Menuju konten utama

Jejak Kasus Selebgram AP yang Dipenjara di Myanmar

Selebgram AP dipenjara 7 tahun di Myanmar, dituduh temui pemberontak. Kasus ini jadi ujian diplomasi Indonesia lindungi warganya.

Jejak Kasus Selebgram AP yang Dipenjara di Myanmar
Pendukung militer Myanmar mengibarkan bendera nasional Myanmar selama unjuk rasa mendukung kudeta militer di Naypyitaw, Myanmar, Kamis, 4 Februari 2021. (Foto AP)

tirto.id - Selebgram asal Indonesia berinisial AP, menjadi sorotan publik usai muncul dugaan bahwa ia kini ditahan oleh pemerintah Myanmar. Isu ini mencuat setelah Anggota Komisi I DPR RI, Abraham Sridjaja, mengungkap bahwa ada seorang WNI yang ditahan di Myanmar karena dituduh mendanai kelompok pemberontak di negara tersebut.

“Ada satu warga negara kita di Myanmar yang ditahan oleh pemerintah Myanmar. Dia dituduh bahwa dia mendanai pemberontak Myanmar. Padahal dia tidak ada niat untuk seperti itu. Dia hanya selebgram yang suka bikin konten. Alangkah baiknya bisa dikomunikasikan untuk diberikan amnesti atau dideportasi," kata Abraham Sridjaja dikutip dari TV Parlemen, Senin (30/6/2025).

Kementerian Luar Negeri Indonesia (Kemlu) pun akhirnya buka suara terkait isu ini. Direktur Jenderal Perlindungan WNI, Judha Nugraha, membenarkan ada WNI berinisial AP yang ditangkap otoritas setempat. Penangkapan AP berdasar tuduhan memasuki wilayah Myanmar secara ilegal dan menemui kelompok bersenjata di wilayah tersebut.

"AP dituduh memasuki wilayah Myanmar secara ilegal dan kemudian melakukan pertemuan dengan kelompok bersenjata yang dikategorikan sebagai organisasi terlarang oleh otoritas setempat," kata Judha dalam keterangan pers, Selasa (1/7/2025).

Aparat penegak hukum Myanmar menjerat AP dengan dakwaan melanggar Undang-Undang Anti-Terorisme, Undang-Undang Keimigrasian 1947, dan Section 17(2) Unlawful Associations Act.

Otoritas Pengadilan Myanmar telah memvonis AP dengan hukuman kurungan badan tujuh tahun penjara. Saat ini AP mendekam di Insein Prison, Yangon, Myanmar.

Meski telah berstatus vonis berkekuatan hukum tetap, upaya non-litigasi juga dilakukan oleh Kemlu dan KBRI Yangon melalui fasilitasi permohonan pengampunan dari pihak keluarga.

"Kemlu dan KBRI Yangon akan terus memonitor kondisi AP selama menjalani hukuman penjara," ujarnya.

Kepada BBC, Juru Bicara Militer Myanmar, Jenderal Zaw Min Tun, mengaku tidak mengetahui apa pun terkait penangkapan AP. Namun, berdasarkan sumber lain di Myanmar –yang tidak mau disebutkan namanya– AP datang ke Myanmar untuk menghadiri acara pernikahan temannya.

"Dia menunjukkan foto-foto bersama anggota KNU di pernikahan tersebut. Rupanya ada orang di situ menginformasikan hal itu ke aparat Myanmar yang berujung pada penangkapannya," kata sumber tersebut dikutip dari BBC, Rabu (3/7/2025).

KNU merujuk ke Karen National Union (Persatuan Nasional Karen). Mereka adalah organisasi politik dan militer etnis Karen di Myanmar, yang menentang kudeta militer di negara tersebut pada tahun 2021 lalu.

KNU tergabung dalam aliansi kelompok etnis bersenjata dan bekerja sama dengan Pemerintah Persatuan Nasional (NUG), untuk memperjuangkan pembentukan negara federal demokratis.

Siapa Sosok AP?

Sejumlah pihak mengaitkan sosok AP dengan Arnold Putra, pengusaha dan desainer fesyen muda asal Indonesia. Sebagai desainer, Arnold sempat menjadi sorotan publik. Dia mencuri perhatian saat memproduksi produk menggunakan elemen tubuh manusia.

