tirto.id - Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral Jakarta sudah bertetangga selama lebih dari 40 tahun. Selama ini, dua rumah ibadah di pusat Kota Jakarta tersebut dikenal sebagai simbol kerukunan antar umat beragama. Bahkan belakangan Presiden Joko Widodo mengatakan bakal ada terowongan silaturahmi yang menghubungkan kedua tempat ibadah agar makna toleransi itu semakin tegas.
“Ini menjadi sebuah terowongan silaturahmi. Jadi tidak kelihatan berseberangan, tapi silaturahmi,” katanya saat meninjau renovasi Masjid Istiqlal, Jumat (7/2/2020).
Usulan yang timbul di tengah usaha renovasi Masjid Istiqlal itu menarik beragam reaksi. Baik Kepala Bagian Humas dan Protokol Masjid Istiqlal, Abu Hurairah, maupun Humas Gereja Katedral Jakarta, Susyana Suwadie, mengaku menerima baik usulan pembangunan terowongan. Di lain pihak, masih banyak kalangan yang mengkritisi hal itu sebagai tindakan yang tidak memiliki tujuan jelas.
Di luar kapasitasnya sebagai simbol toleransi agama, Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral setidaknya benar-benar punya satu kesamaan. Keduanya dibangun di tengah kondisi sulit yang mengakibatkan proses pembanguan menjadi terseok-seok. Istiqlal kira-kira membutuhkan waktu 17 tahun untuk rampung, sedangkan Katedral sempat dipugar beberapa kali dalam kurun waktu hampir 100 tahun.
Masjid Istiqlal dibangun jelang suhu politik dalam negeri yang kian memanas pada tahun 1960-an dan baru rampung pada 1978. Sementara itu, Gereja Katedral yang berusia jauh lebih tua dibangun ketika pemerintah kolonial terlalu sibuk memikirkan urusan keamanan sehingga tidak peduli dengan urusan agama.
Katedral dan Sekulerisme Hindia Belanda
Raja Louis dari Belanda (1806-1810) adalah adik dari Napoleon Bonaparte sekaligus penganut Katolik yang taat. Saat mengutus Herman Willem Daendels untuk memimpin Hindia Belanda, Louise berpesan kepadanya agar membantu para misionaris membangun tempat ibadah yang layak bagi umat Katolik.
Pada 1808, dua orang utusan resmi didatangkan ke Batavia menyambung pembentukan Prefektur Apostolik Hindia Belanda, mereka adalah Jacobus Nelissen dan Lambertus Prinsen. Teringat akan pesan junjungannya, Daendels menghibahkan sebuah gereja sederhana dekat Istana Gubernur Jenderal di Weltevreden (sekarang sekitar Monas) untuk digunakan sebagai pusat keuskupan Hindia Belanda.
Dalam Sejarah Seputar Katedral Jakarta (2001: hlm. 20), Pastor Rudolphus Kurris, pendiri Museum Katedral Jakarta, menuliskan bahwa gereja yang diserahkan kepada Nelissen sebenarnya merupakan bangunan tua yang sudah berusia 40 tahun. Bangunan tersebut dibangun oleh Gubernur Jenderal Petrus van der Parra (1761-1775) sebagai tempat ibadah jemaat Protestan ketika terjadi perpindahan kediaman Gubernur Jenderal dari Kota Tua ke Lapangan Banteng.
Daendels ternyata sengaja memberi kesan bahwa ia sudah melakukan perlindungan kepada semua aliran tanpa membuat diskriminasi. Sepanjang abad 19, pemerintah kolonial sebisa mungkin menunjukan sikap netral terhadap agama. Seperti yang ditulis oleh Aqib Suminto dalam Politik Islam Hindia Belanda (1985: hlm. 28) kebijakan ini diperkuat melalui Undang-Undang tahun 1855.
Kendati mengaku netral, lanjut Suminto, pemerintah kolonial sebenarnya sangat memikirkan masalah ketertiban keamanan yang sering kali bertautan dengan agama. Pada periode ini, Islam dianggap sebagai agama yang paling rawan memicu pemberontakan. Oleh karena itu, pemerintah merasa perlu memberikan perhatian khusus dengan mencampuri urusan orang-orang Islam, mulai dari pendidikan hingga pembangunan rumah ibadah.
