Menuju konten utama

Iuran Pariwisata Lebih Berpotensi Bebani Masyarakat & Langgar UU

Menurut ekonom, iuran pariwisata malah berpotensi merugikan dua pihak sekaligus, penumpang dan maskapai.

Iuran Pariwisata Lebih Berpotensi Bebani Masyarakat & Langgar UU
Sejumlah pesawat udara terparkir di Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, Rabu (20/4/2022). ANTARA FOTO/Fauzan/wsj.

tirto.id - Beberapa waktu belakangan, warganet ramai membicarakan cuitan tokoh penerbangan Alvin Lie di akun X-nya (@alvinlie21). Dalam cuitan yang diunggah pada 20 April 2024 tersebut, Alvin menyinggung soal iuran pariwisata yang akan dibebankan melalui tiket penerbangan.

"Ada menteri yang gemar teriak bahwa 'Harga Tiket Pesawat Mahal, Menghambat Pariwisata.' Sekarang pemerintah malah akan bebankan Iuran Pariwisata untuk dititipkan pada harga tiket pesawat. Konsumen taunya harga tiket yang naik, padahal uangnya bukan ke airline. Piye tho iki?" tulis @alvinlie21.

Sehari kemudian, Alvin menulis unggahan lagi dengan turut melampirkan surat undangan berkop Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi (Kemenko Marves). Di situ tertulis, Undangan Rapat Koordinasi Pembahasan Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) Dana Pariwisata Berkelanjutan.

Secara khusus Alvin menggarisbawahi agenda rapat tersebut, yaitu soal pengenaan iuran pariwisata melalui tiket penerbangan.

Harga tiket pesawat yang kian mahal akhir-akhir ini sangat dikeluhkan oleh masyarakat. Karena itulah, kabar terkait wacana iuran pariwisata yang dibagikan Alvin Lie tersebut amat mengusik bagi masyarakat.

Deputi Bidang Pariwisata dan Ekoonomi Kreatif Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi (Kemenko Marves), Odo R.M. Manuhutu, mengakui bahwa pemerintah tengah menyusun rancangan peraturan pemerintah (RPP) tentang dana abadi pariwisata berkualitas. Menurut Odo, penerbitan RPP tersebut merupakan upaya untuk membangun ekosistem pariwisata.

Rancangan ini bertujuan untuk menciptakan ekosistem pariwisata berkualitas berlandaskan pada empat pilar, yaitu daya saing infrastruktur dasar, pengelolaan pariwisata berkelanjutan, keunikan destinasi, dan layanan pariwisata bernilai tinggi," kata Odo dalam keterangan pers yang diterima Tirto, Selasa (23/4/2024).

Dalam soal pariwisata berkualitas, penyesuaian harga tiket pesawat menjadi soal yang krusial. Selain tiket pesawat, aspek-aspek lain yang disasar adalah diskon tarif tol, integrasi paket kunjungan wisata dengan kereta api, dan sistem penyelenggaraan event berbasis online single submission (OSS).

Terkait harga tiket pesawat yang saat ini dikeluhkan terlalu mahal, Odo menjelaskannya dengan merinci komponen-komponen yang memengaruhi harga tersebut. Odo menuturkan bahwa 72 persen dari harga tiket pesawat diperoleh dari beberapa komponen, yaitu avtur (35 persen), overhaul dan pemeliharaan pesawat—termasuk impor suku cadang (16 persen), sewa pesawat (14 persen) dan premi pesawat (7 persen).

Selain itu, harga tiket pesawat di Indonesia juga dipengaruhi oleh penurunan jumlah pesawat yang beroperasi saat ini. Pada masa sebelum pandemi, jumlah pesawat yang beroperasi mencapai lebih dari 750 pesawat. Kini, jumlahnya menurun menjadi kisaran 400 pesawat.

Penurunan itu menciptakan ketidakseimbangan antara permintaan dan penawaran. Hal lain yang mempengaruhi adalah kondisi geopolitik di berbagai wilayah dunia yang berdampak pada peningkatan harga avtur,” ungkap Odo.

Pemerintah mencoba mengatasi mahalnya harga tiket pesawat dengan mengatur ulang salah satu komponennya, yakni impor suku cadang. Pengaturan ulang tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 3 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor.

Melalui peraturan baru tersebut, pemerintah merelaksasi kebijakan larangan terbatas impor suku cadang industri bengkel pesawat atau MRO untuk operator penerbangan.