Salah satu karya yang paling kontroversial adalah tas tangan yang diklaim terbuat dari tulang belakang manusia. Tas tersebut pertama kali dibuat pada tahun 2016 di Los Angeles dan diunggah ke akun Instagram miliknya, meski dihapus kemudian.

Seturut laporan Tirto, menurut pengakuannya, tulang belakang manusia yang ia pakai dibeli secara legal di Kanada. Tulang tersebut, lanjut Arnold, adalah tulang anak penderita osteoporosis yang kemudian dimanfaatkan praktisi kesehatan sebagai bahan pembelajaran.

“Kita memang bisa membeli tulang manusia di perusahaan resmi yang menerima tulang-tulang manusia untuk keperluan medis,” kata Arnold pada April 2020.

Arnold Putra

Tas yang disebut berbahan dasar tulang belakang manusia. Instagram/@byarnoldputra

Jika Anda mampir ke akun Instagram-nya, maka sajian beragam aktivitas turisme tak lazim tersaji di situ. Arnold tampak sering mengunjungi wilayah-wilayah konflik di berbagai belahan dunia. Pada April 2024 misalnya, ia mengunjungi Datu Saudi-Ampatuan, sebuah wilayah yang terletak di perbatasan Provinsi Maguindanao del Sur dan Sultan Kudarat, Filipina Selatan.

Dalam salah satu foto yang ia unggah, Arnold tampak bersama anggota Front Pembebasan Islam Moro (MILF), kelompok separatis yang berpusat di Mindanao. MILF memperjuangkan otonomi bagi komunitas Muslim Moro di Filipina Selatan.

Sebelumnya, pada Juli 2023, ia juga membagikan dokumentasi kunjungannya ke Ukraina. Ia terlihat berada di zona konflik bersama sejumlah personel militer dan kelompok-kelompok kombatan pro-Ukraina. Salah satu interaksi paling menonjol adalah pertemuannya dengan Nitai dan Denis, dua operator drone kamikaze yang juga merupakan pendiri Federasi Street Workout Ukraina.

Peneliti Psikologi Sosial dari Universitas Indonesia, Wawan Kurniawan, menyebut apa yang Arnold –atau influencer serupa lakukan– sebagai upaya menunjukkan eksistensi. Dia mengeksplorasi tempat-tempat ekstrem seperti zona konflik atau wilayah terpencil, untuk membentuk citra diri yang berbeda (distinctiveness) dan mencari validasi sosial.

“Media sosial menciptakan ekosistem di mana keberanian dan keunikan visual menjadi mata uang utama. Dengan menampilkan diri di lokasi ekstrem, influencer memperkuat identitas digital mereka sebagai sosok berani, peduli, atau petualang, sekaligus merespons norma sosial baru yang menilai keberhasilan dari keterlihatan dan keterlibatan publik,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Kamis (3/7/2025).

“Terlebih setelah pola atau branding yang dibuat, melakukan hal yang berulang akan semakin tak terhindarkan,” sambungnya.

Akun instagram Selebgram

Akun Selebgram Awkarin. TIRTO/Andrey Gromico

Wawan menambahkan, mengekspos diri secara terus-menerus di lingkungan ekstrem membawa risiko psikologis dan sosial yang serius. Tekanan untuk tampil menarik atau berbeda di ruang berbahaya dapat memicu kelelahan mental, kecemasan, dan krisis identitas.

“Ada kecenderungan desensitisasi emosional dan ketergantungan pada respons audiens, yang dalam jangka panjang bisa mengganggu keseimbangan psikososial individu,” ujarnya.

Lebih lanjut, Wawan juga menjelaskan secara dampak sosial, tindakan ini juga dapat menimbulkan problem etis. Terutama ketika penderitaan orang lain dijadikan latar konten, yang justru berisiko memperkuat eksploitasi simbolik dan memudarkan empati di era digital.

Langkah Apa yang Bisa Pemerintah Indonesia Lakukan?

Pengamat hubungan internasional dari Fakultas Humaniora Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor, Sofi Mubarok, menjelaskan negara punya kewajiban konstitusional untuk melindungi warganya yang berada di luar negeri. Hal ini berdasar Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, serta regulasi internal Kementerian Luar Negeri (Kemlu).

“Kasus WNI di Myanmar ini bukanlah yang pertama. Ada beberapa kondisi serupa di masa lalu. Misalnya terkait kasus WNI di Filipina (2016-2017) yang diduga terlibat dengan kelompok Abu Sayyaf, yang dikategorikan sebagai kelompok teroris. Atau Kasus WNI Eks-ISIS di Suriah tahun 2017-2021,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Kamis (3/7/2025).

