tirto.id - Suatu kali, Salim Said melihat Kepala Staf Angkatan Darat (Kasad) Jenderal Wiranto mencium tangan mantan Kasad terlama Indonesia, Jenderal Abdul Haris Nasution. Salim Said tentu tahu sejarah hidup dan sepak terjang Nasution sebagai jenderal penting di Indonesia.
"[...] pantasnya Nasution menjadi Jenderal bintang lima (Jenderal Besar). Memang aneh, dan tidak bisa saya jelaskan sampai sekarang mengapa lahir pemikiran dan gagasan demikian pada saat itu,” aku Salim Said dalam Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto (2016: 252).
Apa yang terbersit di kepalanya itu kemudian disampaikan kepada Jenderal Sayidiman Suryohadiprojo, yang menyarankan untuk menuliskan ide itu. Salim Said juga menyampaikannya kepada Letnan Jenderal Zaini Azhar Maulani, yang berpendapat jika dipublikasikan sebelumnya, maka bisa jadi Soeharto akan menolak.
Sementara itu, Salim Said sendiri berpikir Nasution pun akan menolaknya jika diberi penghargaan lebih tinggi daripada Soeharto. Demi menghindari ke-mutung-an daripada Soeharto, maka, menurut Salim, Soeharto harus mendapatkannya juga. Begitu pula Jenderal Soedirman.
“Alasan yang dipakai adalah peran mereka bertiga dalam Dwifungsi,” pikir Salim Said.
Terkait Nasution, Salim Said menyebut, “Abdul Haris Nasution sebagai pemimpin tentara pada tahun lima puluhan harus bekerja keras menjaga keutuhan dan otonomi tentara.”
Berkat Kepala Staf Sosial Politik (Kasospol) ABRI Letnan Jenderal Syarwan Hamid, pada awal Agustus 1997, Salim dipertemukan dengan Panglima ABRI Jenderal Feisal Tanjung. Gayung bersambut, Feisal Tanjung menerima ide Salim Said itu. “Tolong tuliskan dasar pertimbangannya,” pinta Feisal Tanjung.
Tak butuh lama, pada 6 Agustus Salim Said pun mengirimkan apa yang diminta Panglima ABRI, mengapa para jenderal itu layak diberi pangkat kehormatan jenderal besar bintang lima.
Kunfayakun. Pada 5 Oktober 1997 pangkat jenderal bintang lima pun diberikan kepada Soeharto, Nasution, dan almarhum Sudirman. Mereka dianugerahi pangkat bintang lima itu berdasarkan Keppres No. 44/ABRI/1997, Keppress No. 45/ABRI/1997, dan Keppres No. 46/ABRI/1997 tanggal 30 September 1997.
Pada 2 Oktober, untuk pemberiannya, Panglima ABRI menyambangi Soeharto di rumahnya di Jalan Cendana dan kemudian menuju rumah Nasution di Jalan Teuku Umar. Dua rumah itu berada di kawasan Menteng. Keluarga besar Nasution tampak senang dengan pemberian itu. Nasution berjanji akan memakainya ketika nanti menghadiri HUT ABRI ke-52 pada 5 Oktober 1997. Dalam acara itu Nasution akan bertemu dengan Soeharto—yang akan jadi inspektur upacaranya.
Menurut Panglima ABRI Feisal Tanjung, seperti dirilis Media Indonesia (2/10/1997), pemberian pangkat jenderal bintang lima kepada Nasution dikaitkan peran Nasution peletakan dasar-dasar doktrin ABRI. Semua tahu Nasution adalah tokoh penting juga di balik Dwifungsi ABRI yang jaya sepanjang Orde Baru. Di mana dalam praktiknya, prajurit bawahan berpeluh keringat membangun infrastruktur dan para perwiranya mengisi jabatan yang secara profesional harusnya diisi orang sipil.
Jenderal Intelektual
Nasution, yang jebolan Akademi Militer Kerajaan Belanda di Bandung jelang kalahnya Hindia Belanda oleh Jepang, selain dikenal sukses sebagai Panglima Siliwangi, Panglima Komando Jawa, lalu Kasad terlama di Indonesia, juga dikenal sebagai tokoh militer yang banyak menulis buku. Di samping berjilid-jilid autobiografinya yang dijuduli Memenuhi Panggilan Tugas dan berjilid-jilid buku sejarah perjuangan berjudul Sekitar Perang Kemerdekaan, Nasution juga telah menyusun buku legendarisnya, Pokok-pokok Gerilya.
