Menuju konten utama

Jeda dalam Relasi? Sangat Penting!

Memutuskan untuk berjarak sejenak dengan pasangan dan mengevaluasi diri bisa jadi opsi menyehatkan bagi relasi.

Jeda dalam Relasi? Sangat Penting!
Header diajeng Ambil Jeda Relasi. tirto.id/Quita

tirto.id - Sudah empat tahun Alice menjalin hubungan dengan Josh. Sebagian besar waktunya dihabiskan bersama sampai ia merasa nyaris tak punya waktu untuk diri sendiri atau melakukan hal-hal yang diidamkan dari dulu.

Suatu siang, ia meminta untuk rehat sejenak dari relasi mereka, yang ditepis oleh Josh.

“Ini bukan putus. Kita cuma ambil waktu sejenak untuk berpisah. Hanya sementara, seperti istirahat,” ujar Alice.

“Tapi kita bahagia, Alice.”

“Oh, ya? Bukannya kita lagi sama-sama bosan?”

Seiring Josh mengemukakan pandangan dan perasaan yang berbeda, Alice memberondongnya dengan keluhan dan semakin mantap mengambil jeda pacaran.

“Kalau kita ingin hubungan ini berjalan dalam jangka panjang, aku butuh mengenal diriku. Sendirian. Aku tak mau menghabiskan waktu hidupku dengan bertanya-tanya, ‘bagaimana seandainya’,”

Pembicaraan ini dipetik dari film How to be Single (2016) yang dibintangi Dakota Johnson. Bagi Josh dan sebagian orang lain, opsi yang diambil Alice terdengar tak masuk akal—terutama jika salah satu pihak merasa hubungan mereka tak ada masalah.

Kendati demikian, Alice, dan mungkin sebagian dari kamu, merasionalisasi pilihan “istirahat” dengan alasan butuh waktu untuk mengenali diri sendiri.

Header diajeng Ambil Jeda Relasi

Header diajeng Ambil Jeda Relasi. (FOTO/iStockphoto)

Tak jarang, setelah begitu lama menjalin hubungan dengan pasangan, dirimu mungkin mengalami berbagai perubahan dan semakin jauh dari hal-hal yang mulanya disenangi atau didambakan.

Terlebih jika pasanganmu terlalu jauh menarikmu ke dunianya atau mendorongmu agar berfokus pada percintaan kalian saja. Maka ambil waktu sejenak dari berelasi pun bisa jadi hal yang menyehatkan—untuk relasi romantis itu sendiri maupun untuk perkembangan psikis setiap individu.

“Jeda memberikan ruang bagimu untuk introspeksi dan berfokus pada perasaanmu dalam berelasi. Hal ini kadang diperlukan untuk memikirkan apakah orang-orang yang berelasi merasa lebih bahagia, lebih produktif, dan lebih baik ketika bersama orang lain,” ungkap Steve Ward, pakar relasi dan CEO Master Matchmakers dalam Psychology Today. Ward tekankan pula, jeda memungkinkan terciptanya kepuasan personal, baik bagi diri sendiri maupun pihak lain yang terlibat dalam relasi.

Seperti Alice sampaikan, kejenuhan bisa timbul dalam hubungan yang berlangsung bertahun-tahun. Penyebabnya seperti intensitas pertemuan yang cukup tinggi atau rutinitas yang monoton.

Obrolan yang mulanya terasa fun, perlahan jadi membosankan—dimulai dari hal-hal remeh yang sama sekali tak menarik untuk diungkit. Karena itu, menarik diri sebentar dari relasi bisa jadi strategi untuk memperbaiki kualitas komunikasi pasangan.

Saat kamu mengambil jarak dan waktu dari pasangan, kamu bisa lakukan aktivitas lain yang memungkinkan hadirnya cerita-cerita baru dan lebih menyegarkan untuk dibagikan kelak. Selain itu, ketiadaan pasangan selama beberapa waktu juga akan memicu timbulnya rasa kangen yang bisa menjadi percikan semangat untuk meneruskan hubungan.