Dalam kasus di Filipina, KBRI Manila saat itu memberikan pendampingan secara penuh dan mengirimkan nota diplomatik kepada pemerintah setempat. Setelah melalui proses verifikasi dan tidak terbukti adanya keterlibatan dalam aktivitas terorisme, WNI yang bersangkutan akhirnya berhasil dipulangkan ke Indonesia.

“Untuk WNI di Suriah, pemerintah memberikan akses kemanusiaan penuh seperti logistik dan komunikasi keluarga. Namun tidak semua dipulangkan karena alasan keamanan nasional,” ujarnya menambahkan.

Kudeta Myanmar

Para biksu Buddha memegang plakat saat mereka berpartisipasi dalam unjuk rasa yang memprotes hasil pemilu oleh pendukung militer Myanmar dan Partai Persatuan dan Pembangunan yang didukung oleh militer di dekat pagoda Shwedagon Sabtu, 30 Januari 2021, di Yangon, Myanmar. (Foto AP / Thein Zaw)

Namun, situasi Indonesia dengan Myanmar jauh lebih rumit dibanding dengan Filipina dan Suriah, karena tidak ada masalah bilateral besar dengan dua negara tersebut. Sejak ASEAN membekukan kehadiran Myanmar dalam pertemuan tingkat tinggi pada 2021, dan Indonesia secara terbuka mengkritik pemerintahan junta, hubungan kedua negara pun semakin renggang.

“Selain tentu juga karena kompleksitas politik dan keamanan di Myanmar. Maka, strategi diplomasinya juga harus lebih kreatif. Sejauh ini, Indonesia sudah menempuh jalur diplomatik konvensional seperti pengiriman nota diplomatik, pendampingan konsuler, hingga permohonan grasi,” ujarnya menambahkan.

Sofi menyarankan, untuk kasus AP di Myanmar, Indonesia perlu menempuh jalur lain. Misalnya melalui backchannel diplomacy. Indonesia bisa menggunakan perantara informal, negara ketiga. Dalam hal ini, seperti Tiongkok, yang merupakan sekutu strategis utama Myanmar.

“Atau, menjalin komunikasi pribadi dengan pejabat tinggi Myanmar untuk membahas ‘solusi moderat’, misalnya pengampunan terbatas untuk AP,” pungkasnya.

Pemerintah Indonesia lewat Kemlu memastikan KBRI Yangon telah melakukan sejumlah tindakan dari pengiriman nota diplomatik hingga akses konsuler. Mereka menjamin bahwa AP terpenuhi hak hukumnya dan mendapat pendampingan saat proses pemeriksaan.

"Sejak awal penangkapan, KBRI Yangon telah melakukan berbagai upaya perlindungan, antara lain; mengirimkan nota diplomatik, melakukan akses kekonsuleran dan pendampingan langsung saat pemeriksaan, memastikan pembelaan pengacara, serta memfasilitasi komunikasi antara AP dan keluarganya," ujar Direktur Jenderal Perlindungan WNI, Judha Nugraha.

Terpisah, Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, mendorong pemerintah untuk terus meningkatkan diplomasi demi pembebasan AP. Dasco mengungkapkan jika diplomasi tidak berhasil membebaskan AP, maka TNI diminta untuk ikut turun tangan dengan aksi operasi militer selain perang (OMSP).

"Jadi, apabila diplomasi gagal, kami akan mendorong pemerintah untuk melakukan opsi operasi militer selain perang. Operasi militer di luar perang itu dijamin dalam peraturan TNI yang baru," kata Dasco, dalam konferensi pers di Kompleks MPR/DPR RI, Kamis (3/7/2025).

Dasco mengungkapkan pihaknya mendorong pemerintah untuk serius dalam melakukan diplomasi karena tiap WNI yang ada di luar negeri wajib mendapat perlindungan dan pemenuhan hak hukum.

"Khusus untuk Myanmar, kita mendorong pemerintah untuk terus melakukan diplomasi. Untuk warga negara Indonesia dan segenap tumpah darah Indonesia, itu ada di Undang-Undang TNI," ucap Dasco.

Baca juga artikel terkait SELEBGRAM atau tulisan lainnya dari Alfitra Akbar

tirto.id - News Plus
Reporter: Alfitra Akbar
Penulis: Alfitra Akbar
Editor: Alfons Yoshio Hartanto