Menuju konten utama

Vaksinasi COVID-19 Dinilai Belum Inklusif pada Kelompok Rentan

Program vaksinasi COVID-19 belum inklusif pada kelompok rentan sejak digulirkan dua tahun lalu.

Vaksinasi COVID-19 Dinilai Belum Inklusif pada Kelompok Rentan
Tenaga medis menyiapkan vaksin COVID-19 dosis keempat atau penunjang (booster) kedua yang akan diberikan kepada seorang warga lansia di Aula Kelurahan Pandanwangi, Malang, Jawa Timur, Selasa (29/11/2022). ANTARA FOTO/Ari Bowo Sucipto/tom.

tirto.id - Chief of Policy and Research di Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), Olivia Herlinda mengatakan, program vaksinasi COVID-19 belum inklusif pada kelompok rentan sejak digulirkan dua tahun lalu. Kelompok rentan masih tersisih dalam rancangan kebijakan dan pelaksanaan vaksinasi.

Padahal, kata Olivia, penyediaan vaksin bagi kelompok rentan merupakan wujud pengakuan akses kesehatan sebagai Hak Asasi Manusia (HAM).

“Tantangan yang dihadapi kelompok rentan melingkupi berbagai dimensi, mulai dari kebijakan dan tata kelola hingga distribusi dan logistik vaksin,” kata Olivia dalam diskusi dan pemaparan Kajian Kebijakan Studi Inklusivitas Program Vaksinasi Covid-19 Pada Masyarakat Adat dan Kelompok Rentan, di Jakarta, Kamis (27/7/2023).

Dari sisi kebijakan dan tata kelola, kata Olivia, ketiadaan kebijakan operasional yang menjelaskan definisi kelompok rentan secara lebih luas – termasuk masyarakat adat – menyulitkan penjangkauan kelompok tersebut.

Selain itu, prasyarat nomor induk kependudukan (NIK) pada awal pandemi turut menyulitkan masyarakat adat dan individu tanpa NIK untuk mendapatkan vaksin.

“Belajar dari situasi pandemi, keberadaan peraturan yang masih mewajibkan penerima vaksinasi harus memiliki NIK menyulitkan masyarakat adat dan kelompok rentan untuk mengakses vaksinasi,” ujar Olivia.

Kini, memang dalam Pasal 28 Ayat (4) Undang-Undang Kesehatan, penjelasan masyarakat rentan sudah diperluas. Masyarakat adat, individu dengan status sosial-ekonomi rendah, masyarakat dengan penyakit penyerta, individu dengan disabilitas, individu yang tersisihkan secara sosial karena agama, status HIV/AIDS dan kewarganegaraan, serta individu yang tinggal di wilayah 3T, tercakup di dalamnya.

Olivia berharap, definisi tersebut bisa dijalankan secara operasional ke depan dan bisa diikutsertakan pada peraturan yang sudah ada.

Dari sisi pembiayaan, CISDI menilai bahwa, setiap daerah memiliki proses dan alur perencanaan anggaran yang berbeda sesuai dengan kapasitas dan kebijakan masing-masing. Walau begitu, CISDI mencatat tren penganggaran di setiap daerah menunjukkan penurunan dari 2021 ke 2022.

CISDI juga menemukan ada daerah yang tidak mengalokasikan anggaran vaksinasi COVID-19 pada periode yang sama. Sementara, pada 2023 semua daerah telah menghapuskan anggaran khusus vaksinasi COVID-19.

“Selain itu, penentuan dan perencanaan anggaran untuk program vaksinasi hanya melibatkan dinas kesehatan dan pemerintah daerah. Tidak ada forum diskusi dengan perwakilan kelompok rentan atau organisasi masyarakat adat dalam penyusunan anggaran program vaksinasi COVID-19 sehingga program dan kebijakan belum tentu sesuai kebutuhan kelompok rentan,” jelas Olivia.

CISDI mendorong pemerintah pusat merevisi Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 12 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Imunisasi agar lebih inklusif dan berorientasi perlindungan masyarakat adat dan kelompok rentan.

“Pemerintah pusat juga harus memastikan pencabutan status darurat pandemi COVID-19 di Indonesia tidak memperburuk akses vaksinasi COVID-19, termasuk hambatan administrasi dan biaya, terhadap masyarakat adat dan kelompok rentan,” tambah Olivia.

Baca juga artikel terkait VAKSINASI COVID-19 atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Anggun P Situmorang