tirto.id - Selebgram Arnold Putra menganggap proses kreatif dalam membuat karya harus melibatkan hal-hal di luar pakem. Bila tidak demikian, menurutnya produk yang dihasilkan adalah pengulangan. Arnold mengatakan hal itu kepada wartawan Insider yang menanyakan maksudnya ketika merancang tas jinjing seharga $5000 dolar dan terbuat dari material tulang punggung manusia serta lidah binatang buaya.
Tas itu dibuat pada 2016 di Los Angeles dan diunggah ke akun Instagram @byarnoldputra. Berjalan empat tahun kemudian, tepatnya sekitar pertengahan April 2020 lalu, produk tas jinjing dan Arnold jadi perbincangan publik setelah seseorang mengunggah foto tas tersebut di akun Twitter-nya dan tersebar di berbagai situs lain.
Efeknya bisa ditebak: ia dicacimaki warnganet. Namun, Arnold lantas merespons dengan menyatakan bahwa dirinya hanya berkontribusi dalam merancang produk dan tas kontroversial tadi adalah salah satu wujud ide kreatifnya.
Menurut pengakuannya, tulang belakang manusia yang ia pakai dibeli secara legal di Kanada. Tulang tersebut, lanjut Arnold, adalah tulang anak penderita osteoporosis yang kemudian dimanfaatkan praktisi kesehatan sebagai bahan pembelajaran.
“Kita memang bisa membeli tulang manusia di perusahaan resmi yang menerima tulang-tulang manusia untuk keperluan medis,” kata Arnold pada Insider.
Persoalannya, Arnold menolak untuk memperlihatkan dokumen pembelian tulang manusia dengan alasan bersifat rahasia. Dengan demikian, hingga kini tidak ada yang bisa memastikan kebenaran klaimnya soal tulang manusia dibeli secara etis.
Sebagai gambaran, sampai sekarang perdagangan organ tubuh di Amerika Serikat masih jadi perkara yang belum diatur secara resmi dalam hukum negara. Pada 2017, Reuters membuat laporan investigatif soal sisi gelap perdagangan organ. Salah satu jurnalisnya menyamar dan membeli organ dalam manusia via internet. Dalam peliputan tersebut, jurnalis Reuters didampingi Angela McArthur, penanggung jawab direktur bidang donasi organ University of Minnesota Medical School.
Ternyata proses pembelian berlangsung dengan mudah dan cepat. Sang jurnalis menghubungi salah satu broker penjualan organ dan segera mendapat respons hanya dalam kurun waktu satu jam. Saat itu bagian tubuh yang dibeli adalah tulang leher seharga $300--itu adalah harga pasaran untuk bagian tulang belakang di AS.
Ketika transaksi terjadi, si penjual sama sekali tidak menanyakan latar belakang sang pembeli. Hal yang ditanyakan hanyalah dari mana ia tahu kontak si penjual dan apakah tulang akan digunakan untuk penelitian atau pendidikan medis.
Penjual kemudian mengirim hasil rontgen dan menyatakan bahwa tulang tersebut adalah milik seorang laki-laki berusia 24 tahun. Tiga hari kemudian, paket tulang tersebut sudah diantar oleh petugas ekspedisi dalam sebuah kardus yang tidak dilengkapi peringatan sama sekali.
Menurut McArthur, kejanggalan berikutnya adalah dokumen yang ada juga tidak menerangkan keterangan medis lengkap dari manusia pemilik tulang. Penjual juga tidak mencantumkan nomor telepon perusahaan yang bisa dihubungi.
“Nomor spesimen yang dikirim juga tidak sinkron. Demikian pula kode yang tertera pada surat dan plastik pembungkus tulang,” katanya. Hal-hal seperti itu, ironisnya, cukup lumrah terjadi dalam ranah perdagangan bagian tubuh manusia di AS.
Perusahaan tempat broker itu bekerja memiliki pendapatan tahunan sekitar $1.1 juta pada 2016. Menurut laporan yang sama, jumlah tersebut selalu meningkat setiap tahun. Kliennya adalah institusi kesehatan atau perusahaan yang menjual organ.
