tirto.id - Sudirman tak pernah punya cita-cita jadi jenderal. Ia sadar bumiputra biasa seperti dirinya mustahil jadi jenderal. Ia juga tak menyangka akan diangkat jadi Letnan Jenderal Panglima Tentara Keamanan Rakyat (TKR) oleh pemerintah. Ini kejadian istimewa. Sebab banyak jenderal baru meraih bintang di pundak setelah masa pengabdian dua dekade atau lebih, sedangkan Sudirman bisa meraihnya dalam hitungan tahun saja.
Latar belakang militer Sudirman tak diawali dengan mengilap. Pria kelahiran Purbalingga 24 Januari 1916 ini hanya pernah jadi semacam hansip yang mengantisipasi serangan udara di zaman kolonial, dan tiga bulan latihan menjadi calon komandan batalion di Bogor pada zaman Jepang. Setelahnya dia langsung jadi komandan batalion sekitar dua tahunan. Bisa dibilang pendidikan militer Sudirman kurang. Lantas mengapa Sudirman bisa jadi jenderal? Tentu saja karena paksaan Revolusi Kemerdekaan Indonesia yang serba darurat.
Sudirman dikenal dan makin dipercaya berkat Palagan Ambarawa pada akhir 1945. Meski korban di pihak Indonesia jauh lebih besar dibanding pasukan Inggris yang menang Perang Dunia II, pertempuran itu dianggap sebagai kemenangan gemilang.
“Orang-orang Indonesia sangat gembira. Mereka menganggap bahwa pengunduran terpaksa dari pihak Sekutu itu adalah suatu kemenangan taktis militer,” tulis Ben Anderson dalam Revoloesi Pemoeda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946 (1988: 174).
Kiprah Sudirman di Ambarawa itu kelak dikenang sebagai Hari Infanteri. Pertempuran ini membuat Presiden Sukarno memercayakan kepemimpinan tentara di tangan Sudirman—yang sebelumnya sudah terpilih sebagai panglima lewat voting pada 12 November 1945. Keputusan rapat itu sulit diterima oleh Menteri Amir Sjarifuddin yang cenderung percaya pada orang-orang didikan militer Belanda ketimbang militer Jepang.
Orang macam Sudirman, yang terbatas pengalaman dan pendidikan militernya, tentu sulit diterima. Toch, di mata Amir, Oerip Soemohardjo lebih berpengalaman dari Sudirman. Namun apa boleh buat, jumlah komandan bekas didikan Jepang yang lebih banyak sudah memilih Sudirman sebagai panglima mereka.
Sebagai Panglima Besar, Sudirman tampil sebagai sosok pemimpin yang sederhana. Di kalangan prajurit, dia adalah sosok yang paling dihormati. Perwira-perwira yang tidak menyukainya pun tampak sulit mendongkelnya dari jabatan panglima tertinggi.
Di luar internal TKR—yang jadi cikal bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI)--Sudirman fokus pada musuh yang besar dan nyata: tentara Belanda yang dipimpin Letnan Jenderal Simon Hendrik Spoor. Kala itu, Tentara Belanda terbilang lebih kuat dari TKR/TNI yang dipimpin Sudirman. Kata Adolf Lembong, yang lebih berpengalaman dalam bergerilya, “TNI adalah tentara miskin.”
Keterbatasan senjata dan hal-hal lain membuat tentara Republik yang dipimpin Sudirman mau tidak mau harus melaksanakan perang gerilya jika tentara Belanda menyerang secara besar-besaran.
Sebelum tentara Belanda menyerbu kota Yogyakarta pada 19 Desember 1948, Sudirman sudah tidak sehat. Paru-parunya bermasalah. Banyak sumber, salah satunya Amrin Imran dalam Panglima Besar Sudirman (2004:48) menyebut, “Pak Dirman menderita TBC (tuberculosis)… sebuah paru-paru sudah rusak.”
Meski begitu, dia berkeras memimpin gerilya dalam Perang Kemerdekaan jilid 2 (1948-1949) sambil menghindari perburuan serdadu-serdadu Belanda yang bersenjata lengkap dan lebih terlatih dari TNI. Hingga muncul ungkapan: Sudirman memimpin perang dengan satu paru-paru. Sudirman yang tidak sehat namun masih mampu memimpin gerilya dalam perang yang mustahil dimenangkan Indonesia adalah bukti kebesaran sang Panglima Besar ini.
