tirto.id - Pakar hukum internasional Hikmahanto Juwana mempertanyakan bagaimana campur tangan pemerintah Malaysia dalam upaya pembebasan WNI yang disandera oleh kelompok separatis Filipina, Abu Sayyaf.
"Misalnya, kapal berbendera Malaysia [yang dibajak], adil tidak kalau mereka disandera tetapi pemerintah kita yang turun tangan? Penculik minta tebusan, pemerintah Indonesia tidak bisa mendesak perusahaan untuk membayar, sedangkan pemerintah Malaysia angkat tangan," ujar Hikmahanto saat dihubungi Antara di Jakarta, Rabu (10/8/2016).
Menurutnya, pemerintah Indonesia sudah melakukan langkah tepat dengan moratorium pengiriman batubara ke Filipina, juga peringatan agar para anak buah kapal (ABK) tidak melalui jalur pelayaran berbahaya.
Namun pihaknya menyayangkan karena peringatan ini seringkali tidak diindahkan oleh ABK atau para perusahaan pemilik kapal. Dia berpendapat, pemerintah Indonesia harus lebih tegas menegakkan peringatan akan jalur-jalur maritim yang berbahaya di sekitar perairan Malaysia dan Filipina.
Pada sisi lain, Hikmahanto juga menekankan pada WNI bahwa saat ini, posisi mereka memiliki 'harga' tersendiri di mata kelompok penyandera, terbukti dengan kasus yang terjadi selama dua bulan terakhir di mana para penculik terkesan hanya mengutamakan WNI sebagai sasaran.
Motif penculikan WNI oleh Abu Sayyaf disebut-sebut karena kelompok militan bersenjata itu berhasil memperoleh uang tebusan sebesar 50 juta peso atau sekitar Rp14 miliar, meskipun pemerintah Indonesia menyangkal isu tersebut.
Pembayaran tebusan, menurut Hikmahanto, selain tidak menunjukkan sikap tegas pemerintah juga bermakna negatif karena Indonesia seolah-olah membantu Abu Sayyaf melakukan pemberontakan terhadap pemerintah sah Filipina.
"Sementara kalau kita melihat Kanada dan Norwegia, mereka tidak membayar tebusan meskipun warganya sampai dieksekusi. Empat warga Malaysia (yang disandera) juga belum dibebaskan sampai sekarang karena mereka tegas tidak mau membayar," ucapnya.
Hingga saat ini, WNI yang disandera oleh kelompok Abu Sayyaf berjumlah 11 orang dan belum dibebaskan. Kasus terakhir adalah penyanderaan Herman Bin Manggak, warga asal Bulukumba, Sulawesi Selatan, yang merupakan kapten kapal penangkap udang berbendera Malaysia.
Herman diculik di wilayah Kinabatangan, Sabah, Malaysia pada 3 Agustus lalu, sementara dua ABK kapal masing-masing berkewarganegaraan Indonesia dan Malaysia, telah dilepaskan.
Penulis: Rima Suliastini
Editor: Rima Suliastini