Menuju konten utama

Joe Biden dalam Bayangan Polarisasi Politik AS Warisan Trump

Kepresidenan Joe Biden mendapat tantangan berat dari ekstremis sayap kanan yang mekar selama Trump berkuasa.

Joe Biden dalam Bayangan Polarisasi Politik AS Warisan Trump
Pendukung Presiden Amerika Serikat Donald Trump berkumpul untuk protes tentang hasil awal pemilihan presiden 2020 di daerah Westchester di Miami, Florida, Amerika Serikat, Kamis (5/11/2020). ANTARA FOTO/REUTERS/Marco Bello/pras/cfo

tirto.id - Perjalanan politik Joe Biden dan Kamala Haris telah sampai pada babak yang mereka inginkan. Keduanya dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden Amerika Serikat pada Rabu (20/1/2021) di gedung parlemen The Capitol, Washington DC. Biden yang sebelumnya mendampingi Obama berulang kali menyerukan agar masyarakat Amerika bersatu kembali.

"Hari ini, pada Januari ini, seluruh jiwa saya tertuju pada cita-cita: merangkul Amerika. Menyatukan masyarakat dan bangsa Amerika," ujar Presiden Amerika ke-46 itu dalam pidato pelantikannya. Biden juga mengajak warga Amerika mengakhiri “perang tak beradab” di antara kubu merah (Republikan) dan biru (Demokrat).

Biden sadar betul polarisasi masyarakat Amrika sudah demikian dalam. Menurut studi Pew Research Center, ketidaksepakatan di antara Partai Demokrat dan Republik semakin mencolok dalam beberapa tahun terakhir. Kedua kubu bersilang di banyak sektor, mulai dari soal ekonomi, keadilan rasial, perubahan iklim, penegakan hukum, hingga politik internasional.

Pun demikian dengan pendukung masing-masing kubu. Baik pendukung Biden maupun Trump percaya bahwa perbedaan di antara mereka lebih dari sekadar politik dan kebijakan. Bahkan, sebulan sebelum pilpres, kira-kira delapan dari sepuluh pemilh terdaftar di kedua kubu mengatakan perbedaan di antara mereka terletak pada nilai-nilai inti Amerika. Lalu, sembilan dari sepuluh pendukung kedua kubu khawatir jika kemenangan pihak lawan akan membawa “kerugian abadi” bagi Amerika.

Ironisnya, Kondisi semacam itu terus berlanjut selama dan setelah masa Pilpres 2020.

Polarisasi Berlanjut

Usai perhitungan suara, Trump menolak mengakui kemenangan Biden. Dia bahkan tidak menghadiri pelantikannya—menjadikannya presiden pertama yang melanggar tradisi yang telah berumur 1,5 abad. Meski menyelipkan harapan kesuksesan bagi pemerintahan yang baru, Trump sama sekali tidak menyebut nama Biden dalam pidato terakhirnya.

Sebelum pelantikan, massa loyalis Trump menggeruduk Capitol Hill dan menghambat pengukuhan kemenangan Biden. Seorang polisi dan empat massa aksi tewas dalam kejadian itu. Kejadian itu mengejutkan dunia dan mencoreng Amerika yang selama ini mendaku sebagai “mercusuar demokrasi”.

Biden pun melakukan beberapa langkah yang bisa dibaca sebagai cara menegasikan Trump. BBC melaporkan, Biden langsung menandatangani 15 perintah eksekutif hanya beberapa jam setelah dilantik. Kebijakan perdananya adalah memperkuat respons pemerintah terhadap pandemi COVID-19. Kebijakan lain di antaranya adalah membatalkan sejumlah kebijakan Trump terkait perubahan iklim dan imigrasi.

Akan tetapi, warisan Trump di kalangan akar rumput tak serta bisa hilang. Kebijakan-kebijakan Trump memang bertendensi antiimigran dan proteksionisme. Namun, kebijakan ekonominya dan rendahnya tingkat pengangguran sebelum pandemi tetap memikat pemilih. Berkat itu, Trump berhasil memenangkan lebih banyak suara orang Latin di wilayah Texas dan Florida.

“Di Florida, Trump memenangkan 45 persen suara warga Latin—meningkat 11 poin dari perolehannya dalam pilpres 2016,” tulis NBC News.

Menurut kolumnis The New York TimesRoss Douthat, kepresidenan Trump membentuk konservatisme yang berkomposisi multietnis, kelas menengah, dan populis. Jadi, sebenarnya Trump tetaplah kandidat yang kompetitif dan mengakar. Lebih dari setengah pemilih Partai Republik percaya bahwa Trump sebenarnya memenangkan pilpres 2020 dan 45 persen Republikan mendukung aksi penyerbuan Capitol Hill.

Memperhitungkan semua hal itu, agaknya polarisasi politik akan tetap jadi tantangan terbesar Amerika di bawah pemerintahan Biden. Pesimisme ini juga tampak dari jajak pendapat yang dilakukan NBC News. Jajak pendapat ini berlangsung dari 10 sampai 13 Januari 2021 dengan 1.000 pemilih.

