tirto.id - Direktorat Jenderal (Ditjen) Bea dan Cukai Kementerian Keuangan menyebutkan ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam melihat pemenuhan kewajiban Standar Nasional Indonesia (SNI) pada mainan impor. Menurut Kepala Subdirektorat (Kasubdit) Komunikasi dan Publikasi Ditjen Bea dan Cukai, Deni Surjantoro, dua hal itu terkait kebijakan fiskal yang merupakan domain dari instansinya, serta larangan dan batasan yang masuk dalam kewenangan Kementerian Perindustrian.
“Kalau untuk fiskal, mengacu kepada BTKI (Buku Tarif Kepabeanan Indonesia). Setiap komoditi ada pungutan negara yang terdiri dari PPh (Pajak Penghasilan) maupun PPN (Pajak Pertambahan Nilai),” kata Deni saat dihubungi Tirto.id via telepon pada Minggu (21/1/2018).
Lebih lanjut, Deni mengklaim beredarnya video tentang pemusnahan mainan atas inisiatif sendiri akibat barang tertahan di Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea Cukai Bengkulu bukan merupakan tanggung jawab instansinya. Deni menyebutkan bahwa pemilik mainan tersebut tidak terkendala di Ditjen Bea Cukai, melainkan masalahnya ada pada pengurusan SNI.
“Tapi karena yang menjalankan di lapangan adalah Ditjen Bea dan Cukai, jadilah seperti itu. Ada yang belum siap,” ungkap Deni.
Aturan mengenai pemberlakuan SNI sendiri merujuk pada Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 55/M-IND/PER/11/2013 tentang SNI Mainan Secara Wajib. “Di situ dikatakan semua mainan. Jadi tidak melihat pada kuantitasnya,” ucap Deni lagi.
Masih dalam kesempatan yang sama, Deni mengatakan bahwa Ditjen Bea dan Cukai akan mengadakan pertemuan dengan Kementerian Perindustrian dan Asosiasi Mainan Indonesia (AMI) untuk membahas kewajiban SNI pada mainan impor. Rencananya, pertemuan akan dilakukan esok hari (22/1/2018).
“Aturan SNI ini kan tujuannya baik, yakni untuk mendorong perkembangan industri dalam negeri, menciptakan daya saing, serta menjamin kesehatan dan keamanan,” kata Deni.
Dihubungi secara terpisah, Ketua AMI Sutjiadi Lukas menilai adanya kesalahan prosedur dalam menerapkan Peraturan Menteri Perindustrian di lapangan. Lukas berpendapat kesalahan itu muncul karena masih rancunya aturan soal mainan di Indonesia.
Sebagai solusinya, Lukas menyatakan bahwa pemerintah harus mendefinisikan arti dari mainan itu sendiri. Dengan demikian, penggolongan mainan dapat lebih jelas sehingga proses penertibannya di lapangan bisa efektif dan tidak dimanfaatkan untuk kepentingan oknum tertentu.
“Bukan berarti kami tidak setuju dengan SNI. Karena di negara lain juga ada standarnya seperti itu,” ujar Lukas kepada Tirto.id via sambungan telepon, Minggu (21/1/2018).
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Iswara N Raditya