Berpotensi Melanggar UU dan Bebani Penumpang

Wacana pengenaan iuran pariwisata melalui tiket pesawat tersebut mendapat penolakan dari anggota DPR RI. Anggota Komisi V DPR RI, Sigit Sosiantomo, menilai bahwa pengenaan iuran pariwisata tersebut melanggar aturan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.

Saya menolak rencana pemerintah menarik iuran pariwisata kepada penumpang pesawat. Selain membebani penumpang karena otomatis akan membuat tarif makin melambung, juga berpotensi melanggar UU," kata Sigit dalam keterangan tertulisnya, Selasa (23/4/2024).

Menurut politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu, Pasal 126 UU Penerbangan telah mengatur bahwa penetapan tarif penumpang pelayanan kelas ekonomi dihitung berdasar komponen tarif jarak, pajak, iuran wajib asuransi, dan biaya tuslah/tambahan (surcharge).

Sebagai catatan, biaya tuslah dalam UU Penerbangan didefinisikan sebagai biaya yang dikenakan akibat adanya biaya-biaya tambahan yang dikeluarkan perusahaan angkutan udara di luar tarif jarak.

Menurut Sigit, iuran pariwisata yang tengah diwacanakan saat ini tidak jelas termasuk dalam komponen yang mana.

"Perlu diingat, iuran pariwisata yang akan diterapkan pemerintah itu jelas tidak termasuk pajak yang bisa dibebankan kepada penumpang dalam tarif tiketnya. Pajak dan iuran itu maknanya sudah berbeda jauh. Di dalam UU Penerbangan sendiri tidak ada terminologi iuran pariwisata. Pemerintah jangan konyol karena ini jelas berpotensi melanggar UU,” ucap Sigit.

Selain itu, menurut Sigit, penetapan tarif tiket pesawat semestinya memperhatikan kondisi daya beli masyarakat sesuai UU Penerbangan. Dia mengingatkan bahwa setiap pesawat juga sudah dikenakan biaya servis penumpang atau passenger service charge.

Jika ditambah lagi dengan iuran pariwisata, penumpang sama saja dikenakan biaya ganda. Padahal, tidak semua penumpang pesawat pergi untuk keperluan pariwisata.

Oleh karena itu, Sigit mengatakan penarikan iuran pariwisata itu tidak layak untuk diterapkan. Dia juga meminta pemerintah membatalkan rencana tersebut.

Dengan Tarif pesawat yang sekarang saja rakyat sudah banyak yang mengeluh, apalagi nanti kalau ditambah komponen iuran pariwisata. Jadi, sekali lagi saya tegaskan menolak rencana ini. Stop membebani masyarakat,” tutup Sigit.

Sementara itu, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno, menilai bahwa iuran pariwisata yang dibebankan lewat harga tiket pesawat tidak akan membebani rakyat. Dia menjamin tiket tidak akan lebih mahal.

"Per hari ini jangan khawatir, tidak akan membebani masyarakat dengan harga tiket yang lebih mahal lagi," kata Sandiaga dalam konferensi pers bertajuk The Weekly Brief with Sandi Uno, dikutip Selasa (23/4/2024).

Sandi menjelaskan bahwa wacana iuran pariwisata tersebut masih dalam proses kajian. Pihaknya juga masih mempertimbangkan masukan dari masyarakat jika nantinya akan memengaruhi harga.

Sandi menjamin bahwa kajian tersebut dilakukan dengan melibatkan lintas kementerian atau lembaga. Sejumlah opsi pengumpulan dana pariwisata berkelanjutan juga masih diperhitungkan.

Sandi juga berjanji bahwa pemerintah akan bersikap transparan. Publik akan diberi tahu jika kebijakan tersebut resmi diberlakukan.

"Tentunya harus sangat transparan karena sekarang era yang penuh dengan keharusan untuk transparansi serta full disclosure," ujar Sandi.

Sulit Transparan

Ekonom Senior Indef, Tauhid Ahmad, menilai rencana pemerintah memungut iuran pariwisata sebagai tidak tepat. Dia mengingatkan tiket pesawat saat ini sudah mahal dan memicu inflasi tahunan.

"Yang kedua adalah jika kita ingin bersaing dengan negara-negara lain dalam pariwisata, struktur cost-nya harus bersaing. Salah satunya lewat tiket pesawat," kata Tauhid, Selasa.