Karena kehebatannya, muncul anggapan Sudirman adalah orang sakti. Beredar cerita bahwa Sudirman berhasil menghalau pesawat tempur Belanda dengan hanya bermodal sebilah keris. Soal mitos-mitos itu, Sudirman tidak perlu memberi penjelasan apalagi melarang-larang. Bukan karena ini menguntungkan Sudirman, melainkan karena kesulitan menjelaskan ke masyarakat Indonesia yang doyan takhayul.
Terlepas dari heroisme dalam Perang Kemerdekaan dan “kecemerlangan” di Palagan Ambarawa, pria yang pernah menjadi guru di SD Muhammadiyah ini sudah dianggap sebagai Bapak Tentara yang lebih dari menguatkan tentara, melainkan juga membuat tentara jadi kekuatan penting di dalam negara.
“Sikap Sudirman sebagai Bapak Tentara yang terus-menerus sebisa mungkin menjaga keutuhan dan otonomi tentara dari berbagai usaha sipil—pemerintah maupun oposisi—untuk mengontrol atau memengaruhinya,” tulis Salim Said dalam Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto(2016:253).
“Kepemimpinan Sudirman juga membawa TNI keluar dari masa Revolusi dengan persepsi diri sebagai suatu kekuatan politik yang berjuang bersama dengan kekuatan politik lainnya.”
Ketika Wakil Presiden Muhammad Hatta punya wacana memperkecil jumlah tentara karena amat kecilnya anggaran untuk militer di masa revolusi itu, Sudirman tak terima. Menurut Salim Said, Sudirman tak mau tentara hanya sebesar “daun kelor” di masa-masa sulit itu.
Setelah memimpin perang gerilya dari akhir 1948 hingga pertengahan 1949, kesehatan Sudirman makin melemah. Sang Panglima Besar ini akhirnya mangkat pada 29 Januari 1950, tepat hari ini 72 tahun lalu, dalam usia 34 tahun. Setelahnya, tak ada lagi yang menjadi Panglima Besar TNI. Sudirman yang menjadi panglima besar pertama ini tentu dikenang oleh ABRI dan kini TNI. Hampir tiap kota di Indonesia punya Jalan Jenderal Sudirman.
Pada 1997, Sudirman dianugerahi pangkat Jenderal Bintang Lima karena jasa-jasanya sebagai Bapak TNI. Bersama Sudirman, dua penerima Bintang Lima lain adalah Jenderal Abdul Haris Nasution dan Jenderal Soeharto. Keduanya mantan bawahan Sudirman di zaman revolusi. Hanya tiga orang ini yang tercatat punya Bintang Lima dan dipanggil sebagai Jenderal Besar.
“Ketiga perwira tinggi itu telah mengabdi secara istimewa bagi kepentingan ABRI, bangsa, negara dan rakyat Indonesia,” kata Panglima ABRI Jenderal Faisal Tanjung pada 1997.
Di Asia Tenggara, negara yang memiliki jenderal bintang lima lain adalah Vietnam, yakni Vo Nguyen Giap. Dia lebih tua dari Sudirman, dan sebelum masa-masa perang juga pernah menjadi pengajar. Vo dianggap sukses dalam menghalau Prancis dalam pertempuran Dien Bien Phu (1954) dan ikut menghalau tentara Amerika Serikat dalam Perang Vietnam dengan gemilang. Vo baru meninggal pada 2013.
Dengan menjadi Jenderal Besar, Sudirman pun bersanding sejajar bersama Vo Nguyen Giap, Georgy Zhukov (Uni Soviet), Douglas McArthur (Amerika Serikat), maupun Erwin Rommel (Jerman) sebagai jenderal legendaris.
==========
Artikel ini terbit pertama kali pada 8 Maret 2019. Redaksi melakukan penyuntingan ulang dan menayangkannya kembali untuk rubrik Mozaik.
Editor: Nuran Wibisono & Irfan Teguh Pribadi