Adapun para donor biasanya berasal dari keluarga kurang mampu yang tidak memiliki asuransi kesehatan dan tidak bisa membiayai proses pemakaman. Para broker biasanya mendekati keluarga pasien di ruang duka lalu mempersuasi mereka agar rela mendonorkan organ tubuh kerabatnya. Alasan yang digunakan: kremasi terlalu mahal, jadi mengapa tidak menjadikan tubuhnya untuk sesuatu yang lebih berguna?
Kesepakatan hitam di atas putih pun tidak ditulis dengan jelas dan biasanya membingungkan pihak keluarga pendonor maupun penerima bagian tubuh. Dalam setahun, para broker perdagangan tubuh manusia ini bisa mendapat keuntungan sekitar $13 juta.
Namun begitu, McArthur menyatakan semua prosedur pembelian yang dilakukan Reuters itu legal belaka karena memang tidak ada larangan terkait bisnis ini.
Infografik fesyen kulit dan tulang manusia. tirto.id/Quita Terjadi Juga pada Hewan
Jika organ tubuh manusia dianggap kelewat ekstrem untuk dijadikan sebagai material fesyen, tidak demikian dengan pemanfaatan fauna. Kulit reptil, misalnya, sering dimanfaatkan para pebisnis retail besar seperti Hermes, Louis Vuitton, dan Prada. Sudah menjadi standar umum dalam ranah fesyen jika kulit reptil dianggap mencerminkan eksklusivitas dan memiliki harga jual tinggi.
Penggunaan kulit reptil ini juga jadi masalah karena belum ada hukum resmi yang mengatur material tersebut sebagai komoditas. Protes akibat itu sesungguhnya sudah sering dilakukan oleh organisasi nir-laba yang fokus pada perlindungan hewan seperti PETA.
Pada 2014, PETA sempat melakukan kunjungan ke penangkaran buaya di Vietnam. Menurut hasil pantauan mereka, buaya-buaya di sana diperlakukan dengan tidak baik. Louis Vuitton menjadi salah satu pelanggan setia kulit buaya dari penangkaran tersebut.
Laporan PETA tersebut segera dibantah oleh pihak Louis Vuitton. Mereka menyatakan laporan itu tidak benar dan Louis Vuitton tidak pernah membeli kulit dari lembaga yang praktiknya tidak etis karena tidak sesuai dengan nilai-nilai perusahaan LVMH. Tak lama setelah itu, PETA membeli sebagian saham LV ntuk memastikan perusahaan tersebut tidak melanggar etika dalam memasok material kulit.
Kejadian serupa sempat dialami pihak Hermes. Rumah mode asal Paris ini terkenal dengan aksesori tas Birkin yang dibuat dari material kulit buaya dan dijual seharga ratusan juta. Tahun lalu, tas Birkin bermaterial kulit buaya bahkan dilelang dengan harga $185.000. Dan kini di masa usainya karantina di Tiongkok, tas Birkin adalah barang dagangan yang paling dicari pembeli.
Pada 2015, PETA juga menerbitkan informasi bahwa penangkaran buaya di Texas dan Zimbabwe, yang memasok kulit untuk Hermes, melakukan praktik tidak etis. Quartzmelaporkan, Hermes sempat beberapa kali berdiskusi dengan PETA terkait hal ini, namun menolak memberi keterangan kepada media. Buntut dari situasi ini PETA membeli sebagian saham Hermes dan mendesak mereka untuk berhenti memproduksi tas berbahan dasar kulit buaya.
Sampai saat ini belum ada hukum yang mengatur soal perdagangan komoditas kulit binatang. Itulah sebabnya mengapa organisasi pemerhati fauna dan lingkungan hidup seperti PETA bergerak secara independen. Sambil menunggu kepastian hukum, PETA terus mendesak para pelaku retail untuk memperlakukan hewan dengan baik, termasuk dalam hal eksekusi bila memang dilegalkan.
Setahun belakangan, rumah mode besar di Paris seperti Chanel, Burberry, Versace, dan lini fesyen independen Victoria Beckham memutuskan untuk berhenti menggunakan material kulit hewan eksotis seperti reptil. Mereka sepakat mendukung pendapat PETA dan merasa bahwa kesadaran menjaga ekosistem hewan langka penting untuk dilakukan.
Arnold Putra mungkin tidak paham soal ini. Atau memang tidak peduli?
Editor: Eddward S Kennedy