tirto.id - Suatu pagi pada 1946, para jenderal di Markas Besar Tentara (MBT) Yogyakarta tengah rapat. Panglima Besar Jenderal Soedirman dan Kepala Staf Letnan Jenderal Oerip Soemihardjo hadir di sana. Namun, rupanya tak semua jenderal ikut rapat. Di luar ruangan, ada seorang jenderal teraniaya. Namanya Jenderal Mayor Mohamad Mangoendiprodjo dari Jawa Timur. Sejak tengah malam ia sudah tiba di Yogyakarta untuk bertemu Oerip Soemohardjo.
Tiba-tiba, sebuah pasukan menyerbu MBT dan melumpuhkan para tentara yang berjaga. Pasukan dari Jawa Timur ini rupanya menginginkan Mohamad. Mereka berasal dari Batalyon Polisi Tentara Keamanan Rakyat (PTKR) yang dipimpin Mayor Sabaruddin, bekas anak buah Mohamad pada zaman Jepang.
Mohamad dihampiri tiga orang anak buah Sabarudin. Salah satunya adalah Kapten Ali Umar, tangan kanan kepercayaan Sabarudin.
“Angkat tangan!” todong sang Kapten, seperti diceritakan Drs. Moekardi dalam R Mohamad dalam Revolusi 1945 Surabaya: Sebuah Biografi (1993:138). Meski nyawanya terancam, Mohamad tetap berusaha jaga wibawanya sebagai Jenderal.
“Tidak mau!” tukas Mohamad yang kemudian disambut bogem mentah dari Kapten Ali Umar. Tiga bawahan Sabarudin lain langsung meringkus Mohamad. Tiga bawahan Sabarudin lainnya menyusul.
Dari luar ruang tunggu, beberapa personel pasukan Sabarudin mengamati keributan antara Mohamad dan Ali Umar. Terdengar bunyi letusan senapan yang memuntahkan peluru ke arah Mohamad. Peluru-peluru berhamburan. Para jenderal yang sedang rapat pun terperanjat.
“Sebuah peluru nyasar, bahkan nyaris mengenai Panglima Besar Sudirman yang secara sigap kemudian tiarap,” tulis Drs. Moekardi dalam R Mohamad Dalam Revolusi 1945 Surabaya: Sebuah Biografi (1993:139). Para jenderal tidak tahu apa yang terjadi, sementara para penyerbu tak memasuki ruangan rapat. Lagi-lagi, mereka hanya mencari Mohamad.
Mohamad tak roboh oleh peluru, melainkan oleh sebuah pukulan popor senapan yang mendarat di tengkuknya. Setelah menyeret Mohamad keluar, para penyerbu yang kini berubah status menjadi penculik melempar sasarannya ke dalam bak truk. Anak-anak buah Sabarudin menendangi dan menginjak-injak Mohamad yang saat itu sudah setengah sadar dan luka-luka.
Sabarudin memang menyimpan dendam kesumat pada Mohamad. Menurut catatan Moekardi (1993: 132-133), ketika menjadi bendahara Badan Keamanan Rakyat (BKR), Mohamad menganggap Sabarudin kurang bertanggungjawab atas uang yang selalu ia minta dari dirinya. Mohamad tahu cerita miring soal Sabarudin yang punya harem.
Bukan kali itu saja Sabarudin merasa diinjak-injak. Di zaman Jepang pun, Sabarudin pernah dibuat kecewa oleh Mohamad. Waktu itu, keduanya adalah tentara PETA di Sidoarjo. Selaku komandan batalyon (Daidancho), Mohamad pernah menolak rekomendasi agar Sabarudin (saat itu komandan pleton) untuk ikut pendidikan calon komandan kompi. Mohamad malah memilih rival Sabarudin yang bernama Soerjo.
Akibat penyerbuan pada 1946 itu, Sabarudin ditindak. Ia sempat dipenjara, tapi dibebaskan bersyarat, lalu ikut menghabisi para pelaku Peristiwa Madiun 1948. Bagian yang tak kalah penting dari peristiwa ini adalah fakta bahwa peluru pasukan Sabarudin hampir meleset ke arah Panglima Besar Sudirman, yang notabene bukan sasaran para penculik.
Peristiwa ini kalah menyedihkan dari kisah peluru nyasar yang menewaskan Ade Irma Suryani Nasution. Buku Album kenangan perjuangan Siliwangi (1991:551) menyebutkan bahwa Ade Irma Suryani Nasution tewas karena tembakan para penculik G30S yang awalnya dilepaskan untuk memancing sang ayah, Jenderal Abdul Haris Nasution, agar keluar kamar.
Ade Irma meninggal setelah beberapa hari terbaring di rumah sakit. Ia bukan politisi menyebalkan. Ia cuma bocah usia lima tahun yang masih duduk di taman kanak-kanak.
Di masa revolusi, “peluru nyasar” pernah dijadikan alasan untuk mengibuli tentara Belanda. Rachwono, seorang taruna Akademi Militer Yogyakarta, ikut serta Batalyon Kala Hitam pimpinan Mayor Kemal Idris. Ia pernah beraksi merebut senjata militer Belanda bersama HC. Princen. Dalam sebuah kontak senjata, Rachwono apes. ia kena tiga peluru tentara Belanda hingga luka parah.
“Atas pertolongan dokter Winata, ia diselundupkan ke Rumah Sakit Bunut Sukabumi sebagai rakyat jelata yang terkena peluru nyasar,” tulis Daud Sinjal dkk dalam Laporan Kepada Bangsa: Militer Akademi Yogyakarta (1996:129).
Setelah 10 hari dirawat di rumah sakit, Rachwono pulang ke Yogyakarta. Berkat kibul-kibul peluru nyasar, Rachwono selamat. Nasib mujur Rachwono kelak juga terbukti dengan pengangkatannya sebagai Panglima Kodam Mulawarman dengan pangkat Mayor Jenderal.
Editor: Windu Jusuf