tirto.id - Ada yang istimewa pada perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) ke-52 pada 5 Oktober 1997. Soeharto tampil beda dari HUT ABRI yang sudah-sudah. Dia masih inspektur upacara, namun di pundaknya tidak ada lagi empat bintang. Hari itu dia menyandang lima bintang.
Beberapa hari sebelum upacara tersebut, Panglima ABRI Jenderal Feisal Tanjung menyambangi rumah daripada Soeharto di Jalan Cendana untuk menyerahkan tanda pangkat kehormatan itu.
Demi mencegah sesuatu yang tidak diinginkan, apalagi membuat orang berpikiran buruk tentang presiden daripada Republik Indonesia, Panglima ABRI menegaskan di hadapan wartawan bahwa pemberian pangkat jenderal besar bintang lima tidak terkait dengan posisi Soeharto sebagai Presiden RI merangkap Panglima Tertinggi ABRI.
“Pangkat kehormatan kepada Presiden diberikan dengan pertimbangan (Presiden Soeharto) berhasil memimpin tiga operasi militer yaitu Serangan Umum 1 Maret (1949), Trikora dalam Perebutan Irian Barat (1962) dan menumpas pemberontakan G30S/PKI (1965),” jelas Panglima ABRI seperti dirilis Media Indonesia (2/10/1997).
Ditegaskan pula pangkat bintang lima tersebut tidak terkait dengan struktur organisasi ABRI. Sebab, kata Feisal Tanjung, “ABRI hanya memiliki jenderal bintang empat.” Salah satunya Feisal Tanjung sendiri. Jenderal bintang empat sudah dianggap cukup untuk memimpin ABRI.
Selain Soeharto, hari itu pangkat kehormatan jenderal besar bintang lima juga diberikan kepada Jenderal Abdul Haris Nasution dan almarhum Jenderal Sudirman. Keduanya dianggap berjasa bagi ABRI, bahkan kepada bangsa dan negara Indonesia. Setelah menerima gelar kehormatan itu, tentu saja Soeharto merasa bangga.
Dari SU 1 Maret hingga Pembersihan PKI
Soeharto kecil tampaknya tidak menyangka dirinya akan menjadi jenderal, apalagi jenderal bintang lima. Zaman dia kecil jenderal betulan bukan untuk orang pribumi desa sepertinya. Menjadi sersan dalam ketentaraan Hindia Belanda (KNIL) saja Soeharto muda yang polos sudah senang dan bangga. Dengan jadi sersan, paling tidak dia merasa terlepas dari penderitaan di dalam keluarga yang kadang tidak adil padanya. Namun karena revolusi kemerdekaan, di mana Soeharto terlibat, telah mengubah tatanan, maka Soeharto pun akhirnya jadi jenderal pada awal 1960-an.
Soeharto tentu sudah membuktikan kesetiaannya kepada Republik Indonesia yang sulit menang secara militer melawan Belanda. Seperti disebut Feisal Tanjung, Soeharto adalah pemimpin operasi Serangan Umum 1 Maret 1949 atas kota Yogyakarta yang sebelumnya diduduki Belanda. Meski hanya enam jam, pendudukan oleh pasukan yang dipimpin Soeharto itu sangat berarti di mata kaum Republiken.
Dicatat dalam banyak buku sejarah Orde Baru, serangan yang dipimpin Soeharto membuka mata dunia bahwa TNI dan RI masih ada. Terlepas dari siapa otak dari serangan itu dan berapa mangkok soto babat yang dimakan Soeharto di Kuncen.
Terkait Operasi Mandala Trikora Pembebasan Irian Barat, Soeharto yang baru saja jadi jenderal kala itu adalah orang yang menyusun pasukan untuk melakukan serangan besar-besaran ke Irian Barat yang diduduki Belanda. Beberapa pasukan, salah satunya pasukan Benny Moerdani, diterjunkan terlebih dahulu sebelum serangan. Namun penyerbuan besar-besaran seluruh pasukan di bawah komando Soeharto tidak pernah terlaksana karena Indonesia keburu beruntung di jalur diplomasi yang dicampuri Amerika Serikat.