Konon buku ini tak hanya dibaca di Indonesia. “Mungkin tak banyak yang tahu bahwa Jenderal Nasution punya peran dalam Perang Vietnam. Setidaknya, buku Pokok-pokok Gerilya yang ditulisnya pernah diterjemahkan, dipelajari, dan diterapkan oleh tentara Vietcong. Sebaliknya, Amerika juga mengambil konsep yang sama untuk menghadapi Vietcong, dengan taktik: antigerilya,” tulis Bakri Tianlaen dan kawan-kawan dalam Bisikan Nurani Seorang Jenderal (1997: 7).
Dengan menulis buku setidaknya Nasution menjadi jenderal yang intelek, seperti juga Tahi Bonar Simatupang, kawan yang tidak hanya seetnis tapi juga sama-sama belajar di Akademi Militer Kerajaan Belanda Bandung. Banyak jenderal yang belakangan juga membuat buku seperti Nasution.
Sementara itu, buku-buku Sekitar Perang Kemerdekaan tampaknya cocok menjadi referensi bagi penyusunan buku Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB). Di luar masalah pemberian pangkat bintang lima, Nasution terkait juga dengan Nugroho Notosusanto, yang berpengaruh besar dalam penyusunan buku babon sejarah Indonesia, Sejarah Nasional Indonesia (SNI), yang panjangnya 6 jilid.
Seperti ditulis Katherine McGregor dalam Ketika Sejarah Berseragam (2008: 75), Nugroho telah menyebarluaskan kepahlawanan (pahlawan perjuangan fisik) lewat museum hingga buku pelajaran di sekolah yang ikut memperkuat legitimasi Orde Baru. Jadi Nasution berjasa juga dalam memengaruhi paradigma sejarah orang-orang Indonesia masa kini. Suatu paradigma yang mengagung-agungkan tentara sebagai pejuang kemerdekaan.
Sebagai Pangkat Kehormatan
Pangkat jenderal bintang lima yang diberikan kepada Soeharto, Nasution, dan Sudirman ini, menurut Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI Abdul Wahab Mokodongan, tidak mengandung konsekuensi wewenang dan tanggungjawab dalam hierarki keprajuritan. Dengan kata lain tidak ada rantai komando atau wewenang dalam struktur organisasi ABRI. Artinya, jenderal bintang lima tidak bisa menggerakkan pasukan. Dalam kehidupan sehari-hari, jika hanya untuk memimpin ABRI, pangkat jenderal bintang empat saja sudah dianggap cukup.
Bintang lima alias jenderal besar ini hanya pangkat kehormatan, tidak lebih dari sekadar penghargaan. Pangkat kehormatan tidak hanya diberikan kepada orang militer, orang sipil pun bisa, kata Kapuspen. “Tentu saja jika dinilai mempunyai peran pengabdian luar biasa terhadap bangsa ini.”
Dalam hal ini, Abdul Haris Nasution jelas dianggap luar biasa jasa-jasanya kepada ABRI, dengan kepemimpinan dan pemikirannya di ABRI selama masa dinasnya. Dia pun disejajarkan dengan Panglima Besar Sudirman. Setidaknya dalam buku sejarah ABRI, Nasution akan terus disebut.
Maulani pun serasa melihat hal aneh di hari jadi ABRI ke-52 itu. Sebagai jenderal besar, Nasution memakai seragam kebesaran dengan bintang lima di pundaknya bersama Jenderal Besar Soeharto. Itu pemandangan luar biasa. Waktu itu, Nasution dan Soeharto tampak akrab.
Maulani tentu mengikuti sejarah hubungan antar-jenderal di ABRI. Semua orang tahu Nasution adalah salah satu penandatangan Petisi 50 pada 1980—yang mengkritik Presiden Soeharto. Soeharto tentu mutung kepada Nasution soal ini, tapi tentu Soeharto tidak bisa berbuat keras kepada laki-laki terhormat yang pernah jadi atasan dan seniornya di ABRI puluhan tahun silam tersebut.
Maulani pun bilang, “seperti tidak pernah terjadi apa-apa di antara keduanya.” Tampaknya semua berkat bintang lima.
Editor: Ivan Aulia Ahsan