tirto.id - Pemilihan parlemen perdana digelar di Irak pada Sabtu 12 Mei 2018 sejak mengalahkan ISIS. Akan tetapi, sebagian besar warga Irak mengungkapkan tak begitu berharap banyak dari pemimpin baru untuk memberikan stabilitas dan kemakmuran ekonomi yang telah lama dijanjikan.
Hal itu lantaran warga Irak telah kehilangan kepercayaan pada politisi mereka. Tiga kandidat utama untuk perdana menteri Irak yakni petahana Haider al-Abadi, pendahulunya Nuri al-Maliki dan komandan milisi Syiah, Hadi al-Amiri.
"Saya akan berpartisipasi, tetapi saya akan menandai `X` pada surat suara saya. Tidak ada keamanan, tidak ada pekerjaan, tidak ada layanan. Para kandidat hanya menginginkan uang, bukan untuk membantu orang," kata Jamal Mowasawi, seorang tukang daging berusia 61 tahun.
Abadi dianggap akan memimpin dalam Pemilu Irak. Dia memperbaiki posisinya dengan kemenangan melawan ISIS, yang telah menduduki sepertiga dari Irak.
"Ini wajah yang sama dan program yang sama. Abadi adalah yang terbaik dari yang terburuk; setidaknya di bawah pemerintahannya kami memiliki pembebasan [dari ISIS]," kata Hazem al-Hassan, penjual ikan berusia 50 tahun di Baghdad.
Tetapi kemenangan masih jauh dari pasti untuk pria yang membangkitkan harapan bahwa ia dapat menempa kesatuan ketika ia menduduki jabatan.
Jika Aliansi Kemenangan Abadi memenangkan kursi terbanyak, ia masih harus merundingkan pembentukan pemerintahan koalisi, yang harus diselesaikan dalam waktu 90 hari dari pemilihan umum.
Selain itu, siapa pun yang terpilih menjadi pemimpin baru Irak akan menghadapi berbagai tantangan setelah perang tiga tahun melawan ISIS yang merugikan negara itu sekitar 100 miliar dolar AS.
Sebagian besar kota Mosul di bagian utara Irak telah menjadi puing-puing dalam pertempuran untuk menggulingkan ISIS, dan negara akan membutuhkan miliaran dolar untuk membangun kembali. Perekonomian pun sedang stagnan.
Produsen minyak tersebut telah berjuang menemukan formula untuk stabilitas negaranya sejak invasi Amerika Serikat untuk menggulingkan diktator Saddam Hussein pada 2003.
Selain itu, ketegangan sektarian yang meletus dalam perang sipil pada 2006-2007, masih merupakan ancaman keamanan utama. Dan dua pendukung utama Irak, Washington dan Teheran, berselisih.
Tiga kelompok etnis dan agama utama - mayoritas orang Arab Syiah dan Arab Sunni serta Kurdi - telah berselisih selama beberapa dekade, dan perpecahan sektarian tetap menjadi tantangan pemimpin baru Irak.
Penulis: Yantina Debora
Editor: Yantina Debora