Hasilnya menunjukkan, 73 persen responden percaya bahwa masyarakat Amerika akan tetap terpecah selama empat tahun ke depan. Bahkan, sekira 53 sampai 44 persen reponden menyatakan khawatir dan pesimistis terhadap masa depan negaranya.

"Donald Trump mewariskan negara yang terpecah kepada Joe Biden. Ia berada di jalur yang salah dan digelayuti pesimisme bahwa masa depan mungkin tidak secerah yang diduga," kata ahli jajak pendapat Jeff Horwitt dari Hart Research Associates yang melakaukan survei tersebut.

Trump Merangkul Sayap Kanan

Penyerbuan Capitol bukan hanya sekadar tengara polarisasi politik. Ia juga menunjukkan bahwa kelompok ekstrimis sayap kanan Amerika benar-benar merupakan sebuah ancaman. Selama kepemimpinannya, Trump terus tebar pesona menyambut dukungan dari kelompok yang disebut orang Demokrat sebagai “teroris domestik” ini.

Vox menghimpun beberapa contoh bagaimana Trump merangkul kelompok-kelompok sayap kanan ke dalam koalisinya. Dia, misalnya, dengan enteng menyebut demonstran supremasi kulit putih di Charlottesville pada 2017 sebagai “orang yang sangat baik”, memerintahkan kelompok neofasis Proud Boys untuk “mundur dan bersiap” saat debat presiden, atau menyuruh mundur para penyerbu gedung parlemen sambil menyanjung “kami mencintaimu” lewat Twitter.

Padahal, aksi-aksi kelompok sayap kanan itu seringkali membahayakan nyawa. Dalam aksi di Charlottesville, seorang warga bernama Heather Hayer terbunuh. Kelompok-kelompok ini juga mengirimkan 16 bom pipa kepada tokoh-tokoh Partai Demokrat dan beberapa media. Daftar ini makin panjang jika ikut pula menghitung penembakan massal di sebuah sinagog di Pittsburgh hingga serangan ke Capitol Hill.

Infografik Polarisasi AS Pasca Pilpres

Infografik Polarisasi AS Pasca Pilpres. tirto.id/Fuad

Menurut Kepala Center for Right-Wing Studies University of California Lawrence Rosenthal, kelompok-kelompok ekstremis sayap kanan berkembang selama masa kepresidenan Trump usai terjadinya tiga momentum.

Momentum pertama, demonstrasi anti-lockdown setelah merebaknya pandemi virus corona. Kedua, pembunuhan George Floyd di Minnesota dan demonstrasi lanjutannya. Terakhir, demonstrasi pascapilpres yang menuntut Trump dinyatakan sebagai pemenang.

Saat penyerbuan terjadi, tampaklah nama-nama kelompok milisi bersenjata seperti Boogaloo, Proud Boys, Oath Keeper, dan lainnya. Mereka ini umumnya berasal dari dua faksi, yaitu nasionalis kulit putih dan antipemerintah. Menurut Rosenthal, milisi-milisi tersebut mematuhi Trump, termasuk ketika dimobilisasi menyerbu Capitol Hill.

“Masing-masing faksi ini merasa aspirasinya terwakili oleh Trump. Dia dilihat sebagai seseorang yang berbicara dalam bahasa mereka dan bersimpati kepada mereka.” ujar Rosenthal dalam sebuah wawancara.

Laporan dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) menunjukkan, sepanjang 2020, terjadi peningkatan (67 persen) serangan kelompok sayap kanan atau supremasi kulit putih. Persentasenya bahkan melebihi aksi kelompok kiri dan anarkis radikal (20 persen). Mereka menggunakan kendaraan, bahan peledak, dan senjata api sebagai senjata utamanya dan menargetkan demonstran maupun individu dari kelompok lain karena alasan ras, etnis, agama, atau pilihan politik.

Sempat ada kekhawatiran bahwa pendukung Trump dan milisi sayap kanan itu akan merusuh dalam pelantikan Biden. Oleh karena itu, sebanyak 25.000 pasukan Garda Nasional dikerahkan untuk mengamankannya. Bahkan, Garda Nasional sempat mendepak 12 anggotanya yang punya hubungan dengan milisi sayap kanan.

Untunglah kekhawatiran itu tak terwujud. BBC menyebut, agaknya banyak pendukung Trump sudah pasrah pada kenyataan bahwa Biden akan tetap dilantik sebagai presiden. Meski begitu, beberapa orang mengklaim tidak mengakui kepresidenan Biden.

Menurut ahli terorisme Alex Newhouse, berkurangnya protes jelang pelantikan Biden bisa jadi karena potensi tindakan keras dari aparat. Namun, bukan berarti tidak ada ancaman sama sekali. Pasalnya, ketidakpuasan kelompok ekstrim kanan ini terus bereskalasi di platform media sosial alternatif.

“Walaupun hanya sebagian kecil dari satu persen pengikut yang menanggapi suatu isu dengan serius, itu sudah cukup menunjukkan potensi aksi individu berupa kekerasan,” papar Newhouse seperti dikutip BBC.

Tidak bisa tidak, Presiden Biden musti bersiap menghadapi tantangan berat dari meningkatnya tren kekerasan politik ini.

Baca juga artikel terkait JOE BIDEN atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Politik
Penulis: Tony Firman
Editor: Fadrik Aziz Firdausi