Menuju konten utama

Ide Flyover Ala Jusuf Hamka Bukan Solusi Atasi Kemacetan Jakarta

Daripada membangun jalan layang, lebih baik mengoptimalkan transportasi publik yang nyaman dan aman bagi warga Jakarta dan sekitarnya.

Ide Flyover Ala Jusuf Hamka Bukan Solusi Atasi Kemacetan Jakarta
Sejumlah kendaraan melintas di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, Kamis (02/11/2023). S ANTARA FOTO/M Mardiansyah Al Afghani/Ak/foc.

tirto.id - Pengusaha jalan tol, Jusuf Hamka, mengaku memiliki solusi untuk mengatasi persoalan kemacetan di DKI Jakarta. Menurut pria yang akrab disapa Babah Alun itu, untuk mengatasi kemacetan dibutuhkan keberanian dengan cara menambah produksi jalan.

“Kalau mau atasi kemacetan ini masalah nyali. Berani atau tidak? Kenapa? Kalau mau mengurai kemacetan mobilnya diproduksi bertambah jalannya tidak diproduksi bertambah. Tidak seimbang,” kata Jusuf Hamka, saat ditemui di Kawasan Kuningan, Jakarta, Sabtu (13/7/2024).

Menurut dia, salah satu yang bisa dilakukan ke depan adalah membangun flyover atau jalan layang yang melewati di atas jalur lain. Dia mencontohkan, jalan layang ini nantinya bisa dibangun dari kawasan Sudirman menuju ke Thamrin yang notabene merupakan daerah rawan kemacetan.

“Dari Semanggi Hotel Sahid depan mau menuju ke Jalan Thamrin itu di Bundaran HI kita bisa stuck 30-40 menit. Bagaimana tidak menguras energi, bahan bakar, capek kadangkala. Kenapa tidak dibangun flyover?,” jelas dia.

Dia memahami, langkah tersebut pada akhirnya akan menuai kontra dari pemilik gedung-gedung yang nantinya akan dibangun flyover tersebut karena dianggap akan merusak keindahan. Namun, balik lagi tinggal berani atau tidaknya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta ke depan untuk mengatasi persoalan macet.

“Sebenarnya bisa disiasati saya bilang tidak perlu merusak keindahan. Jalan tetap ada, apakah flyover apakah BUMD itu bisa ditugaskan buat jalan tol karena APBD Rp9,6 triliun lebih dari cukup saya bilang,” kata Jusuf Hamka.

Sebagai informasi saja, solusi Jusuf Hamka tersebut baru sebatas usulan yang disampaikan kepada Ketua Umum Partai Golkar, Airlangga Hartarto, untuk mengatasi persoalan kemacetan.

Nama Jusuf Hamka sendiri belakangan memang tengah didorong oleh Airlangga untuk mendampingi Kaesang Pangarep jika putra sulung Jokowi itu bersedia maju di Pilkada Jakarta 2024.

Namun, usulan mengatasi masalah kemacetan dengan pembangunan flyover ala Jusuf Hamka ini justru direspon negatif oleh beberapa pihak. Alih-alih menyelesaikan persoalan, pembangunan flyover tersebut justru bukan solusi dan menambah masalah baru.

Jusuf Hamka

Direktur Utama Podjok Halal Jusuf Hamka. ANTARA/Livia Kristianti

Masalah Baru akan Muncul

Pengamat Tata Kota Universitas Trisakti, Yayat Supriyatna, mengatakan untuk membuat jalan layang di atas jalan Sudirman sampai dengan Bunderan HI justru akan menimbulkan dua masalah besar. Pertama, tentu akan merusak estetika ruang kota karena akan membuat kepadatan bangunan dan jalan makin tinggi.

"Kedua polusi udara makin meningkat karena jumlah kendaraan yang masuk kota makin tinggi," jelas Yayat kepada Tirto, Selasa (16/7/2204).

Di luar kedua masalah tersebut, kata Yayat, konstruksi pembangunan flyover nantinya akan membahayakan struktur bangunan jalur MRT bawah tanah yang ada di pilar jalan layang nanti.

Rencana pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke Ibu Kota Nusantara (IKN), juga menjadi perhatian Yayat, bila gagasan membangun jembatan layang benar-benar diwujudkan.

"Kemudian apakah koridor Sudirman-Thamrin apakah masih menarik buat investor kalau sebagian kantor menteri mulai pindah ke IKN?" ujarnya mempertanyakan.

Ketua Forum Antar Kota Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Aditya Dwi Laksana, mengatakan penambahan ruas jalan di dalam area perkotaan yang padat itu memang bukan solusi efektif dan berjangka panjang. Menurutnya itu hanya solusi jangka pendek saja, yang malah menambah kepadatan lalu lintas.

“Apalagi di Bundaran HI ada Patung Selamat Datang yang seharusnya menjadi titik pusat yang terlihat dominan dan setahu saya menjadi cagar budaya yang tidak seharusnya "ditenggelamkan" dengan keberadaan jalan layang,” jelas Aditya kepada Tirto, Selasa (16/7/2024).

Menurut Aditya, kemacetan di Jakarta bisa diselesaikan dengan mengintensifkan dan meningkatkan kualitas angkutan umum terutama di kawasan pinggiran dan kota penyangga Jakarta. Diperlukan upaya pembatasan penggunaan kendaraan pribadi dengan berbagai instrumen dan menciptakan budaya berjalan kaki, bersepeda, dan menggunakan angkutan umum.

