tirto.id - Untuk menyelamatkan pohon Khejri, Amrita Devi beserta tiga anak perempuannya Asu, Ratni dan Bhagu pada 1730 mengorbankan nyawanya. Saat itu, Maharaja Jodhpur hendak membikin istana baru tetapi kekurangan bahan. Ia memerintahkan pengawalnya untuk mencari kayu. Di daerah bernama Kherjalli, di Marwar, Rajastan, mereka menemukan pohon Khejri yang kemudian hendak digunakan untuk bahan pembangunan.
Amrita Devi lantas memulai gerakan perlindungan pohon-pohon yang dianggap suci ini. Para pembantu raja sempat menawarkan uang sogokan tetapi ditolak. “Ketimbang kalian memotong pohon ini, lebih baik kalian penggal saja kepalaku,” begitu kira-kira pesan yang disampaikan Amrita. Ia lantas dipancung saat melindungi pohon Khejri, apa yang ia lakukan diikuti oleh 363 orang lain dalam usaha melindungi pohon Khejri.
Apa yang mereka lakukan lantas menginspirasi gerakan Chipko di India, yang berusaha melindungi tanaman dan ekosistem alam dari perusakan. Pada 1973 di daerah Mandal, bukit Alakananda di Uttar Pradesh masyarakat desa setempat memprotes keputusan pemerintah untuk memberikan konsesi lahan hutan terhadap perusahaan alat-alat olahraga. Protes ini terjadi karena pemerintah dianggap tidak adil setelah sebelumnya masyarakat meminta izin penggunaan kayu untuk alat-alat produksi pertanian ditolak. Gerakan ini menyebar dan makin menguat hingga melahirkan moratorium 15 tahun pelarangan penebangan hutan di daerah itu.
Perempuan dalam banyak peradaban merupakan pihak yang paling awal merespons perubahan dan menginisiasi protes. Dalam gerakan Chipko di India, para perempuan ini memeluk pohon dan menginisiasi gerakan panjang perlindungan terhadap lingkungan. Dalam banyak hal, mereka juga yang kemudian menginspirasi, mengadvokasi, dan memulai kampanye penyelamatan ekosistem dari ancaman korporasi dan negara.
Perempuan dan gerakan sosial bisa dilacak jejaknya hingga bertahun-tahun sampai di awal mula peradaban modern. Salah satu naskah drama klasik berjudul Lysistrata, mungkin bisa menggambarkan bagaimana perempuan-perempuan Atena menolak memberikan konsent dan tubuh mereka untuk seks sebagai protes untuk menghentikan perang. Dalam naskah itu, Aristophanes mengkritik sembari menunjukkan betapa perempuan bisa superior terhadap laki-laki jika mereka mau.
Mengapa perempuan berbahaya saat mereka melakukan protes? Kimberly Key, dalam artikelnya menyebutkan bahwa laki-laki takut kehilangan otoritasnya saat perempuan melakukan protes. Perempuan yang memiliki kesadaran bisa mengetahui bahwa haknya sebagai manusia diinjak, seperti ketidakadilan gender, perbedaan upah minimum, hak reproduksi, dan berbagai hal lainnya. Sederhananya, laki-laki takut perempuan akan memperlakukan mereka seperti laki-laki memperlakukan perempuan, dengan tidak adil.
Selain itu ada pula faktor pemikiran maskulin, di mana sedari kecil setiap laki-laki diajari untuk menjadi superior. Kebudayaan ini membuat laki-laki sebagai satu-satunya pihak yang dominan. Seperti laki-laki harus kuat, laki-laki harus jadi pemimpin, laki-laki tak boleh menangis, laki-laki tak boleh menyukai boneka. Kesadaran ini lantas membuat perempuan menjadi pihak yang sebaliknya. Perempuan dalam budaya patriarki hanya sekadar pelengkap, kerap kali objek, dan tidak jarang jadi pihak yang ditindas.
Di sisi lain menurut Kimberly Key, perempuan selalu ada dalam hirarki yang lebih rendah daripada laki-laki. Alih-alih jadi rekan setara, mereka diajarkan untuk jadi sekadar pelengkap, perempuan sedari kecil diajarkan untuk melayani, mereka harus kemayu, harus tunduk pada perasaan, tidak boleh agresif, dan cuma boleh menangis sebagai respon emosi apapun. Patriarki menginginkan perempuan untuk terus tunduk, menurut, dan menyesuaikan diri dengan citra ideal yang dibentuk oleh laki-laki tadi.
Dalam banyak pikiran laki-laki kerdil yang penakut, perempuan adalah makhluk lemah yang perlu diatur hidupnya. Mereka berkewajiban merawat anak dan suami, melakukan pekerjaan domestik, harus bisa berdandan, pintar memasak, tidak boleh bersuara keras, tidak boleh kasar, harus di rumah, dan dilarang berogranisasi. Ini mengapa saat ada perempuan yang melawan, perempuan yang menolak tunduk, perempuan yang melakukan aksi serta protes, para lelaki jadi takut.