Selain ketika merasa jenuh, jeda juga bisa diambil saat terjadi konflik. Dalam keadaan penuh emosi, keputusan-keputusan yang kamu ambil acapkali bersifat prematur sehingga berpotensi mengundang sesal. Keluar dari pusaran konflik bisa jadi langkah untuk meredakan emosi dan mengevaluasi diri sekaligus menemukan solusi bagi semua pihak.

Selama memisahkan diri dari pasangan, kamu bisa menilai apakah segala yang telah kalian lalui bersama cukup untuk dijadikan modal meneruskan hubungan—apakah kamu masih dapat menoleransi perbedaan yang ada, atau kamu bisa tumbuh jadi sosok lebih baik bila terus membersamai kekasihmu yang sekarang.

Memang tak ada jaminan bahwa jeda bisa membuat relasi jadi langgeng selamanya. Selama menjalani masa jeda, bisa saja terjadi hal-hal tak terduga yang bisa menggeser niat awal sehingga relasi lama mustahil dilanjutkan. Kalau kamu betul-betul masih ingin mempertahankan hubungan, ada strategi yang bisa dicoba.

Dilansir dari situs Global News, Laura Billota, dating coach dan matchmaker dari Toronto menyarankan, ketika hendak mengambil keputusan jeda berelasi, kamu mesti bicarakan baik-baik dengan pasangan terlebih dulu. “Nyatakan kenapa kamu membutuhkan jeda dan mengapa hal itu juga berguna bagi pasanganmu,” ungkapnya.

Memilih lari tiba-tiba atau mendiamkan pasangan bukan jalan yang tepat bila ingin memperbaiki situasi relasi. Hal ini bisa dipandang sebagai suatu “hukuman” bagi pasanganmu, yang akhirnya malah hanya akan menambah tekanan dalam hubungan kalian.

Header diajeng Ambil Jeda Relasi

Header diajeng Ambil Jeda Relasi. (FOTO/iStockphoto)

Menurut Billota, selain alasan, jangka waktu jeda yang diambil dan batasan berkomunikasi dengan pasangan seperti apa saja juga perlu dibicarakan. Dengan menentukan hal-hal ini di awal, seseorang akan tetap berada di “koridor” dan tak akan mencederai kepercayaan pasangannya.

Berit Brogaard, direktur the Brogaard Lab for Multisensory Research di University of Miami dan penulis On Romantic Love: Simple Truths about a Complex Emotion (2014) menyampaikan di Psychology Today, selama masih dalam kerangka berpacaran, komitmen kedua belah pihak tetap harus terjaga. Mau bentuknya tetap sama seperti di awal hubungan atau dimodifikasi sesuai kebutuhan masing-masing tentu perlu didiskusikan bersama.

Kalau kamu dan pasanganmu menjalin hubungan monogami atau eksklusif, kalian dapat menentukan sejauh mana boleh berelasi dengan pihak lain, tetap berkomitmen tak berselingkuh atau bertindak tanpa sepengetahuan pasangan yang berpotensi melukai satu pihak di kemudian hari. Sampai jeda ini berakhir dan kalian bertemu lagi untuk diskusi, aturan main itu tetap berlaku.

Pilihan apa pun yang diambil idealnya adalah demi kebaikan semua pihak. Untuk menentukan pilihan terbaik bagi diri sendiri dan pasangan, kamu perlu menciptakan momen reflektif sesaat dalam hidup.

Dari kacamata Kristin Davin, psikolog klinis di New York, pertanyaan reflektif ini dapat berupa, “Apakah aku benar-benar ingin istirahat berelasi, atau sesungguhnya ingin mengakhirinya?”

Dengan menjawab jujur pertanyaan seperti inilah relasi yang lebih memuaskan buat kamu dan pasangan mungkin akan terwujud.

*Artikel ini pernah tayang di tirto.iddan kini telah diubah sesuai dengan kebutuhan redaksional diajeng.

Baca juga artikel terkait CINTA atau tulisan lainnya dari Patresia Kirnandita

tirto.id - Gaya hidup
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti & Sekar Kinasih