tirto.id - Sebelum Corona menjadi wabah penyakit di Cina, nasib Riccardo Tisci sedang di atas angin. Tahun lalu direktur kreatif lini busana premium ikonik asal Inggris Burberry ini membuat gebrakan dengan melansir logo baru. Tadinya, logo lini busana yang berdiri pada 1856 ini bergambar prajurit perang menunggang kuda dan membawa senjata. Tisci mengubah logo jadi huruf “B” yang terinspirasi dari inisial nama pendiri lini busana yaitu Thomas Burberry.
Respons publik terhadap perubahan logo ini bisa dikatakan cukup baik. Terlebih lagi respons konsumen di Cina—yang cenderung menyukai produk fesyen yang memamerkan logo brand dengan jelas pada produk. Pada Juli 2019, South China Morning Post melaporkan peningkatan penjualan Burberry di Cina ada di angka dua digit pada kuarter pertama 2019.
Para milenial kelas menengah ke atas jadi konsumen mayoritas yang membeli barang lewat media sosial. Setiap tanggal 17, Burberry melansir koleksi baru di Instagram dan WeChat. Menurut tim Burberry, penjualan di platform tersebut menghasilkan engagement konsumen yang signifikan.
Hal lain yang mendongkrak penjualan Burberry adalah potongan pajak impor yang diterapkan pemerintah Cina. Kebijakan diterapkan agar para konsumen Cina tidak lagi membeli barang di luar negeri.
Sebetulnya bila tidak ada halangan berarti, Burberry dijadwalkan membuka satu toko baru di Cina. Jing Daily melaporkan proyek cabang baru tersebut bekerjasama dengan Tencent—perusahaan teknologi asal Cina yang salah satu produknya adalah aplikasi pesan singkat We Chat—dan akan jadi toko yang dikhususkan agar konsumen bisa mengeksplorasi berbagai aplikasi fesyen digital yang dibuat oleh Tencent dan Burberry.
Alih-alih meresmikan bisnis, Burberry malah mesti menutup 24 toko dari 64 toko yang ada di Cina untuk mencegah penyebaran Corona. Sampai sekarang pihak Burberry belum mempublikasikan jumlah kerugian akibat virus Corona. Yang jelas penurunan penjualan barang fesyen mewah di Cina itu benar terjadi dan bukan hanya dialami Burberry.
Kegoncangan pun dialami lini produk pakaian dan aksesori olahraga, Nike yang juga terpaksa menutup sejumlah gerainya di Cina. Padahal menurut laporan Financial Times pada Desember lalu, CEO Nike Mark Parker menyatakan di hadapan media-media internasional bahwa ia, “tidak pernah merasa seoptimis ini dalam menghadapi hari depan”.
Perkataan itu muncul setelah ia melihat data penjualan di Cina—dari produk sepatu, baju, dan aksesori lain—yang terus meningkat. Persentase peningkatan per Desember lalu mencapai 20% sehingga total pendapatan Nike saat itu adalah $1,12 miliar.
Sebelum corona mewabah, penjualan Nike di Cina tak tergoyahkan meski ada cerita-cerita miring seperti skandal penyalahgunaan doping yang dilakukan brand ambassador atau situasi seperti perang dagang antara Cina dan AS.
Pada Maret 2018, Trump menetapkan kebijakan menaikkan tarif impor untuk berbagai barang dari Cina seperti daging, alat musik, dan sejumlah produk tekstil agar warga AS memilih membeli produk lokal ketimbang barang impor. Hal ini pada kenyataannya tidak terlalu mengganggu penjualan Nike.
Tapi kini, media seperti Market Watch melaporkan penurunan penjualan lini produk tersebut.
Selain Nike dan Burberry lini busana lain yang sedang laris-larisnya di Cina, Levis, Kate Spade, Coach, Stuart Weitzman, Michael Kors, Versace, H&M, dan Uniqlo pun tutup toko.
Tidak semua brand terbuka dengan jumlah prediksi penurunan akibat penutupan toko. Quartz berupaya merangkum informasi dari beberapa perusahaan yang sudah mempublikasikan jumlah kerugian. Perusahaan retail Tapestry yang menaungi lini Kate Spade, Coach, dan Stuart Weitzman dikabarkan akan merugi sebesar $250 juta dalam beberapa bulan terakhir.
Di samping itu, Business of Fashion mencatat bahwa nilai saham perusahaan retail besar seperti Louis Vuitton Moet Hennessy dan Kering Group—di antaranya menaungi label Gucci, Saint Laurent, Alexander McQueen—masing-masing menurun 1,9% dan 3%.
