tirto.id - Jagat Sinematik Bumilangit menyambut kedatangan penghuni anyar di awal 2023. Sebuah cerita berlatar Kota Kembang mengenai seorang remaja SMA yang memiliki kemampuan mengeluarkan api dari telapak tangannya sejak kecil.
Premis film Virgo and The Sparklings gampang sekali ditebak. Mau ngapain remaja Gen Z itu dengan kemampuan supernya? Serta bagaimana pula ia menyeimbangkan keunikan pribadinya dengan dinamika kehidupan normal remaja sepantarannya?
Tatkala menonton film ini, mau tak mau saya kembali diingatkan pada kompatriot sejenis dalam katalog panjang Marvel Cinematic Universe bertajuk Ms. Marvel. Perbandingan antar karya dengan konteks interdimensional masing-masing pun tak terelakkan.
Problem Karakterisasi
Fase pertumbuhan psikologi remaja sangat kental dengan tema besar pencarian jati diri. Ms. Marvel menjelajahi fase tersebut dengan ciamik melalui eksplorasi berlapis atas isu imigran Muslim Pakistan di Amerika Serikat hingga riwayat partisi India dan Pakistan.
Deskripsi latar sosial budaya yang tampil secara runut dan tidak terburu-buru membuat penonton bisa langsung terkoneksi secara emosional dengan kisah keseharian Kamala Khan, mutan berusia 16 tahun yang menggilai Carol Danvers/Captain Marvel.
Lain halnya dengan Virgo and The Sparklings yang dibuka dengan sekelumit konteks kekerasan dalam keluarga yang dikemas agar tampil misterius, sebelum mendadak beralih ke ihwal perkenalan serba kilat mengenai kepribadian sang protagonis nomor satu.
Riani (Adhisty Zara) merupakan seorang gadis yang cepat panik, kerap terasingkan, dan ceroboh. Karakterisasi yang terakhir kerap membuatnya gagal mengontrol percikan api yang menyembur dari tangannya. Tak pelak, kebakaran pun melanda dimanapun ia berada.
Sebagai akibatnya, Riani terpaksa gonta-ganti sekolah dalam tempo singkat. Bandung menjadi kota terkini yang ia singgahi bersama keluarganya yang lantang mengeluh setiap kali berpindah domisili. Sayangnya deskripsi latar belakang berhenti di situ.
Saya tidak menemukan eksposisi lebih lanjut terkait alasan mengapa Bandung yang dipilih sebagai lokasi transformasi Riani menjadi Virgo. Begitu pula dengan keanehan kenapa Riani bisa terdaftar menjadi siswi di salah satu sekolah terbaik di Bandung, padahal ia mengantongi beberapa rekam jejak masalah dari sekolah-sekolahnya terdahulu.
Cukup bisa dipahami bahwa alasan di balik sekuens pengenalan karakter serta tempo penyuntingan yang begitu cepat pada babak pertama tak jauh-jauh dari pertimbangan faktor audiens. Mayoritas penonton kita berasal dari kelas sosial menengah ke bawah yang tidak suka berpikir terlalu rumit dalam mencerna progresi narasi film.
Konsekuensinya, Riani belum memiliki fondasi emosional yang membekas kuat serta mampu mengikat presensi dirinya dalam benak penonton. Pada momen ini, problem pencarian jati diri Riani hanya berkutat pada ranah adaptasi dengan lingkungan sekolahnya saat ini.
Lebih parah lagi, masalah mendasar Riani langsung selesai seketika. Geng selebriti sekolahan yang sempat mengganggu mendadak lenyap ditelan teman-teman band barunya, lantas ketiga teman ngeband dimaksud menerima keabnormalan Riani begitu saja.
Tidak ada rasa ingin tahu secara berlebihan, kecemasan, ketidakpahaman, bahkan ketakutan berteman dengan orang seperti Riani. Padahal semua tipologi emosional tersebut sangat lazim kita jumpai pada diri seorang remaja.
Sifat labil yang pasti termasuk dalam bentang mental remaja pun terasa nihil. Monica (Ashira Zamita), Ussy (Satine Zanita), dan Sasmi (Rebecca Klopper) cepat sekali memantapkan tekad guna membantu Riani berlatih membela diri demi membantu sesama.
