Menuju konten utama

Indonesia Masih Harus Berdamai dengan COVID-19 Tiga Tahun Lagi

Negara-negara dengan kekuatan ekonomi besar diprediksi jadi yang paling awal mencapai kekebalan kelompok dan terbebas dari pandemi.

Indonesia Masih Harus Berdamai dengan COVID-19 Tiga Tahun Lagi
Seorang warga lanjut usia (lansia) menerima suntikan vaksin COVID-19 dosis pertama dari tenaga kesehatan saat Peluncuran Gerakan Serempak Pekan Vaksinasi Massal Lansia se Provinsi Jambi di Kota Baru, Jambi, Selasa (8/6/2021). ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan/wsj.

tirto.id - Sudah setahun lebih kita bertarung dengan musuh tak kasat mata si COVID-19. Tentu letih sekali rasanya terpaksa menjadi makhluk asosial selama berbulan-bulan, terkurung dalam rumah, dan berjuang dengan beban mental yang belum pernah dipikul sebelumnya.

Sebagian orang yang muak—atau memang dari awal masa bodoh—dengan keadaan pandemi ini, memilih nekat melakukan aktivitas seperti biasa: melancong mumpung tiket perjalanan banting harga, nongkrong, dan belanja dengan diskon tutup toko.

Meski begitu, kita semua harus sadar pandemi ini masih akan berlangsung hingga hitungan bulan, bahkan mungkin beberapa tahun ke depan. Pasalnya, upaya mencapai kekebalan kelompok dengan vaksinasi di beberapa negara masih terganjal beberapa masalah, seperti gap ekonomi antarnegara serta penolakan kaum antivaksin.

Tapi, tetap saja pertanyaan ini muncul: sampai kapan pandemi akan berlangsung? Kapan ia berakhir? Semua orang tentu ingin situasi pelik ini cepat berakhir, tapi mari melihat prediksinya dari Bloomberg Vaccine Tracker.

Sejak kampanye vaksinasi global dimulai hingga awal Juni 2021, Bloomberg Vaccine Tracker mencatat lebih dari 2,19 miliar dosis vaksin telah diberikan di 178 negara. Jumlah tersebut baru cukup untuk vaksinasi 14,3 persen populasi global (data per 8 Juni 2021).

Ada sekitar 35,4 juta dosis vaksin diberikan per hari secara global. Saat diluncurkan, Bloomberg Vaccine Tracker memprediksi kekebalan global akan tercapai dalam waktu tujuh tahun. Meski begitu, capaian kekebalan kelompok per negara akan berbeda.

Program vaksinasi di negara dan wilayah dengan pendapatan tertinggi terhitung 30 kali lebih cepat dibanding negara berpendapatan rendah,” tulis laporan tersebut.

Singkatnya, mereka yang berduit akan lebih dulu kembali ke kehidupan normal dibanding negara miskin atau berkembang.

Kita lihat saja contoh perbandingannya. Dengan kecepatan vaksinasi sekira sejuta dosis per hari seperti sekarang, Amerika Serikat membutuhkan waktu sekira lima bulan lagi untuk mencapai kekebalan kelompok (75 persen populasinya). Sementara itu, Vietnam dengan kecepatan vaksinasi 34.000 dosis per harimembutuhkan waktu hingga lebih dari 10 tahun untuk mencapai kekebalan kelompok.

Lalu, bagaimana dengan Indonesia?

Per 8 Juni 2021, Indonesia punya dosis vaksin terdaftar mencapai 29,9 juta vaksin yang cukup untuk melindungi 5,6 persen populasi. Dengan rata-rata dosis harian 363 ribu vaksin, Indonesia butuh setidaknya tiga tahun lagi untuk mencapai kekebalan kelompok.

Jadi, sebelum kekebalan kelompok tercapai, warga Indonesia tetap perlu waspada karena pagebluk ini sungguh masih sangat panjang.

Negara yang Unggul di Program Vaksinasi

Sebelum vaksin ditemukan, negara yang paling mampu mengendalikan pandemi COVID-19 adalah negara-negara dengan sistem kesehatan publik terbaik. Keadaannya menjadi sangat berbeda sekarang. Setelah tujuh merek vaksin COVID-19 diedarkan secara luas, negara-negara dengan kekuatan ekonomi besarlah yang paling cepatmencapai kekebalan kelompok.

Menurut pemberitaanThe Straits Timesyang mengutip laporan proyek Our World in Data dari Universitas Oxford, di antara negara-negara dengan populasi lebih dari 200 ribu jiwa, Uni Emirat Arab, Israel, dan Malta memimpin sebagai negara dengan tingkat vaksinasi tertinggi. Sementara wilayah Asia dipimpin oleh Mongolia, Maladewa, dan Singapura.

Meski masih memimpin, kecepatan vaksinasi Israel sebenarnya sedang mengalami perlambatan. Semula, Israel mampu memvaksin lebih dari 135 ribu orang per hari dan diperkirakan akan mampu mencapai kekebalan kelompok dalam dua bulan. Namun, penolakan dari kaum antivaksin membuyarkan kalkulasi itu.