Salah satu contoh terkini di Indonesia adalah bagaimana respons banyak orang terhadap para petani perempuan Kendeng yang menyemen kaki mereka. Para perempuan ini dituduh bodoh, lemah akal, dan tak punya ide protes sendiri. Beberapa tuduhan seperti adanya aktor intelektual, dibohongi oleh oknum dan dikorbankan orang lain menunjukkan bahwa banyak orang di Indonesia berpikir perempuan tak punya kesadaran otonom akan tubuh serta pikirannya.
Perempuan yang melakukan protes dianggap sebagai sundal, binal, liar, aneh, dan kurang ajar. "Kok tidak merawat suami dan anaknya?" kata mereka, seolah mengurus hidup dalam rumah tangga melulu tugas perempuan. "Lho mereka kok dibiarkan protes sendiri? Suaminya mana?" katanya, seolah mereka tidak punya hak untuk memprotes dan melakukan perlawanan secara mandiri. Michelle Dean dari the Nation menyebut bahwa di dunia sejarah perlawanan perempuan tak jarang memantik revolusi besar di tingkat negara.
Salah satu yang bisa kita baca adalah peristiwa The March On Versailles yang terjadi pada Oktober 1789. Peristiwa ini juga dikenal sebagai Aksi Masa Perempuan, yang terjadi di awal masa penting demokrasi Perancis. Sekelompok perempuan lapar dan marah memprotes kenaikan harga makanan. Sejarawan Inggris, Thomas Carlyle menyebut insureksi perempuan ini lahir karena para ibu tak punya lagi roti untuk makan anak-anak mereka, sementara para keluarga kerajaan bisa dengan enak melakukan pesta sepuasnya.
Tujuh ribu perempuan Perancis melakukan perjalanan panjang untuk mengepung Istana Versailles. Aksi yang awalnya hanya diikuti puluhan perempuan berkembang menjadi ratusan, ribuan, hingga ratusan ribu menyerbu istana Versailles dan melahirkan revolusi Perancis. Saat dapur tak punya lagi tepung untuk dibuat roti, saat anak-anak kelaparan, hanya ibu rumah tangga tahu apa yang mesti dilakukan. Tapi apakah ini saja gerakan perempuan yang mengubah lanskap politik dunia?
Tubuh perempuan adalah ladang pertempuran yang kerap kali para pelakunya bukan si perempuan itu sendiri. Mereka diajarkan untuk mampu memasak, piawai membersihkan rumah, jago mematut diri, dan harus bisa merawat tubuh untuk kepentingan laki-laki. Mereka yang kriting harus bersedia diluruskan rambutnya, mereka yang sawo matang mesti banyak-banyak memakai perawatan agar terlihat putih, dan mereka yang terlalu pintar harus menahan diri dari kekurangcerdasan pasangan mereka agar tak dianggap kurang ajar.
Tapi perempuan-perempuan yang hebat tahu bahwa mereka bukan sekadar hiasan, mereka tahu bagaimana cara untuk melawan ketidakadilan. Saat perempuan Inggris tak diizinkan untuk memilih aspirasi politik, mereka melawan dengan kekerasan. Di Inggris pada 1912 kelompok aktivis suffragette, melakukan protes keras dengan merantai diri mereka ke rel kereta, menghancurkan komplek pertokoan dan melakukan mogok makan hingga puncaknya mereka meledakkan bom sebagai protes lebih lanjut. Saat itu lebih dari 1000 aktivis suffrage ditangkap atas tuduhan insureksi, tapi perempuan perempuan inggris mendapatkan hak pilih mereka sesudahnya.
Gerakan penting dan mungkin paling relevan yang bisa menggambarkan aksi langsung perempuan adalah Gulabi Gang atau Pink Gang, kelompok perempuan India yang merespon fenomena kekerasan seksual di negara itu. Para perempuan yang muak dengan perkosaan, kekerasan, dan pelecehan melawan balik dengan menggunakan tongkat kayu. Sampat Devi Pal, dalam video dokumenter mereka, menyebut bahwa mereka akan mencari, melawan, dan memukuli pemerkosa hingga babak belur agar mereka jera.
Di negara di mana berita perkosaan lebih banyak daripada gosip artis, apa yang dilakukan Devi adalah terobosan penting. Perempuan memiliki kekuatan dan otoritas untuk merebut apa yang telah dikuasa laki-laki, relasi kuasa. Devi menemukan kekuatan kayu saat ia melawan tetangganya yang kerap memukul istrinya pada 1980. Saat ini Gulabi memiliki 400.000 anggota yang bisa merespons langsung para pelaku kejahatan seksual lebih efektif dan cepat dari kepolisian.
Penulis: Arman Dhani
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti