Menuju konten utama
Sidang Perdana Kasus PLTU Riau

Johannes Kotjo Didakwa Menyuap Eni Saragih & Idrus Marham Rp4,75 M

Jaksa KPK mendakwa Johannes Kotjo telah memberi suap ke Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eni Maulani Saragih dan Sekretaris Jenderal Partai Golkar Idrus Marham dengan uang sebesar Rp4,75 miliar.

Johannes Kotjo Didakwa Menyuap Eni Saragih & Idrus Marham Rp4,75 M
Tersangka selaku pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited, Johannes Budisutrisno Kotjo (tengah) dengan rompi tahanan menuju mobil tahanan usai diperiksa di kantor KPK, Jakarta, Sabtu (14/7). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan.

tirto.id - Terdakwa kasus dugaan proyek pembangunan PLTU Riau-1 Johannes B Kotjo menjalani sidang perdana di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis (4/10/2018) dengan agenda pembacaan dakwaan.

Dalam sidang tersebut, Jaksa KPK mendakwa Kotjo telah memberi suap ke Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eni Maulani Saragih dengan uang sebesar Rp4,75 miliar dan janji kepada Sekretaris Jenderal Partai Golkar Idrus Marham.

"Uang tersebut diberikan dengan maksud agar Eni Maulani Saragih membantu terdakwa [Johannes Kotjo] mendapatkan proyek independent power producer PLTU Mulut Tambang Riau-1," kata Jaksa Ronald Ferdinand Worotikan saat membacakan dakwaan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jakarta Pusat (4/10/2018).

Awalnya pada tahun 2015 Johannes Kotjo mendengar soal rencana pembangunan PLTU Mulut Tambang Riau-1. Untuk itu, Kotjo mencari investor yang mau melaksanakan proyek tersebut.

Akhirnya didapatlah perusahaan asal China yakni China Huadian Engineering Company, Ltd (CHEC, Ltd) dengan kesepakatan jika proyek tersebut berjalan maka Kotjo mendapatkan fee sebesar 2,5% atau 25 juta dolar AS dari total nilai proyek yang ditaksir bernilai 900 juta dolar AS. Uang itu rencananya akan dibagi ke sejumlah pihak, salah satunya Setya Novanto sebesar 6 juta dolar AS.

Untuk itu, kemudian Kotjo melalui Direktur PT Samantaka Batubara Rudy Herlambang mengirim surat ke PT PLN yang intinya meminta agar PLN memasukkan proyek PLTU MT Riau-1 ke dalam rencana umum penyediaan tenaga listrik (RUPTL) PT PLN (Persero). Namun, rupanya tak ada tanggapan dari PLN.

Akhirnya, pada awal 2016 Kotjo menemui Setya Novanto meminta untuk dipertemukan dengan pihak PLN. Setnov yang kala itu menjabat sebagai Ketua Fraksi Golkar kemudian memperkenalkan Kotjo ke Eni Maulani Saragih yang menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi VII DPR RI.

Setnov kemudian meminta Eni untuk membantu Kotjo memuluskan niatnya. Setnov pun menyebut akan ada fee untuk Eni sehingga Eni menyanggupi hal itu.

Pada awal 2017, Eni kemudian memperkenalkan Kotjo dengan Direktur Utama PT PLN (Persero) Sofyan Basir di Kantor Pusat PLN, dan menyampaikan niat Kotjo untuk menggarap proyek PLTU MT Riau-1. Sofyan pun mempersilakan Kotjo untuk berkoordinasi dengan Direktur Pengadaan Strategis 2 PT PLN (Persero) Supangkat Iwan Santoso.

Pertemuan antara mereka berempat terus terjadi sepanjang 2017. Supangkat menjelaskan mekanisme pembangunan IPP kepada Kotjo. Ia pun menyanggupi. Masih pada tahun 2017 di lounge Bank BRI, Sofyan Basir menyampaikan bahwa Kotjo akan mendapat proyek PLTU MT Riau-1 dengan skema penunjukan langsung.

"Tetapi PT PJB harus memiliki saham perusahaan konsorsium minimal sebesar 51 persen," ujar Jaksa.

Akhirnya, pada 14 September 2017 di Kantor Pusat PLN dilakukan penandatanganan kontrak induk yang intinya mengatakan pihak-pihak yang terlibat akan bekerja sama dalam bentuk konsorsium untuk mengerjakan proyek pembangunan PLTU MT Riau-1.

Pihak yang menandatangani kontrak tersebut adalah Direktur Utama PT Pembangkit Jawa Bali Iwan Agung Firstantara, Direktur Utama PT PLN Batubara Suwarno, perwakilan CHEC, Ltd Wang Kun, CEO PT Blackgold Rickard Philip Cecile, dan Dirut PT Samantaka Batubara Rudy Herlambang.

Di tengah pengaturan proyek yang berlokasi di Indragiri Hulu, Riau tersebut, rupanya Setya Novanto diringkus Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus KTP elektronik.

Selanjutnya, Eni Saragih melaporkan perkembangan proyek PLTU MT Riau-1 ke Idrus Marham yang kala itu menjadi Plt Ketua Umum Golkar. Salah satunya termasuk soal fee 2,5 persen yang akan ia terima dari Kotjo.

Pada 15 Desember 2017 Eni dan Idrus menemui Kotjo di kantornya di Graha BIP Jakarta. Di sana, Kotjo menegaskan soal fee untuk Eni. Selanjutnya, Eni selaku Bendahara Munaslub Golkar meminta sejumlah uang kepada Kotjo untuk penyelenggaraan Munaslub. Guna meyakinkan Kotjo, Idrus Marham menyampaikan "Tolong dibantu ya."

Kotjo pun menyanggupi permintaan itu.

Atas permintaan itu, kemudian Kotjo meminta sekretarisnya, Audrey Ratna Justianty untuk memberikan sebesar Rp4 miliar kepada Eni. Yang itu diserahkan secara bertahap pada 18 Desember 2017 sebesar Rp2 miliar dan 14 Maret 2018 sebesar Rp2 miliar.

Kemudian, Eni kembali meminta uang ke Kotjo sebesar Rp10 miliar, tapi Kotjo keberatan. Karenanya, pada 5 Juni 2018 Eni mendatangi Kotjo di kantornya dengan membawa Idrus. "Tolong adik saya ini dibantu... buat Pilkada," kata Idrus kala itu.

Namun, rupanya Kotjo masih bergeming, pada 8 Juni, Idrus mengontak Kotjo via Whatsapp guna menegaskan permintaannya tempo hari. Akhirnya, Kotjo menyerahkan uang Rp250 juta ke Eni melalui orang dekat Eni, Tahta Maharaya.

Pada 10 Juli, Eni kembali mendatangi kantor Kotjo dan meminta Rp500 juta. Permintaan itu baru direalisasikan 3 hari kemudian dengan memberikannya kepada Tahta Maharaya. Namun sayang, saat itu keduanya langsung diringkus oleh penyidik KPK.

"Terdakwa seluruhnya memberikan uang seluruhnya sejumlah R 4,75 miliar kepada Eni Maulani Saragih dan Idrus Marham," kata Jaksa Ronald.

Atas perbuatannya ini, Kotjo didakwa telah melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.

Baca juga artikel terkait KASUS SUAP PLTU RIAU 1 atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Hukum
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Maya Saputri