Berbagai contoh akselerasi naratif yang mengabaikan pengembangan karakterisasi itu memang mulai terbayar memasuki babak kedua, tatkala alur plot cerita mulai mematuhi kaidah-kaidah logika secara sistematis. Namun sejujurnya langkah ini pun belum cukup.
Saya hanya bisa menebak-nebak bagaimana riwayat Riani memiliki kapabilitas mengeluarkan api sedemikian rupa, apakah berbasis garis keturunan atau faktor lain. Hal ini kontras sekali dengan eksplanasi tokoh Kamala Khan selaku mutan remaja di Ms. Marvel.
Mengingat Virgo and The Sparklings terintegrasi dengan ekspansi semesta Bumilangit yang ditandai oleh kemunculan Sancaka/Gundala (Abimana Aryasatya) bersama Cempaka (Vanesha Prescilla) dalam epilog film, mungkin kita akan berkesempatan menelisik lebih banyak tentang riwayat Riani beserta keluarganya pada film-film berikutnya.
Pembumian Keremajaan
Yang kita ketahui dan terpatri sedari awal durasi adalah Riani jago bermusik, sebab ia mempunyai basis kemampuan sinestesia. Atas dasar itu, performa kerennya di atas panggung maupun kualitas komposisi lagu yang mereka gubah tak lagi mengherankan.
Pergumulan Riani menggapai keseimbangan antara dorongan romansa bersama Leo (Bryan Domani), latihan ngeband, kegiatan belajar mengajar, sampai komitmen untuk menggagalkan teror sistematis milik Carmine (Mawar Eva de Jongh) juga tampil lugas.
Semua aspek yang disebutkan di atas lekat dengan keseharian remaja pada umumnya. Pengakuan Ayah (Irgi Fahrezi) dan Ibu (Aida Nurmala) atas keistimewaan pribadi Riani kemudian terbukti menjadi keran pamungkas yang semakin menguatkan tekad Riani.
Satu poin menarik yang saya garis bawahi dari keputusan kreatif Ody C. Harahap selaku sutradara adalah konsistensi untuk menolak penempatan anasir-anasir yang memaksa Riani melompat menuju kedewasaan sebelum waktunya tiba.
Pilihan untuk membumikan sifat-sifat keremajaan dari kuartet anggota band Virgo and The Sparklings adalah elemen yang patut diapresiasi. Dengan demikian penonton remaja tetap mampu berkorelasi dengan kegalauan maupun pergumulan yang dijalani oleh mereka.
Berangkat dari titik itu, konstruksi identitas Riani sebagai Virgo telah berjalan di jalur yang benar. Kapabilitas supernya tidak serta merta membuatnya tampil sebagai sosok bijaksana di antara teman-temannya dalam menghadapi dinamika hidup.
Kita memang tak diberitahu perihal identitas kultural Riani dan kolega The Sparklings sebagaimana Ms. Marvel mendedikasikan sepasang episode utuh bagi upaya penelusuran secara komprehensif atas identitas Muslim Pakistan yang diemban Kamala Khan.
Maka akan menarik menunggu perkembangan psikologis tokoh Virgo ke depan ketika ia berkolaborasi dengan Gundala, Sri Asih, dan figur luar biasa lainnya. Di tengah kawanan orang dewasa, setidaknya hadir seorang remaja yang mencairkan suasana.
Akan lebih membumi lagi bila Virgo diproyeksikan menjadi salah satu figur yang paling pertama tergiur pada pengaruh negatif dari pihak antagonis sehingga memicunya melakukan kesalahan, persis seperti Wanda Maximoff dalam Captain America: Civil War.
Kesalahan yang Virgo lakukan kelak mungkin menjadi fondasi bagi terciptanya konflik anyar, tapi di saat bersamaan menjadi wadah refleksi yang amat krusial untuk tokoh-tokoh lain di Jagat Sinematik Bumilangit dalam membangun chemistry dan pemahaman kolektif.
Penulis: Jonathan Manullang
Editor: Lilin Rosa Santi