Suminto mencatat sejak 1868, pemerintah kolonial menggelontorkan 4.500 gulden setiap tahun untuk mendirikan ataupun memberbaiki masjid. Sepuluh tahun kemudian, masjid lama di Banda Aceh dibongkar oleh tentara Belanda, kemudian pemerintah kolonial membangun masjid baru dengan biaya 213.000 gulden.
Jumlah tersebut memang tidak sebanding dengan subsidi yang diberikan kepada kelompok-kelompok zending di pelosok, tetapi cukup untuk membuat orang-orang Islam lebih patuh. Di lain pihak, umat Katolik sering kali tidak dihiraukan oleh pemerintah karena usaha misi kala itu lebih banyak dilakukan oleh pihak swasta.
Pada 1877, usulan untuk membangun bangunan gereja Katedral yang baru di Batavia sempat dilontarkan oleh para imam. Mereka datang ke hadapan Gubernemen sambil membawa proposal subsidi pembangunan gereja baru, tetapi permohonan itu ditolak. Padahal gereja Katedral yang dihibahkan oleh Danedels kondisinya sudah sangat memprihatinkan.
Selama lebih dari 60 tahun bangunan yang sama sempat mengalami perbaikan yang kurang bermanfaat. Pada 1826, gereja tersebut malah sempat dilahap api. Puncaknya pada 9 April 1890, keadaan pilar gereja yang mulai rapuh tidak mampu menopang berat bangunan. Gereja Katedral Batavia pun roboh, atapnya menganga.
Atas inisiatif Pastor Antonius Dijkmans, Gereja Katedral dibangun kembali di atas sisa puing-puing dengan bantuan tenaga kuli pribumi dan Tionghoa. Peletakan batu pertama dimulai pada pertengahan 1891. Sayangnya, rencana membangun kembali Gereja Katedral dalam waktu tiga tahun ternyata meleset karena para pengurus gereja kehabisan uang.
Pada 1898, Edmundus Luypen yang baru diangkat menjadi Vikaris Apostolik Batavia. datang ke hadapan Gubernur Jenderal van der Wijck (1893–1899) di Istana Bogor untuk membahas kondisi sulit Katedral. Namun, van der Wijck--seperti halnya Gubernur Jenderal lainnya--tetap tidak mau memberikan bantuan keuangan. Kebetulan pada periode yang sama pemerintah sedang banyak pengeluaran akibat Perang Aceh.
Luypen lantas mencari bantuan finansial sampai ke negeri Belanda. Untuk menutup subsidi pemerintah kolonial yang terus ditolak ia mengumpulkan sumbangan dari kalangan umat Katolik. Luypen juga mengestafetkan proyek renovasi gereja dari Dijkmans kepada insinyur dari Surabaya yang bernama M.J. Hulswit, demikian dicatat dalam kronik resmi Paroki Katedral Jakarta.
Pada bulan November 1899, balok-balok atap bercorak gotik mulai dipasang. Tidak sampai dua tahun, gereja pun rampung dibangun. Ucapara peresmiannya dilakukan pada 21 April 1901 dengan mengundang Gubernur Jenderal Rooseboom (1899-1904) dan pejabat kolonial lainnya.
“Memang, biar gereja kita tidak bisa diperbandingkan dengan Katedral-Katedral di Eropa, namun suasana di dalamnya kurang lebih sesuai dengan keagungan kediaman uskup serta ibu kota Hindia Belanda,” kata Luypen seperti dikutip Romo Kurris dalam bukunya.
Istiqlal Hasil Kemerdekaan
Seperti halnya Katedral, rencana pembangunan Masjid Istiqlal juga datang dari keinginan para pemuka agama agar umat Islam memiliki pusat tempat ibadah di ibu kota. Sekitar tahun 1944, beberapa ulama dan tokoh-tokoh Islam berkumpul di kediaman Sukarno di Pegangsaan Timur 56 (sekarang Jl. Proklamasi) untuk meminta izin mendirikan Masjid Agung di Jakarta. Usulan itu disambut baik oleh Sukarno tapi masih sangat sulit dilaksanakan mengingat Jepang masih berkuasa di Indonesia.
