tirto.id - Tujuh tahun Arab Spring berlalu, Mesir jatuh ke pangkuan diktator baru. Setelah sukses mencongkel kekuasaan Husni Mubarak selama hampir 30 tahun, rakyat Mesir dari berbagai elemen politik harus menghadapi rezim baru di bawah komando Abdel Fattah al-Sisi yang namanya meroket sejak mengkudeta Muhammad Mursi pada 2013.
Pada Maret mendatang, Mesir dijadwalkan menyelenggarakan pemilu presiden. Berbagai upaya telah diambil oleh Abdel Fattah al-Sisi untuk mengamankan posisinya. Ia menjelma menjadi figur terkuat di Mesir sejak mengalahkan Hamdeen Sabahi dalam pilpres 2014.
Sama halnya dengan Husni Mubarak, al-Sisi berlatar belakang militer. Ia lulus dari Akmil Mesir pada 1977 dan selanjutnya berdinas di korps infanteri, memimpin divisi infanteri mekanik, kemudian bertugas di zona militer Mesir di utara. Al-Sisi pernah memperdalam pendidikan militernya di Inggris (1992) dan Amerika Serikat (2006).
Lengsernya Husni Mubarak membuat al-Sisi mulai mendapat panggung politik ketika ia menjabat sebagai direktur intelijen militer. Ia juga menjadi anggota termuda dari Dewan Tertinggi Angkatan Bersenjata (SCAF) yang didominasi oleh para pemimpin militer senior.
Kemenangan kaum Islamis di Mesir dengan terpilihnya Muhammad Mursi pada Pilpres 2012 turut melambungkan nama al-Sisi. Mursi adalah kandidat dari Partai Kebebasan dan Keadilan, anak kandung organisasi Ikhwanul Muslimin (IM).
Al-Sisi dirangkul sebagai representasi kekuatan militer Mesir. Ia diberi jabatan sebagai Menteri Pertahanan sekaligus Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Mesir.
Sejak Mursi duduk di kursi presiden pada 24 Juni 2012, Mesir kembali diguncang aksi-aksi demonstrasi. Al-Sisi yang diharapkan melindungi pemerintahan Mursi, akhirnya justru membelot dengan mendukung gerakan people power ala Tamarod. Kubu anti-Mursi ini diisi oleh kelompok dan koalisi yang longgar. Di antaranya yang masih setia dengan pemerintahan Husni Mubarak dan/atau yang menginginkan campur tangan militer dalam memimpin negara.
Setelah Mursi digulingkan pada 3 Juli 2013 lewat kudeta, militer mengambil alih sementara kekuasaan di Mesir. Al-Sisi mengumumkan mundur dari jabatan militer untuk maju dalam Pilpres 2014, hingga akhirnya menang dan dilantik menjadi Presiden Mesir keenam pada 8 Juni 2014.
Dalam pidato pelantikannya, al-Sisi menyatakan akan memperbaiki Mesir setelah mengalami kekacauan dalam beberapa tahun terakhir. Setelah berjalan hampir empat tahun kepemimpinan al-Sisi, seperti apa kenyataannya?
Revolusi yang Belum Selesai
Sebelum menjabat Presiden, nama al-Sisi sudah kontroversial akibat tes keperawanan secara paksa terhadap sejumlah perempuan, tak lama setelah Husni Mubarak digulingkan pada Februari 2011. Masih dalam suasana transisi, al-Sisi yang kala itu menjabat sebagai kepala intelijen militer menangkap 17 perempuan sehari setelah peringatan Hari Perempuan Internasional pada 9 Maret 2011.
Mereka tak cuma ditahan, tetapi dipukuli, ditusuk dengan tongkat kejut listrik dan puncaknya dipaksa untuk menjalani tes keperawanan. Mereka juga diancam dengan tuduhan terlibat prostitusi.
Belasan perempuan ini kemudian diseret ke Pengadilan Militer pada 11 Maret dan dibebaskan dua hari kemudian. Beberapa di antaranya dijatuhi hukuman satu tahun penjara dengan dakwaan mengganggu ketertiban umum, menghancurkan harta benda, menghalangi lalu lintas, dan kepemilikan senjata.
Seketika al-Sisi jadi sasaran kritik. Seperti dilaporkan oleh Amnesty Internasional, al-Sisi berdalih bahwa tes keperawanan berguna untuk melindungi tentara dari kemungkinan tuduhan pemerkosaan. Juga berdalih sebagai upaya perlindungan terhadap pelecehan perempuan saat mereka ditahan.
