tirto.id - “Jangankan bayar, gratis aja kita belum tentu mau. Vaksin karbitan begitu.”
Kekesalan itu diungkapkan oleh Amir, 56 tahun, setelah mendengar kabar bahwa vaksinasi COVID-19 tidak seluruhnya gratis alias ada yang berbayar. Kepastian itu muncul setelah terbit Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 9860 Tahun 2020 tentang Penetapan Jenis Vaksin Untuk Pelaksanaan Vaksinasi COVID-19.
Poin kelima beleid tersebut menyatakan pengadaan vaksin dibagi menjadi dua, yakni program Kementerian Kesehatan dan program Kementerian BUMN. “Vaksin program pemerintah akan disediakan secara gratis dan vaksin mandiri yang disediakan secara berbayar untuk masyarakat,” kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Senin (7/12/2020).
Masih belum jelas berapa orang yang akan mendapat vaksin gratis dari pemerintah dan berapa yang harus membayar. Juru Bicara Satgas COVID-19 Wiku Adisasmito mengatakan detail program vaksinasi akan dijelaskan dalam 1-2 pekan ke depan.
Meski begitu, Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto, dalam rapat kerja dengan Komisi IX DPR RI, sempat mengatakan menargetkan 32 juta orang jadi penerima vaksin program pemerintah. Mereka antara lain tenaga kesehatan, pelayan publik termasuk TNI-Polri, serta peserta BPJS Kesehatan kategori Penerima Bantuan Iuran (PBI).
Sementara sasaran vaksinasi mandiri mencapai 75 juta orang alias lebih dari dua kali lipatnya. Mereka yang diharapkan ikut skema ini adalah pelaku ekonomi dan masyarakat lain yang berada di luar kriteria pertama. “Sasaran sekitar 75 juta orang yang membutuhkan 172 juta dosis. Dua dosis per orang dengan menambahkan wastage rate-nya 15 persen,” kata Terawan, Senin (16/11/2020).
Herd Immunity Sulit Tercapai
Ketua Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Ede Surya Darmawan mengatakan pada dasarnya kontribusi semacam ini tidaklah haram. “Dalam program vaksinasi yang lama juga begitu (berbayar),” katanya dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN), awal Desember lalu.
Head of Corporate Communication Bio Farma Iwan Setiawan sempat mengatakan perkiraan biaya vaksinasi Rp400-600 ribu.
Namun ia menggarisbawahi bahwa vaksin berbayar membuat cita-cita agar tercipta herd immunity semakin sulit tercapai. Herd immunity adalah situasi ketika sebagian besar populasi kebal terhadap penyakit menular tertentu dan individu berisiko terlindungi dari populasi umum. Ketika mayoritas kebal, maka virus akan sulit menemukan inang untuk menumpang hidup dan berkembang.
Ada dua cara mengembangkan herd immunity. Pertama alamiah, yaitu virus dibiarkan menginfeksi orang dan dia akan kebal--tapi konsekuensinya fatal; kedua buatan, yang tidak lain lewat vaksinasi.
Untuk mencapai kekebalan komunitas buatan, setidaknya 70 persen populasi harus divaksinasi atau setara 185 juta penduduk Indonesia. Selama ini kita tidak punya pengalaman vaksin semasif itu dalam waktu serempak.
Ede memberikan hitungan sederhana. Saat ini, di Indonesia ada sekitar 3.000 rumah sakit. Untuk memvaksin 100 juta orang, artinya masing-masing rumah sakit harus melayani sekitar 30 ribu orang. Jika menggunakan puskesmas yang berjumlah sekitar 9.000, berarti masing-masing puskesmas harus memvaksinasi sekitar 11 ribu orang. Hitungan itu mengasumsikan kemampuan masing-masing fasilitas kesehatan setara dan teknik vaksinasinya sama dengan vaksin lain sehingga tidak rumit.
“Itu asumsinya tidak berbayar. Kalau berbayar, lain lagi. Otomatis akan ada proses pertimbangan orang membeli atau tidak. Kaitannya dengan kemauan dan kemampuan daya beli masyarakat,” kata Ede kepada reporter Tirto, Senin (7/12/2020).
Ede mengingatkan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 8 tentang Kekarantinaan Kesehatan yang menyebut pemerintah bertanggung jawab melindungi masyarakat dan penyakit dan faktor risiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat.
“Kalau dilepas ke mekanisme pasar, ya, susah,” kata dia.
Faktor biaya menambah panjang problem vaksinasi COVID-19. Faktor lainnya adalah keyakinan publik terhadap vaksin itu sendiri.
Keengganan menjalani vaksinasi seperti Amir sejalan dengan hasil survei oleh inisiatif masyarakat sipil, LaporCovid-19 dan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Dari 328 responden, 32 persen enggan menerima vaksin buatan Sinovac dan 27 persen masih ragu. Hanya 31 persen responden yang menyatakan setuju.
Hasil sedikit berbeda ketika ditanya soal ketersediaan menerima vaksin Merah Putih yang sedang dikembangkan Lembaga Molekuler Eijkman. Sebanyak 44 persen menyatakan setuju menerima vaksin itu. Hanya 3 persen yang menyatakan tidak setuju. Sementara 37 persen lainnya menyatakan ragu-ragu.
“Hasil crosstab menunjukkan, salah satunya, responden berkeyakinan bahwa proses pembuatan vaksin butuh waktu lama. Vaksin yang sedang dibuat belum tentu tidak memiliki efek samping,” kata Irma Hidayana, pegiat LaporCovid-19, kepada reporter Tirto, Senin.
Dalam survei itu, sebanyak 41 persen mengaku masih ragu-ragu vaksin bisa melindungi mereka dari paparan COVID-19. Hanya 53 persen yang mengaku yakin vaksin bisa melindungi dan sisanya mengaku tidak yakin dan tidak tahu. Selain itu, sebanyak 32 persen menyatakan setuju bahwa vaksin itu memiliki efek samping. Sebagian besar responden, 55 persen, masih ragu-ragu. Sisanya mengaku tidak setuju dan tidak tahu.
Menko Erick punya alasan tersendiri mengapa pemerintah membuka peluang jual-beli vaksin. Dia bilang karena kemampuan pemerintah terbatas, justru tanpa kontribusi masyarakat membayar mandiri vaksin semakin sulit menjangkau banyak orang.
Erick bilang jika sekadar mengandalkan rumah sakit dan fasilitas kesehatan milik BUMN, vaksinasi hanya dapat dilakukan untuk 2,3 juta penduduk/bulan. Sementara jika swasta terlibat, maka bisa bertambah 11 juta penduduk/bulan. “Kalau gotong royong kita mampu 13-15 juta per bulan. Kalau kita ditugaskan 75 juta, ya, insya Allah 8-9 bulan selesai,” katanya. “Ini kontribusi yang tak kalah penting karena penduduk Indonesia sangat besar,” ujar Erick dalam sebuah webinar, Selasa 24 November 2020.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Rio Apinino