Menuju konten utama

Indonesia Asli Indonesia La Galigo

Meski tak banyak orang Indonesia tahu, La Galigo adalah karya sastra terbesar yang dimiliki Indonesia, bahkan sudah diakui dunia sebagai Memory of the World oleh UNESCO. Sekilas, cerita La Galigo tak kalah seru ketimbang cerita lain. Sementara kebanyakan orang Indonesia masa kini lebih tergila-gila pada cerita dari Turki.

Indonesia Asli Indonesia La Galigo
Sebuah adegan dari sebuah epos warisan budaya tanah Bugis, yang dipentaskan dalam bentuk teater berjudul "I la Galigo Asekku (I la Galigo Namaku)", disutradarai dan ditulis skenarionya oleh Ilham Anwar, di Graha Bakti Budaya, TIM, Jakarta, Jumat (13/5) malam.Antara foto/dodo karundeng/ama/16.

tirto.id - Belum ada sastra Indonesia sekeramat La Galigo. Penggalan naskahnya tak boleh dibaca sebelum diadakan ritual, seperti menyembelih sapi atau kambing.

Potongan naskah lawas La Galigo dijadikan semacam mantra yang biasa dibacakan berirama seperti lagu untuk melengkapi upacara membangun rumah, musim tanam, pesta perkawinan atau tolak bala (bencana) di sebagian Sulawesi Selatan. Tuturan La Galigo sebagian besar berbentuk puisi berbahasa Bugis Kuno, yang agak berbeda dengan bahasa Bugis yang sekarang dipakai. Konon tak lebih dari 100 orang Bugis yang paham bahasa Bugis Kuno tersebut.

La Galigo sebenarnya adalah sebuah epos atau cerita kebesaran tentang perjalanan Sawerigading dan keturunannya. Sawerigading digambarkan sebagai sosok pahlawan, perantau dan nahkoda tangguh. Ceritanya tak kalah seru dengan Mahabaratha atau Ramayana, yang justru bukan asli Indonesia tapi lebih banyak dikenal.

Tentang Nahkoda, Perantau dan Pahlawan

Cerita La Galigo dibuka dengan penciptaan dunia. Mulai dari dunia yang kosong dan turunnya Batara Guru ke dunia. Mereka turun di daerah Luwu di utara Teluk Bone. Batara Guru, sebagai raja digantikan anaknya La Tiuleng yang bergelar Batara Lattu'.

La Tiuleng punya anak kembar yakni La Madukelleng alias Sawerigading dan We Tenriabeng. Keduanya dibesarkan terpisah. Kedua anak kembar itu baru bertemu lagi ketika dewasa. Sawerigading terpesona dan jatuh cinta pada We Tenriabeng, saudara kembarnya.

Sawerigading mengajukan niatnya untuk menikahi We Tenriabeng. Hingga diceritakanlah kepada Sawerigading bahwa We Tenriabeng adalah saudara kembarnya. Cinta itu kandas. Kawin dengan saudara sedarah dipercaya bisa mendatangkan bencana. Setelah kejadian itu, Sawerigading kemudian merantau ke Negeri Cina. Ia pergi dengan menggunakan kapal.

Dalam perjalanannya, Sawerigading menghadapi banyak pertempuran. Dia mengalahkan banyak penguasa, termasuk Penguasa Jawa Walio bernama Setia Bonga. Daerah-daerah yang diperkirakan pernah disinggahi Sawerigading adalah Maluku, Nusa Tenggara, Jawa dan Malaka. Di perjalanan, Sawerigading juga mendapat banyak pengikut.

Ketika sampai di Negeri Cina, Sawerigading berhasil mengawini We Cudai yang tak kalah cantik dari We Tenriabeng. Dari We Cudai, Sawerigading punya tiga anak, yakni Tenridio, Tenribaloba dan La Galigo. Selain kawin dengan We Cudai, Sawerigading juga kawin dengan We Cimpau dan memperoleh seorang anak bernama We Tenriwaru.

Sawerigading dan keluarganya itu sempat kembali ke Luwu. Meski Sawerigading sendiri pernah bersumpan tidak akan kembali ke Luwu setelah gagal kawin dengan saudara kembarnya. Anak Sawerigading, La Galigo juga tak jauh beda dengannya. Juga diakui sebagai nahkoda dan perantau tangguh.

La Galigo punya empat istri dari berbagai negeri. La Galigo juga berjaya di perantauan dan tak jadi raja di kampungnya. La Galigo punya anak bernama La Tenritatta yang kemudian bertaha di Luwu sebagai raja.

Kebesaran epos La Galigo berpengaruh besar dalam sejarah di masa kerajaan-kerajaan feodal berkuasa. Belakangan, Luwu, sebagai tempat turunnya Batara Guru, dianggap daerah sakral oleh para penguasa-penguasa Makassar maupun Bugis di Sulawesi Selatan. Dipercaya oleh banyak orang di masa lalu, raja-raja yang berkuasa di Sulawesi Selatan adalah keturunan dari Luwu.