Pada awal 1950-an, keinginan itu timbul kembali. Atas prakarsa Menteri Agama Wahid Hasyim dan Anwar Tjokroaminoto dari Sarekat Islam, lebih dari 200 orang tokoh-tokoh Islam berkumpul di Gedung Pertemuan Umum Deca Park, Medan Merdeka Utara. Pada 1954, mereka berhasil membentuk suatu susunan pengurus Yayasan Masjid Istiqlal dengan Anwar Tjokroaminoto sebagai ketua pertama.
Dikisahkan Solichin Salam dalam Masjid Istiqlal: Sebuah Monumen Kemerdekaan (1990: hlm. 12), Presiden Sukarno menyambut gembira langkah pertama itu. Ia bahkan mengusulkan agar diadakan sayembara Rencana Gambar Masjid Istiqlal yang dimenangkan arsitek Friedrich Silaban.
Pembangunan Masjid Istiqlal pada dasarnya adalah proyek nasional, demikian jelas Solichin Salam. Seluruh tenaga ahli yang terlibat di dalamnya adalah pilihan Presiden. Tidak terkecuali penentuan lokasi masjid yang juga ditetapkan langsung oleh Sukarno dengan menimbang alasan yang cukup politis.
Menurut Sukarno, Istiqlal harus dibangun di atas bekas benteng kolonial Citadel yang terletak di Wilhelmina Park (sekarang Jl. Taman Wijaya Kusuma) dan berseberangan dengan Gereja Katedral. Sukarno sempat berselisih pendapat dengan Mohammad Hatta yang menyarankan agar Istiqlal dibangun di atas lahan kosong yang kini menjadi Hotel Indonesia di Jalan Thamrin. Sukarno menampik usulan Hatta.
“Benteng yang merupakan lambang penjajahan beradab-abad di Indonesia ini harus dibongkar betapapun jua sulit serta besar biayanya. Dan di atas bekas benteng penjajahan inilah kita bangun Masjid Istiqlal yang berarti merdeka atau kemerdekaan,” terang Sukarno.
Perbedaan lokasi masjid hanya satu dari serangkaian perbedaan yang ditunjukan dwitunggal Sukarno-Hatta kala itu. Perbedaan prinsipil di antara keduanya semakin menghangat dan mencapai puncak pada akhir tahun 1956. Hatta menganggap Sukarno mulai menunjukkan benih-benih kediktatoran yang tidak akan bertahan lama.
Ucapan Hatta benar adanya. Lima tahun setelah pemancangan tiang pertama pada 24 Agustus 1961, pembangunan Masjid Istiqlal mangkrak di tengah jalan. Periode ini bertepatan dengan kondisi politik Indonesia yang kian tidak menentu usai peristiwa 30 September 1965. Orde pemerintahan Sukarno melemah, begitu pula dengan proyek nasionalnya.
Pada 1969, Presiden Suharto mengambil alih Panitia Pembangunan Istiqlal. Ia menyatakan Masjid Istiqlal tetap akan dibangun sebagai bagian proyek nasional dan predikatnya sebagai monumen kemerdekaan tidak akan berubah. Memasuki periode tahun 1970-an, Istiqlal yang awalnya masih berupa tiang-tiang raksasa tak beratap mulai kelihatan bentuknya.
Istiqlal sebagai Masjid Monumen Kemerdekaan rampung pada 22 Februari 1978. Sesuai seperti yang ditulis pada laman resmi Masjid Istiqlal Indonesia: “Masjid ini dibangun untuk menghormati para pejuang muslim yang gugur dalam memperjuangkan kemerdekaan sekaligus menggambarkan rasa syukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala atas limpahan rahmat berupa kemerdekaan bangsa.”
Editor: Eddward S Kennedy