Tauhid mengatakan bahwa tiket penerbangan domestik saat ini sudah tergolong mahal. Harga tiket rute Surabaya-Jakarta, misalnya, sudah setara dengan tiket rute Jakarta-Singapura atau Jakarta-Malaysia.

Karenanya, pembebanan biaya tambahan dengan alasan pariwisata jelas tidak tepat. Terlebih, tidak semua orang menggunakan pesawat untuk kepentingan pariwisata.

"Kalau [dibebankan ke penumpang] pesawat semua, enggak bisa. Meskipun mengatakan pasarnya menengah ke atas, tetap enggak tepat karena akan banyak misleading-nya," kata Tauhid.

Tauhid juga menilai bahwa penambahan komponen harga tiket pesawat justru akan merugikan masyarakat. Meski beban tersebut tidak serta-merta akan membuat masyarakat meninggalkan penggunaan pesawat, pemerintah seharusnya juga dipertimbangkan beban ikutan yang ditimbulkannya. Salah satunya adalah inflasi.

Ketergantungan pariwisata pada APBN memang bisa turun dengan kebijakan iuran pariwisata. Namun, kebijakan yang dipaksakan akan membawa hasil yang kontraproduktif. Terlebih, kondisi pariwisata Indonesia masih belum sepenuhnya pulih seperti saat sebelum Pandemi COVID-19.

Selain itu, Tauhid menilai langkah pemerintah terkesan melawan arus saat banyak negara justru berupaya mengurangi harga tiket pesawat. Menurutnya, pemerintah negara lain ada yang menggunakan opsi penurunan harga tiket pesawat dan hotel, tapi menaikkan harga pariwisatanya.

"Negara-negara dengan tingkat tourism tinggi itu berupaya gimana caranya agar tiket murah. Mereka bersaing di harga tiket, di harga hotel. Tapi, nanti atraksi wisatanya harus memilih. Kalau dia [turis] mau membayar mahal, dia mendapat service yang jauh lebih baik," kata Tauhid.

Oleh karena itu, Tauhid menyarankan dua hal. Pertama, pemerintah perlu menggunakan APBN untuk investasi pembangunan basic infrastructure untuk turisme. Untuk hal ini, pemerintah tidak boleh membebankan kepada wisatawan.

Kedua, pemerintah perlu mendorong perbaikan layanan wisata, mulai dari bahasa, produk yang inovatif, hingga perbaikan perusahaan travel.

"Termasuk, misalnya, pengembangan destinasi wisata non-Bali. Kita hanya mengandalkan bali untuk mancanegara, di luar itu sedikit. Kita jauh [punya lebih banyak destinasi] dibanding Thailand atau Singapura, tapi kita kalah dari mereka," kata Tauhid.

Setali tiga uang dengan Tauhid Ahmad, Ekonom Celios, Nailul Huda juga berpendapat bahwa pemaksaan iuran pariwisata justru membawa banyak kerugian. Nailul menilai bentuk iuran seharusnya khusus dikenakan pada masyarakat yang menikmati pariwisata. Sebagai contoh, iuran keamanan dikenakan terhadap orang yang menggunakan jasa keamanan.

Nailul khawatir kebijakan iuran pariwisata justru akan merugikan dua pihak, yakni penumpang dan maskapai.

"Yang terjadi malah harga tiket pesawat naik, permintaan bisa turun. Kerugian bisa double," kata Nailul, Selasa.

Menurut Nailul, penerapan iuran pariwisata juga berpotensi menurunkan minat masyarakat untuk berwisata di dalam negeri menggunakan pesawat. Mereka bisa saja beralih ke kendaraan pribadi yang malah tidak berkelanjutan.

Masalah lain yang juga bisa timbul adalah ketidaktransparanan pengelolaan dan peruntukan iuran pariwisata.

“Saya kira akan sulit transparan. Apakah bisa digunakan untuk pariwisata secara langsung? Bagaimana mekanismenya? Apakah dikelola pemerintah desa? Atau dikelola swasta karena sebagian objek wisata dikelola oleh swasta?" kata Nailul.

Oleh karena itu, Nailul lebih mendorong pemerintah membuat dana abadi pariwisata ketimbang iuran pariwisata.

"Iuran pariwisata harusnya didapatkan dari dana abadi pariwisata oleh pemerintah. Sama seperti dana abadi pendidikan yang dana bunganya digunakan untuk pengembangan pendidikan. Pariwisata juga seharusnya sama," kata Nailul Huda.

Baca juga artikel terkait PARIWISATA atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Fadrik Aziz Firdausi