Amnesty Internasional memandang bahwa prosedur semacam itu tak masuk akal dan tidak lebih dari tindak penyiksaan. Mereka mendesak pemerintah untuk merehabilitasi para korban perempuan, memberi dukungan medis, psikologis dan tentunya meminta maaf kepada para korban.
Dua tahun kemudian, al-Sisi membersihkan para anggota dan simpatisan Ikhwanul Muslimin yang berdemonstrasi pasca pelengseran Muhammad Mursi.
Pada pagi hari tanggal 14 Agustus 2013, dinas keamanan mulai mengepung alun-alun Al Nahda dan alun-alun Rabaa al-Adawiya dekat Masjid Rabaa al-Adawiya. Ada banyak demonstran yang masih terlelap di bawah tenda. Aparat menuntut agar tenda segera dibongkar. Tapi di sisi lain, tindakan aparat yang pintu keluar dan menembaki demonstran dengan gas air mata membuat keadaan kacau.
Sepuluh menit berselang, aparat mulai menembaki kerumuman dengan peluru tajam, kendati terdapat banyak perempuan dan anak-anak. Investigasi Human Rights Watch mencatat ada sedikitnya 817 pemrotes yang terbunuh. Sementara estimasi tertinggi menyebutkan lebih dari 1.000 korban. Peristiwa ini kemudian dikenal sebagai Pembantaian Rabaa. Al-Sisi yang punya andil besar untuk bertanggung jawab justru melenggang terpilih sebagai Presiden Mesir keenam.
Pasca Revolusi 2011, Mubarak dan anak-anaknya dipenjara. Al-Sisi-lah yang melindungi keluarga sang mantan diktator dari sorotan media. Belajar dari keluarga Mubarak yang suka tampil di muka umum, al-Sisi melakukan sebaliknya: tak mau terlihat bersama anggota keluarganya di hadapan publik. Sebagaimana dikisahkan Peter Hessler dari New Yorker, suatu ketika pers Bahrain memberitakan bahwa istri Sisi mendampingi sang presiden dalam sebuah kunjungan kenegaraan. Sejurus kemudian, Jawatan Pers Kepresidenan segera menghubungi surat kabar Bahrain untuk menghapus artikel tersebut.
Di bawah pemerintahan al-Sisi, korupsi menjalar ke seluruh Mesir. Forum Pembangunan dan Dialog Hak Asasi Manusia (Moltaka) memperkirakan bahwa uang yang hilang dikorupsi mencapai 55,6 juta dollar; 1,9 juta dolar dari angka tersebut telah digelapkan selama paruh pertama tahun 2016.
Dalam sebuah forum Program Kepemimpinan Presiden pada awal Agustus 2016, al-Sisi ditanya oleh salah seorang peserta tentang cara memerangi korupsi. Al-Sisi balik bertanya, "Apa yang bisa saya lakukan?"
Husni Mubarak Jilid Dua
Al-Sisi dikabarkan menang dengan cara-cara tidak demokratis ketika menghadapi Hamdeen Sabahi di bilik suara. Sabahi, politikus senior dari partai sayap kiri Al-Tayar Al-Sha'aby, akhirnya hanya berhasil mengantongi 3,9 persen suara.
Daily News Egypt melaporkan bahwa para mahasiswa pendukung Sabahy di Mansoura University diciduk dan didakwa dengan kepemilikan bom molotov. Di Heliopolis, empat koordinator kampanye diserang ketika mengumpulkan tanda tangan dukungan kepada Sabahi. Para pendukung al-Sisi mencuri dan merobek berbagai dokumen kampanye, menghancurkan kamera dan menghapus foto-foto dari kartu memori.
Setelah berhasil menggulingkan Mursi, pemerintahan militer al-Sisi juga tercatat menangkap, menganiaya, memenjarakan hingga membunuh ratusan demonstran yang mengkritik dirinya.
Pada tanggal 26 sampai 28 Maret mendatang, Mesir akan menyelenggarakan Pilpres 2018. Al-Sisi sudah menegaskan bahwa dirinya akan maju lagi guna memenangkan kembali kursi kepresidenan. “Saya berjanji, bahwa pemilihan presiden yang akan datang akan bebas dan transparan,” kata Sisi dalam pidatonya pada Jumat (19/1) lalu, dilansir dari The New York Times.
Singkatnya, para pesaing al-Sisi dipaksa mengibarkan bendera putih sebelum maju berperang. Korban terbaru adalah Sami Anan, seorang mantan Kepala Staf Angkatan Bersenjata dan Dewan Tertinggi Militer Mesir. Dilansir dari Guardian, setelah mengumumkan keinginannya maju dalam pemilu pada Maret 2018, Anan segera ditangkap pada Selasa (23/1) pekan lalu.