Meski Operasi Trikora tidak sepenuhnya mengeluarkan kekuatan dan tidak mengalahkan Belanda secara militer, bintang Soeharto kian bersinar. Di masa ini pula Soeharto dianugerahi anak laki-laki bernama Hutomo Mandala Putra.
Selain operasi di Irian Barat, Soeharto juga menjadi orang penting dalam sejarah pembentukan Komando Tjadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) di awal 1960-an itu. Soeharto adalah panglima pertamanya.
Peran Soeharto yang paling sering disebut dan dikenang tentu saja pemberantasan PKI antara 1965-1966. Soeharto, sebagai orang Indonesia terkuat setelah 1 Oktober 1965, memakai kekuatannya untuk menyikat pasukan penculik G30S dan setelah itu melakukan penahanan atas orang-orang yang dianggap komunis. Di masa ini Republik banjir darah.
Setelah masa kelam itu berlalu, lahirlah apa yang disebut Orde Baru. Soeharto kemudian menjadi orang nomor satu di periode ini, tentu saja dengan dukungan ABRI. Di masa kekuasaannya musuh nomor satu daripada rezim Soeharto adalah PKI. Bahkan hingga kini komunis masih dianggap banyak orang sebagai bahaya laten. Perang melawan komunis inilah perang terbesar yang dimenangkan Soeharto, bukan melawan tentara hebat dari negara lain.
Dwifungsi Diambil Lagi
Selama lebih dari dua dekade jadi presiden, Soeharto membuat posisi ABRI semakin kuat. Jika di masa Presiden Sukarno ada tawaran amnesti bagi para pemberontak, di zaman Soeharto sulit ada tawaran serupa bagi orang yang dianggap pernah memberontak.
Pada zaman Orde Baru Soeharto lebih banyak lagi membawa tentara ke ranah sipil. “Yang tidak dipunyai Jenderal Soeharto waktu itu adalah teori atau doktrin yang membenarkan peran dominan tentara dalam politik,” tulis Salim Said dalam Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto (2016: 253-255).
Kala itu Jenderal Soeharto butuh teori untuk melandasi peranan tentara sebagai pengelola negara. Maka pemikiran Nasution pun dipakainya, terutama tentang Dwifungsi ABRI. Inilah masa-masa kejayaan tentara “gaya baru” setelah Revolusi 1945 berlalu dan tokoh-tokoh Angkatan 45 satu per satu pergi.
Ide jenderal besar bintang lima, sepengakuan Salim Said (hlm. 252), lahir dari pemikirannya ketika melihat Abdul Haris Nasution pada 1997 dalam sebuah acara. Menurut Salim Said, Nasution dengan segala pemikiran dan kepemimpinannya di ABRI layak mendapatkan itu, meski Nasution bukan tentara jago tempur. Di mata Salim Said, Nasution layak mendapat penghargaan seperti Douglas MacArthur, Erwin Rommel, atau Vo Nguyen Giap—yang dikenal jago tempur.
Setelah memikirkan banyak hal, agar terwujud ide ini, menurut Salim Said, maka perlu memberikannya pula kepada Presiden Soeharto, dan tentunya pada Jenderal Sudirman juga. Sebab, Nasution, yang tampaknya sudah berpikir ala orang Jawa, risih jika dirinya mendapat sesuatu yang lebih tinggi dari Soeharto.
Harian Suara Pembaruan (20/10/1993), seperti dimuat dalam buku Presiden RI ke II Jenderal Besar H.M. Soeharto Dalam Berita: 1993 (2008: 646-647), merilis artikel berjudul "Bintang Lima Untuk Pak Harto".Artikel itu melaporkan pada 1993 Soeharto telah memberi kenaikan pangkat pada purnawirawan seperti Soesilo Soedarman, T.B. Simatupang, dan Azwar Anas.
Terkait jasa-jasa Soeharto dalam kesejahteraan rakyat, Suara Pembaruan menyebut, ”sudah sewajarnya anugerah kenaikan pangkat menjadi jenderal bintang lima untuk dilaksanakan, sebagai tanda terimakasih bangsa Indonesia kepada pemimpin yang telah mengangkat nama baik bangsa dan negara di dunia internasional."
Ide tersebut baru terlaksana pada 1997, pada HUT ABRI ke-52 itu.
Editor: Ivan Aulia Ahsan