indonesia 2004. Juga menang sebagai “Best Movie” di MTV Movie Awards Indonesia pada tahun yang sama.

Tahun berikutnya, Jokan tampil sebagai sutradara untuk pertama kali. Ia membawa naskah yang ditulisnya semasa kuliah menjadi film pertamanya, berjudul Janji Joni (2005). Film ini juga sukses, paling laris tahun itu. Kisah Joni, si tukang antar rol film dari bioskop ke bioskop—tokoh utama film tersebut—dianggap unik dan inovatif, berbeda dari kisah yang pernah diangkat film-film Indonesia lainnya. SET Foundation, yang diketuai sutradara kenamaan Indonesia Garin Nugroho, menandaskan citra tersebut dengan memberi Jokan penghargaan khusus “cara bercerita yang inovatif” karena film itu.

Selanjutnya, nasib baik lengket di pundak Jokan. Film-filmnya selalu sukses dari segi komersial. Citra sebagai pencerita inovatif semakin lekat padanya, bahkan di titik tertentu jadi daya jualnya di mata para penggemar dan penonton.

Selain dikenal karena kreativitasnya menyampaikan cerita, Jokan juga dilabeli citra lain sebagai ‘sutradara film-film thriller terbaik Indonesia’. Julukan itu tak muncul tiba-tiba. Pada 2007, film keduanya sebagai sutradara berjudul Kala (Dead Time), dipilih Sight & Sound, majalah film asal Inggris sebagai Film Terbaik. Mereka bahkan menyebut Jokan sebagai salah satu sutradara tercerdas se-Asia Tenggara, dan menyamakan karyanya dengan karya Allan Pakula, sutradara thriller-thriller politik, yang juga pernah menyutradarai To Kill A Mockingbird (1962).

Dua tahun kemudian, Jokan kembali menyutradarai sebuah film thriller psikologis yang juga menarik perhatian dunia. Dibintangi Fachri Albar, film itu berjudul Pintu Terlarang (2009). Ia masuk seleksi sejumlah film pilihan dalam beberapa festival film internasional seperti International Film Festival Rotterdam, New York Asian Film Festival, dan Dead by Dawn. Ia bahkan menang penghargaan tertinggi sebagai film terbaik di Puchon International Fantastic Film Festival (2009).

Richard Corliss dari TIME menyebut, “Secerdas dan menyakitkannya film ini, ia bisa jadi kartu panggilan Jokan untuk pekerjaan internasional, seandainya pada penguasa Hollywood ingin sesuatu yang lebih besar dari jangkauan sempit mereka.”

Infografik 3 dekade mengabdi setan

Selain Kala dan Pintu Terlarang, Jokan juga punya Modus Anomali (2012), horor-thriller yang dibintangi oleh Rio Dewanto dan menang Bucheon Award di Network of Asian Fantastic Film.

Ketika Rapi Films mengumumkan akan mendaur ulang Pengabdi Setan (1980)—film horor mereka yang sukses besar pada masa itu—dan menunjuk Jokan sebagai sutradaranya, maka tak heran para penggemar film horor Indonesia menyambutnya antusias.

Pengabdi Setan karya Sisworo Gautama Putra disebut-sebut sebagai film horor paling menakutkan pada masa itu. Ia mengalami sukses besar yang dicatat Rapi Films sebagai kenangan baik. Rolling Stone Indonesia pada 2015 sempat menyebut film itu sebagai film horor Indonesia paling menyeramkan karena teknik pengambilan gambarnya yang baik pada masa itu. Belum lagi kesuksesanya menembus kancah internasional, di Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang.

Pengalaman itu membuat Rapi Film tak ingin sembarangan membuat daur ulangnya. Butuh lebih dari 10 tahun untuk memutuskan nasib film itu akan diserahkan pada siapa. Sunil Samtani, sang produser film akhirnya memberikan delegasi untuk Jokan karena gairahnya yang besar atas film tersebut. “Sampai hari ini, Joko itu masih ingat dialog-dialognya, nama karakter, sampai scene per scene dari film aslinya. Saya rasa enggak ada sutradara lain yang bisa segitu passion-nya untuk film ini,” kata Samtani.