Tercecer dan Kurang Dikenal di Indonesia

“La Galigo epik mitos terpanjang di dunia dan sebagai Memory Of The World yang telah disahkan serta diakui UNESCO," kata Ketua Harian Komisi Nasional untuk UNESCO, Arief Rachman, di Galeri Indonesia Kaya, Jakarta kepada Antara (13/9/2014). Menurutnya, La Galigo dianggap Memory of the World karena mengandung literatur dan ingatan kolektif dunia.

Kisah La Galigo mulai digubah sebelum abad ke-13. Tak jelas siapa pengarang dari ceritera epik ini. Terutama pengarang dari karakter-karaker tokoh La Galigo. Cerita rakyat ini pun menyebar ke penjuru Sulawesi Selatan dalam versi-versi yang lebih berkembang. Apapun versinya, tokohnya selalu ada Sawerigading atau La Galigo.

Naskah La Galigo yang tersimpan di KITLV Leiden, terdiri dari 6.000 halaman dan 300 ribu baris. Tentu saja ini belum termasuk, naskah kuno lain atau cerita lisan, La Galigo di luar yang dikoleksi KITLV. Tak ada yang memiliki naskah lengkapnya.

Menurut keterangan Muhammad Salim kepada Tempo (8/9/2003), kisah La Galigo bagai batang pohon. Di tengah membentuk cabang dan ranting ke kiri dan kanan, dan ada ranting yang bisa melenting masuk kembali ke batang. Pokok pohon atau batang itu adalah 12 jilid salinan Arung Pancana Toa. Lainnya adalah cerita-cerita carangan.

Ada beberapa versi tentang kunjungan Sawerigading di Mekkah. Ada kisah Sawerigading berdebat dengan Nabi Muhammad SAW tentang jalan terbaik menuju keselamatan umat manusia. Juga ada versi tentang Nabi beradu ilmu dengan susunan telur. Namanya juga karya sastra, tak harus sesuai dengan sejarah meski ada ingatan sejarah yang terkandung di dalamnya. Cerita La Galigo banyak dipenuhi dengan mitos-mitos. Sebagian orang tak setuju jika ini dikatakan sebagai karya sejarah. Namun, warisan ingatan yang ada dalam karya sastra ini jelas punya nilai sejarah dan bisa membantu memahami sejarah Sulawesi Selatan.

Saat ini, dari naskah kuno itu, sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia atas jasa Muhammad Salim. Selama lebih dari lima tahun, sejak 1989 hingga 1994, Salim bekerja keras mulai dari meng-copy naskah kuno yang tersimpan di Belanda. Naskah kuno itu nyaris rusak termakan usia. Setelah dicopy, Salim menterjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia.

Naskah-naskah La Galigo sendiri, semula banyak berserakan di penjuru Sulawesi Selatan. Baik berupa tulisan di daun lontar maupun sebagai mantra-mantra. Untungnya, Perpustakaan Leiden sudah mengoleksi naskah-naskah itu sejak lama, atas kerja keras BF Matthes dengan bantuan sepasang anak-ibu yang tak akur selama kurun waktu 1848 hingga 1871. Matthes ketika itu sedang menyusun kamus bahasa Bugis-Belanda untuk kepentingan penyebaran agama kristen itu.

Dia rupanya tertarik dengan cerita La Galigo. Raja wanita di kabupaten Barru, Tjolliq Pudjie alias Arung Pancana dan putrinya, Ratu Tanette We Tenriolle, ikut membantu Matthes mendokumentasikan cerita tersebut. Dari ibu dan anak yang sulit akur itu, sang ibu, Tjolliq Pudjie paling banyak berkontribusi dalam pendokumentasian tersebut. Naskah yang dikumpulkan Matthes bersama Colliq Pudjie dan We Tenriolle itu kemudian diadaptasi oleh Rudolf Albert Kern.

La Galigo sudah dipentaskan dengan sukses oleh sutradara teater Robert Wilson pada 2004. La Galigo jadi perhatian dunia karenanya. Selain itu, ada pula kisah yang sudah dinovelkan oleh Dul Abdul Rahman, yakni La Galigo Napak Tilas Manusia Pertama di Kerajaan Bumi dan La Galigo 2: Gemuruh Batin Sang Penguasa Laut, keduanya terbit di tahun 2012. Dul Abdulrahman menulis berdasar versi yang dia dengar ketika kecil.

Belum semua orang Indonesia mengenal cerita La Galigo. Orang Indonesia masa kini lebih terjebak pada tontonan cerita berlatar negeri orang, termasuk tontonan drama India, Turki, ataupun Korea. Barangkali menunggu cerita ini diadaptasi menjadi sinetron atau film populer terlebih dahulu.

Baca juga artikel terkait LUWU atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti