tirto.id - Sesosok bayi prematur mungil terlihat bergerak-gerak di dalam sebuah tabung inkubator. Saking mungilnya, perawakan sang bayi tak lebih besar dari bantal guling yang mengapitnya.
Bayi laki-laki itu bernama Ahmad. Ia lahir saat baru tujuh bulan di kandungan. Berat badannya saat itu hanya 1,3 kg. Ahmad harus menerima perawatan Neonatal Intensive Care Unit (NICU), atau biasa disebut tabung inkubator selama satu bulan.
Biaya yang harus dikeluarkan orang tua Ahmad untuk inkubator di rumah sakit bisa mencapai Rp 1-2 juta per hari. Artinya butuh Rp30 juta selama kurang lebih sebulan.
“Saya peserta BPJS tapi perawatan inkubator tidak ditanggung, sempat dirawat 11 hari di RS Karyadi habisnya sudah Rp9 juta. Jujur saya tidak kuat kalau sehari harus keluar sejuta,” kata Asih (24) sanga Ibu dari bayi Ahmad kepada Tirto.
Di tengah ketidakberdayaan Asih, kebetulan suaminya menemukan informasi soal program peminjaman inkubator gratis dari Yayasan Bayi Prematur Indonesia (YABAPI) di agen Kudus, Jawa Tengah. Inkubator pun didapat, hasilnya berat badan Ahmad berangsur naik hingga 2,6 kg setelah beberapa bulan dalam proses perawatan di inkubator.
Ahmad hanya satu dari sekian banyak bayi prematur yang ada di Indonesia dan dunia. Menurut laporan World Health Organization (WHO) pada 2012 berjudul Born Too Soon, The Global Action Report on Preterm Birth, secara global ada 15 juta bayi lahir prematur pada 2010 dari jumlah kelahiran 135 juta kelahiran atau 11,1 persen.
Seorang bayi dapat dikategorikan sebagai bayi prematur atau neonatus kurang bulan (NKB) ketika lahir sebelum usia kehamilan mencapai 37 minggu. Sedangkan bayi berat lahir rendah (BBLR) adalah bayi dengan berat kurang dari 2.500 gram. Seorang bayi yang lahir dalam keadaan prematur punya risiko tinggi pada kematian.
Tercatat lebih dari satu juta bayi meninggal karena komplikasi akibat lahir prematur. Bayi yang hidup selamat pun banyak yang mengalami gangguan kognitif, penglihatan, dan pendengaran karena tak ditangani dengan tepat.
Kelahiran bayi prematur di negara yang berpenghasilan rendah rata-rata sebanyak 11,8 persen. Lalu negara berpenghasilan menengah ke bawah 11,3 persen, negara berpenghasilan menengah 9,4 persen dan negara berpenghasilan tinggi hanya 9,3 persen dari setiap kelahiran.
Dari laporan tersebut diketahui, Indonesia menempati peringkat kelima negara untuk bayi prematur terbanyak di dunia, yakni 675.700 bayi. Peringkat pertama diduduki India dengan jumlah 3,5 juta bayi, Lalu Tiongkok dengan 1,2 juta bayi, Nigeria 773.600 bayi, dan Pakistan sejumlah 748.100 bayi.
Sementara, menurut Riset Kesehatan Dasar 2013, terdapat 10,2 persen BBLR lahir pada tahun itu. Kecendrungan BLBR pada anak umur 0-59 bulan tertinggi dipegang provinsi Sulawesi Tengah 16,9 persen dan terendah di Sumatera Utara sebanyak 7,2 persen.
Persentase BLBR pada bayi perempuan lebih tinggi dari pada laki-laki yakni 11,2 persen berbanding 9,2 persen. Sedangkan, menurut jenis pekerjaan, persentase BBLR tertinggi pada anak balita dengan kepala rumah tangga atau orang tua yang tidak bekerja paling tinggi sebesar 11,6 persen, persentase terendah pada kelompok pekerjaan pegawai 8,3 persen. Terakhir, tercermin persentase BBLR di perdesaan lebih tinggi daripada di perkotaan yakni 11,2 persen berbanding 9,4 persen.
Inkubator Gratis Jadi Jawaban
Masih tingginya bayi prematur di Indonesia dan penanganan terbatas memunculkan program bantuan seperti yang telah diberikan kepada bayi Ahmad. Melalui Yayasan Bayi Prematur Indonesia (YABAPI) Raldi Artono Koestoer, mendapat julukan sebagai bapak bayi prematur Indonesia. Ia berhasil membuat inkubator buatan dan meminjamkannya kepada mereka yang tak mampu.
Raldi telah berjasa menyelamatkan 1500-an bayi prematur di 48 kota/kabupaten di Indonesia.
Awal terciptanya inkubator gratis buatan Raldi ini bermula sejak1994, ketika Raldi membikin riset tabung inkubator berbahan kardus yang diberi pemanas. Namun, karena kesibukan, proyek tersebut tak berlanjut, hingga pada 2001 ia kembali membuat inkubator bersama mahasiswa yang sedang mengerjakan skripsi di Kampus UI. Namun, inkubator tersebut belum didistribusikan secara massal.
Pada 2003 inkubator generasi pertama lahir buah dari keikutsertaan Raldi dan mahasiswanya di Pekan Ilmiah Nasional Mahasiswa di Solo, Jawa Tengah. Akhirnya pada 2005, inkubator ciptaannya dirujuk Menkes untuk diproduksi massal dalam skala rumah sakit.
“Indonesia hanya punya 2-3 produsen inkubator. Selebihnya impor atau hanya sebagai distributor,” terang Ibnu Roihan, salah satu tim YABAPI kepada Tirto.
Sayangnya, di 2009 terjadi pecah kongsi antar investor, kemudian pada 2010, Raldi memutuskan kembali fokus melakukan penelitian mandiri di Departemen Teknik Mesin UI. Kebetulan, pemerintah pada waktu itu menggelontorkan sejumlah dana untuk universitas dalam program penelitian kepada masyarakat luas.
Dari program itulah akhirnya Raldi dan Tim YABAPI membuat tiga inkubator untuk dipinjamkan secara individu dan gratis. Dari hanya tiga buah inkubator yang diproduksi di UI, kini YABAPI sudah memiliki 48 agen di seluruh Indonesia dari Banda Aceh hingga Jayapura yang rela meminjamkan inkubator secara gratis. Tim YABAPI menargetkan agen mereka bertambah hingga mencapai 300-400 lokasi di Indonesia
“Peminjaman dengan cara SMS, kenapa SMS? Karena kita menyasar kalangan menengah ke bawah. Kemungkinan mereka punya HP tapi belum tentu yang canggih, bisa WA atau email,” kata Roihan.
Satu prinsip yang dipegang teguh Raldi dan tim YABAPI, yakni tidak mematenkan inkubator ciptaannya. Alasannya, dengan dipatenkan, maka biaya produksi akan semakin mahal, dan para agen makin kesulitan membuat replika inkubator buatannya.
Para agen ini bekerja secara sukarela, dibutuhkan Rp3,5 juta untuk biaya produksi inkubator, bila dipatenkan harganya makin mahal. Raldi dan timnya tidak ambil pusing apabila ada oknum yang mungkin di kemudian hari bisa jadi mematenkan karyanya. Sebab inkubator karya mereka selalu mengalami perubahan setiap waktu. YABAPI sudah memiliki 20 jenis prototipe inkubator yang berbeda-beda.
Saat ini, mereka fokus untuk mendistribusikan tipe inkubator grashof untuk dipinjam. Inkubator jenis ini diklaim berukuran lebih kecil dari pada pendahulunya. Selain itu, bagannya pun bisa dilepas-pasang, tidak berisik seperti inkubator rumah sakit, dan irit listrik. Cara kerjanya memanfaatkan dua lampu pijar sebagai penghangat.
Udara di dalam tabung naik akan secara natural karena massa jenisnya ringan dan tersirkulasi kembali dengan udara segar lewat lubang miring yang dibuat di tiap sisi tabung. Suhu yang tercipta akan tetap terjadi di kisaran 33-35 derajat celcius, sesuai dengan kebutuhan bayi prematur.
Lampu pijar dalam inkubator tak hanya memberikan kehangatan dan cahaya kehidupan bagi para bayi prematur. Namun, lampu ini juga memberi kebahagiaan bagi mereka yang sudah mengulurkan tangannya.
“Satu kebahagiaan bagi kami ketika melihat para bayi bisa tumbuh secara sehat,” tutup Roihan.
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Suhendra