Baca juga:Nasib Sekuel yang Tak Sebaik Film Orisinalnya

Bagi Jokan sendiri, Pengabdi Setan karya Gautama Putra punya nilai personal tersendiri. Ia adalah film horor pertama yang membuat Jokan ingin membuat film. Membikin daur ulang film ini adalah salah satu cita-citanya. “Saya masih ingat enggak bisa tidur tiga hari setelah nonton film ini, mesti ditemenin,” ungkapnya dalam video Behind the Scene.

Pertanyaannya, apakah nama besar Jokan sanggup menutupi ekspektasi tinggi sang produser dan penggemar Pengabdi Setan, yang juga punya nama besar itu?

Film orisinal Pengabdi Setan punya elemen-elemen klenik khas budaya Indonesia yang cukup kental. Misalnya acara Yasinan yang membuka film tersebut atau kepercayaan masyarakat pada dukun dan ustaz dalam mengurusi ihwal-ihwal gaib, yang ditonjolkan Gautama Putra menjadi batang cerita.

Keluarga Munarto (WD Mochtar) yang baru ditinggal istrinya (Diana Suarkom) digambarkan sebagai keluarga modern, yang sudah meninggalkan ibadah. Namun, akhirnya harus menghadapi sejumlah hal mistis—termasuk dikejar-kejar zombie serupa gabungan pocong dan vampir—karena diganggu si Pengabdi Setan.

Inti ceritanya jelas: jangan tinggalkan agama. Hal ini adalah benang merah yang wajar terlihat dalam film-film horor Indonesia era Orde Baru. Pemuka agama dijadikan sebagai simbol religius yang berfungsi sebagai dues ex machina, putaran plot yang digunakan untuk mengejutkan penonton dan membawa narasi ke akhir yang membahagiakan.

Baca juga:Pemuka Agama vs Setan di Film Horor Indonesia

Dalam versi daur ulangnya, Jokan juga masih menggunakan karakter ustaz, agar suasana yang dibangun tidak jauh berbeda dari versi aslinya. Namun, bukan Jokan namanya jika tidak menyelipkan putaran-putaran plot yang segar. Dalam versi ini, sayangnya si ustaz tidak hadir jadi dues ex machina.

Bukan cuma eksistensi sang ustaz yang dipertahankan Jokan. Ada sejumlah adegan ikonik yang juga tetap dimasukkan, bahkan dipertebal elemen horornya. Misalnya pada versi orisinalnya, Toni, anak kedua Munarto melaksanakan salat agar hantu ibu mereka tak mengganggu lagi, dan kemudian batal karena diganggu setannya. Maka dalam versi Jokan, adegan salat itu digantikan oleh Rini (Tara Basro) yang juga diganggu oleh setan ibu mereka. Isinya tak persis sama, balutan sinematografi versi Jokan bahkan lebih menegangkan karena kamera yang dibuat sebagai mata penonton: angle wide shot yang bisa mendongak-menunduk, atau menengok kanan dan kiri.

Namun, secara keseluruhan, cerita aslinya hampir dirombak Jokan di segala sisi: Rita diganti jadi Rini, Toni punya dua adik lagi bernama Bondi dan Ian, keluarga mereka jatuh miskin, ada tempelan karakter nenek, Hendra (temannya Rita) jadi anak ustaz, dan sejumlah tempelan adegan yang justru memperdalam cerita orisinal Pengabdi Setan.

Hal ini penting, karena pengalaman horor manusia juga ikut berubah seiring zaman. Mungkin, bagi sebagian orang yang belum pernah menonton Pengabdi Setan versi aslinya, tidak akan menganggap film itu seseram anggapan penonton masa tersebut. Faktor utamanya adalah kemajuan teknologi sinematografi dan elemen lainnya, seperti pencahayaan atau tata rias. Rombakan-rombakan yang dibikin Jokan terasa tepat. Horor yang disajikan versi daur ulang mengganda beberapa kali lipat. Namun, bukan berarti karya Jokan satu ini benar-benar sempurna. Ada beberapa potongan cerita yang terkesan memaksa atau kurang diolah lebih kuat.

Baca juga:Film Horor dan Kegemaran Akan Ketakutan

Baca juga artikel terkait HANTU atau tulisan lainnya dari Aulia Adam

tirto.id - Film
Reporter: Aulia Adam
Penulis: Aulia Adam
Editor: Suhendra