Jumlah orang yang divaksinasi terus turun jadi hanya 4.595 per hari. Dengan kapasitas sekarang, Israel butuh waktu 22 bulan untuk mencapai kekebalan kelompok, meski 58,4 persen populasi telah divaksinasi,” demikian laporan dariThe Straits Times.

Di belahan dunia lain, Cina justru mampu memangkas waktu untuk mencapai kekebalan kelompok—dari prediksi awal 5,5 tahun menjadi hanya tiga bulan saja. Kuncinya adalah dengan meningkatkan frekuensi vaksinasi, dari 103 juta menjadi 15 juta dosis per hari.

Ini hasil dari kampanye Partai Komunis yang memberi insentif vaksinasi dan hukuman bagi kelompok penolak vaksin,” tulis The Straits Times.

Negara yang sukses selanjutnya adalah Amerika. Dengan kekuatan ekonomi raksasa, Amerika yang sebelumnya sempat jadi episentrum pendemi kini diprediksi akan terbebas dari COVID -19 dalam waktu empat bulan—terhitung sejak Mei 2021. Ada pula Inggris yang diprediksi akan mencapai kekebalan kelompok secara kilat pada bulan Juli mendatang.

Bloomberg Vaccine Tracker menambahkan prediksi waktu negara lain dalam mengupayakan kekebalan kelompok (berdasarkan data per Mei 2021), diantaranya Jepang 15 bulan, Hong Kong 11 bulan, Australia 16 bulan, Korsel 18 bulan, Selandia Baru 19 bulan, Rusia 2,7 tahun, India 2,4 tahun, Thailand 2,8 tahun, Filipina 4 tahun, dan Taiwan 7,4 tahun.

Infografik Kapan Covid-19 Berakhir

Infografik Kapan Covid-19 Berakhir. tirto.id/Quita

Tumbang-Bangkit Melawan COVID-19

Sebelum kampanye vaksinasi global dilakukan, negara-negara di dunia mengupayakan berbagai langkah untuk menangani dan memutus transmisi virus SARS-CoV-2. Kemudian terbitlah rumusan terkenal itu: memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak. Beberapa negara sampai melakukan karantina wilayah agar kurva infeksi tak melambung tinggi, sementaranegara lainnya berlomba mencipta vaksin.

Tapi, ketika vaksin ditemukan dan transmisi mulai bisa dikendalikan di wilayah tertentu, virus korona mulai bermutasi. Artinya, perjuangan belum lagi berhenti.

Negara-negara yang dianggap pernah “menang” memerangi pandemi kini terpaksa menerapkan kembali karantina wilayah. Sebutlah misalnya Singapura yang kebijakan penanganan pandeminya sempat disebut sebagai yang paling efektif. Atau Malaysia yang punya tingkat kesembuhan tertinggi di ASEAN. Juga Argentina dengan sedikit catatan kasus kematian.

Kini, ketiga negara itu tengah menghadapi lonjakan kasus infeksi tak wajar. Karantina wilayah di Singapura sebenarnya sudah pernah dilonggarkan pada pertengahan tahun lalu. Namun, kebijakan tersebut kini kembali diperketat karena Kementerian Kesehatan Singapura menemukan 29 kasus baru.

Demikian pun Malaysia kembali memberlakukan karantina wilayah untuk ketiga kalinya. Semua kegiatan sosial, hiburan, dan perjalanan antardistrik dan antarnegara dilarang. Sementara itu,Argentina setelah sebelumnya melonggarkan teater, harus mencatat kasus harian dan angka kematian tertinggi sejak pandemi Covid-19 melanda.

Jatuh bangun upaya mengalahkan si musuh tak kasat mata harusnya tak memupuskan harapan untuk kembali ke dunia normal. Apalagi inovasi vaksin dan penanganan medis terus dilakukan.

Seperti setapak jalan terang yang muncul dalam upaya Brazil memvaksinasi semua orang dewasa di Kota Serrana. Mereka terdaftar sebagai objek uji coba massal “Project S” vaksin CoronaVac. Walhasil, kematian di kota berpenduduk 45 ribu orang di Brazil Tenggara ini berkurang sebanyak 95 persen.

Selain mengurangi tingkat kematian, jumlah kasus bergejala juga turun 80 persen dan kasus rawat inap berkurang 86 persen. Upaya ini turut pula mengurangi kasus dan kematian kelompok yang tidak divaksinasi, seperti anak-anak dan orang dewasa dengan masalah kesehatan serius.

Brazil diprediksi mencapai kekebalan kelompok dalam waktu satu tahun. Nantinya ketika populasi sudah rampung menyelesaikan vaksinasi dosis terakhir, kekebalan penuh akan terbentuk dalam waktu dua minggu. Setelahnya, pedoman terbaru CDC (13 Mei) menyatakan tak perlu ada lagi masker dan penjarakan.

Hanya orang yang tidak divaksin, termasuk anak-anak yang tetap memakai masker di dalam ruangan,” menurut CDC.

Baca juga artikel terkait VAKSINASI COVID-19 atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Fadrik Aziz Firdausi