Meski mengalami kerugian di awal tahun, beberapa petinggi perusahaan retail besar tidak terlalu khawatir terhadap goncangan ini. Vogue Business memuat pandangan Chief Financial Officer Louis Vuitton, Jean Jacques Giony myang menyebut bahwa corona tidak akan mempengaruhi pendapatan secara signifikan bila wabah bisa ditanggulangi pada akhir Maret. Dampak baru akan terasa bila wabah terus terjadi sampai dua atau tiga tahun ke mdepan.
Manajer investasi Sweta Ramachandran juga mengatakan kepada Vogue Business bahwa perusahaan retail besar biasanya sudah mempersiapkan diri dalam menghadapi goncangan singkat jangka pendek seperti yang tengah terjadi saat ini sehingga bisnisnya tidak hancur begitu saja.
Ada apa di Cina?
Ramainya pemberitaan soal tutupnya toko retail premium di Cina disebabkan oleh kedudukan negeri Tirai Bambu itu sebagai konsumen sekaligus produsen fesyen yang paling signifikan di dunia.
Sampai saat ini memang belum ada publikasi resmi soal detail dan besaran produksi dari industri manufaktur tekstil di Cina per tahun. Tapi, dampak dari produksi benda fesyen dan aksesori di negara tersebut bisa dilihat dari beberapa kasus misalnya kasus perang dagang antara Cina dan AS.
Beberapa lini fesyen / aksesori di AS masih menggantungkan produksi di Cina. Pada Mei 2019 lalu, South China Morning Post melaporkan bahwa salah satu penyebab ketergantungan produksi di Cina karena belum ada negara yang mampu menyaingi kemampuan produksi barang di negara tersebut baik dari sisi kualitas maupun kuantitas. Salah satu penyebabnya, negara-negara tersebut belum memiliki alat produksi secanggih Cina.
Cina jadi suplier busana terbesar untuk AS sejak awal 2016. Barang-barang yang dibuat di Cina biasanya adalah berbagai jenis atasan dan bawahan, juga pakaian dalam--sebanyak 80% produksi dilakukan di Shenzen. Sampai sekarang pun mereka masih jadi pemasok terbesar meski jumlah barang yang dibuat untuk pasar AS sudah menurun.
Selain itu, dari sisi konsumsi, konsumen Cina adalah pembeli paling potensial. Tahun lalu, lembaga riset Fung Business Intelligence melansir laporan China Apparel Market Update (PDF). Hasil studi menunjukkan tahun 2019 adalah titik puncak peningkatan penjualan busana sejak 2014. Peningkatan daya beli disebabkan oleh kestabilan kondisi perekonomian konsumen. Sebagian dari mereka mengalami peningkatan penghasilan dan ingin meningkatkan standar hidup.
Golongan terbesar konsumen di Cina adalah para perempuan dan jenis barang yang paling banyak dibeli adalah pakaian olahraga (sportswear). Beberapa hal yang melatari larisnya penjualan sportswear adalah rencana pemerintah yang ingin memajukan tingkat kesehatan dan industri olahraga di Cina. Pemerintah Cina bahkan membuat beberapa panduan seperti “2016-2020 National Fitness Plan”, “13 Five Year Plan for the Development of Sports Industry,”, “Guiding Opinions of the State Council on Speeding up the Development of the Competitive Sports Industry”.
Tak heran, lini busana seperti Adidas dan Nike makin melejit di Cina.
Penelitian dari lembaga riset seperti McKinsey juga menunjukkan betapa potensialnya konsumen Cina. Laporan bertajuk China Luxury Report 2019 (PDF) mencatat 35% konsumen barang premium seperti busana dan aksesori berasal dari Cina. Pada 2025, jumlah tersebut akan meningkat jadi 40%.
Para pembeli tertarik membeli barang-barang dari lini busana besar seperti Louis Vuitton, Chanel, dan Burberry.
“Mereka masih menyukai brand premium karena barang tersebut bisa membuat pemakainya dipandang sebagai orang yang berselera tinggi.”
Konsumen Cina adalah orang-orang yang ingin tampil beda dan dianggap memiliki selera tinggi. Oleh karena itu mereka tak segan mengeluarkan banyak uang untuk barang-barang prestisius.
Kini rutinitas untuk belanja barang mewah mesti tertunda akibat corona.
Satu-satunya barang yang paling laris di Cina saat ini adalah masker.
Editor: Windu Jusuf