Menurut juru bicara Anan, Mahmoud Refaat, 30 pendukung kampanye Anan dan beberapa anggota keluarga mereka ikut diciduk.
Penangkapan Sami Anan hanya menambah daftar panjang para kandidat presiden Mesir yang disingkirkan oleh al-Sisi di bulan pertama tahun 2018 ini. Senin (15/1) lalu, Mohamed Anwar Sadat yang tidak lain adalah keponakan mantan presiden Mesir yang terbunuh, Anwar Sadat, mengumumkan bahwa dirinya mengundurkan diri dari pencalonan.
Dilansir Reuters, Sadat menyatakan khawatir akan keamanan para pendukungnya yang telah sukarela mengumpulkan suara untuk dirinya.
Khalid Ali, seorang pengacara HAM yang telah mengumumkan bakal maju dalam pemilu akhirnya pun menyatakan mundur pada Rabu (24/1) kemarin. Rezim al-Sisi bahkan menggerebek sebuah penerbitan yang menyimpan brosur kampanye Ali. Ali juga menghadapi hukuman penjara tiga bulan dengan tuduhan telah “menyinggung kesopanan publik".
Ada lagi Ahmed Shafik, mantan Panglima Tertinggi Angkatan Udara Mesir yang pernah menjabat Perdana Menteri Mesir. Ia sudah mengundurkan diri pada 7 Januari kemarin. The New York Times melaporkan salah satu pengacara Shafik yang tak mau disebutkan namanya mengatakan bahwa pemerintah Mesir telah memaksa Shafik untuk menarik pencalonannya dengan ancaman penyelidikan tuduhan korupsi terhadap sang mantan perdana menteri.
Pada Desember 2017, Kolonel Ahmed Konsowa yang mengumumkan rencananya mencalonkan diri dalam pemilu malah dijatuhi hukuman enam tahun penjara oleh Pengadilan Militer dengan dakwaan tidak mematuhi perintah militer dengan menunjukkan pandangan politiknya.
Pemerintahan al-Sisi menggunakan polisi, tentara, dan lembaga yudikatif untuk memperkokoh kekuatan politiknya dengan menyingkirkan semua pesaing. Laporan Human Rights Watch menyebutkan bahwa rezim al-Sisi sudah memblokir sedikitnya 103 situs web antara 24 Mei dan 22 Juni 2017.
Pemerintahan al-Sisi membuat undang-undang yang represif untuk mengontrol lembaga-lembaga swadaya masyarakat. UU baru tersebut menyatakan bahwa LSM yang menerima dana dari dalam dan luar negeri harus melaporkannya ke pemerintah dalam waktu tiga puluh hari. Selanjutnya, pemerintah akan menentukan apakah dana tersebut bisa cair atau tidak.
Pada Mei 2017, pemerintahan al-Sisi merancang undang-undang untuk membatasi kebebasan menggunakan media sosial seperti Twitter dan Facebook. Rencananya, pengguna diminta mendaftar akunnya terlebih dahulu ke pemerintah. Jika tidak lolos seleksi, akun mereka tidak bisa digunakan.
Masih dari laporan Human Rights Watch, pada bulan Oktober 2017, pemerintah kembali mengoperasikan Pengadilan Keamanan Darurat, sebuah lembaga yang terkenal dengan keputusannya yang tidak bisa dikenai banding. Belakangan para tahanan politik disidang lewat lembaga ini, bahkan “untuk pelanggaran kecil sekalipun”.
Minggu (28/1) kemarin, lima tokoh oposisi terkemuka—di antaranya bekas pendukung al-Sisi—menyerukan pemboikotan terhadap Pilpres Maret mendatang dan menyatakan tidak akan mengakui hasilnya.
Mohamad Elmasry, dosen studi media dan budaya di Doha Institute, mengaitkan otoritarianisme al-Sisi dengan efek terpilihnya Donald Trump sebagai presiden negara yang menjadi mitra utama Mesir, Amerika Serikat.
Selama duduk di Gedung Putih, Trump menyatakan bahwa prioritas penegakan HAM dan demokrasi tidak termasuk dalam prioritas kebijakan luar negerinya. Kemenangan Trump, demikian Elmasry, ditafsirkan sebagai sinyal positif oleh para diktator yang secara longgar bersekutu dengan AS, bahwa Washington tidak mungkin menjegal mereka dengan isu-isu terkait demokrasi dan hak asasi manusia.
Penulis: Tony Firman
Editor: Windu Jusuf