Khusus bundaran HI, bila pun diperlukan rekayasa infrastruktur untuk mengurai kepadatan, terowongan lintas bawah atau under pass menurutnya lebih efektif untuk dibangun ketimbang jalan layang. Alasannya karena akan jauh lebih estetik untuk kawasan tersebut.

“Mengingat keberadaan Patung Selamat Datang dan kawasan air mancur Bundaran HI serta area sekitar yang sudah menjadi ruang terbuka publik,” jelasnya.

Jakarta Bercerita

Kendaraan terjebak kemacetan pada pukul 17:22 WIB di Jalan Gatot Subroto, Jakarta. ANTARAFOTO/Muhammad Adimaja

Pembangunan Flyover Usulan Brutal

Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi (Instran), Deddy Herlambang, menilai pembangunan jalan layang di area perkotaan padat penduduk sejatinya tidak bisa dilakukan. Sebab, pembangunan tersebut akan merusak keindahan.

“Itu usulan brutal. Karena fasad kota akan buruk jadi beton belantara flyover,” kata Deddy kepada Tirto, Selasa (16/7/2024).

Logikanya, kata Deddy, jika mau membangun jalan layang, pembangunan MRT (Mass Rapid Transit) sudah dilakukan sejak dulu dengan rel layang. Tapi kenyataannya tidak dilakukan berdasarkan pertimbangan lain dan memilih menggunakan konstruksi bawah tanah (underground).

Jalur bawah tanah MRT Jakarta membentang ±6 km, yang terdiri dari terowongan MRT bawah tanah dan enam stasiun MRT bawah tanah, yang terdiri dari Stasiun Senayan, Istora, Bendungan Hilir, Setiabudi, Dukuh Atas, Bundaran Hotel Indonesia.

“Kalau mau begitu MRT sudah boleh dibangun sejak dulu dengan rel layang tidak perlu seperti sekarang,” terangnya.

Daripada mengusulkan pembangunan jalan layang, lebih baik kata Deddy, fokus ke depan pemerintah daerah adalah mengoptimalkan angkutan umum massal yang sudah ada saat ini. Baik Bus Raya Terpadu (BRT), MRT, maupun Lintas Raya Terpadu (LRT).

Deddy menilai keberadaan jalan layang justru memanjakan kendaraan pribadi dan juga menyenangkan pengusaha otomotif dengan bertambahnya jumlah kendaraan.

“Jalan layang malah menyukseskan bisnis otomotif sementara bisnis angkutan umum hancur,” katanya.

Sejalan dengan Deddy, Pengamat Tata Kota, Nirwono Joga, menambahkan pembuatan jembatan layang ala Jusuf Hamka tak akan mengatasi kemacetan. Sebab, adanya jembatan layang dinilai akan membuat pengguna kendaraan bermotor semakin nyaman melintasi Jakarta.

Pada akhirnya titik kemacetan masih akan timbul di sisi ujung jembatan layang.

"Pembangunan jalan layang yang lebih banyak di tengah Kota Jakarta justru akan memanjakan pengguna kendaraan pribadi, dan tetap akan macet juga di titik-titik naik dan turun jalan layang tersebut," tuturnya melalui pesan singkat, Senin (15/7/2024).

Dia turut menilai adanya jembatan layang akan memengaruhi bentuk visual DKI Jakarta. Masyarakat disebut akan merasa pengap dengan keberadaan flyover.

"Selain itu, pembangunan jalan layang juga akan merusak lanskap visual kota, kota terasa sumpek," sebut Nirwono.

RENCANA PEMBERLAKUAN E-TILANG DI JLNT CASABLANCA

Pengendara sepeda motor berkendara melawan arus karena menghindari razia polisi di Jalan Layang Non Tol (JLNT) Kampung Melayu-Tanah Abang di Jakarta, Rabu (11/3/2020). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/wsj.

Di satu sisi, ide pembuatan jembatan layang disebut tak sejalan dengan tujuan Jakarta menjadi kota global. Nirwono menyatakan, untuk menjadi kota global, pembangunan transportasi umum yang terintegrasi dengan wilayah sekitar harus diutamakan.

Kata Nirwono, transportasi umum tersebut harus menyambungkan antara kawasan permukiman warga dengan kawasan pusat-pusat kegiatan.

"Selain itu, didukung dengan pembangunan infrastruktur pejalan kaki, trotoar, zebra cross, pelican crossing, jembatan penyeberangan atau penghubung," ucapnya.

"Sehingga warga nyaman berjalan kaki ke berbagai tempat tujuan setelah turun dari transportasi publik atau massal," imbuh dia.

Nirwono melanjutkan, selain pembangunan transportasi umum terintegrasi, peraturan terkait penggunaan kendaraan bermotor juga harus diketatkan. Misalnya, perluasan penerapan ganjil genap, jalan berbayar elektronik, parkir elektronik progresif, hingga penyediaan gedung parkir komunal.

"Tujuannya agar warga beralih ke transportasi massal dan meninggalkan atau mengurangi penggunaan kendaraan pribadi," katanya.

Baca juga artikel terkait KEMACETAN JAKARTA atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - News
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Bayu Septianto