Menuju konten utama

IDAI: Penyakit TBC Berkaitan dengan Lingkungan Sosial Ekonomi

Lingkungan kumuh dan kebersihan yang kurang terawat disebut dapat menjadi faktor penyebaran TBC.

IDAI: Penyakit TBC Berkaitan dengan Lingkungan Sosial Ekonomi
Perawat mengecek infus seorang pasien Tuberkulosis(TBC) yang sedang dirawat di RSUD Doris Sylvanus, Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Jumat (13/3/2020). ANTARA FOTO/Makna Zaezar/pd

tirto.id - Ketua UKK Respirologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Rina Triasih menyatakan bahwa kasus penyakit Tuberkulosis (TBC) berkaitan dengan kondisi kemiskinan di suatu wilayah.

Ia menilai salah satu yang perlu dilakukan untuk mencegah penularan dan penyebaran penyakit TBC adalah memperhatikan faktor lingkungan.

“Faktor lingkungan kan memang sudah banyak ada pada publikasi, kemiskinan itu berhubungan dengan kejadian TBC. Jadi kalau kita memperbaiki lingkungan dan sosial ekonomi, maka dalam tingkat lebih besar angka TBC di Indonesia akan berkurang,” kata Rina dalam media briefing IDAI yang diikuti secara daring, Senin (20/3/2023).

Secara umum Rina menilai bahwa penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri mycobacterium tuberculosis ini, rentan menyerang orang yang memiliki daya tahan tubuh lemah. Termasuk para pengidap HIV-AIDS, penderita penyakit kronis dan anak dengan gizi buruk.

Daerah dengan lingkungan kumuh dan kebersihan yang kurang terawat disebut dapat menjadi faktor penyebaran TBC, terutama ketika masyarakat cenderung abai pada gejala tuberkulosis yang dialami.

Dengan begitu, lingkungan yang menerapkan pola hidup sehat dan bersih juga dapat meminimalisir penyakit TBC menyebar. “Jadi TBC bukan hanya tanggung jawab orang kesehatan, tapi harus melibatkan semua pihak untuk pencegahan ini,” ujar Rina.

TBC dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu tipe tuberkulosis paru dan tuberkulosis ekstra paru. Tuberkulosis ekstra paru terjadi akibat bakteri yang berada di paru-paru menyebar melalui aliran darah dan menyerang organ lain seperti selaput otak, tulang hingga usus.

“Gejala TBC ekstra paru, itu tergantung bagian tubuh mana yang diserang. Kalau otak biasanya kejang-kejang. Yang sulit itu menyerang usus karena kadang dirasakan seperti sakit perut biasa,” terang Rina.

Menurut Rina, perlu ada pemahaman yang luas pada masyarakat bahwa penyakit TBC dapat dicegah dan bisa disembuhkan. Hal ini perlu terus dilakukan untuk menghindari stigmatisasi pasien TBC dan diskriminasi terhadap mereka.

Sementara itu, Ketua Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Adib Khumaidi menyatakan bahwa masyarakat sebagai faktor lingkungan, memang memiliki peran penting dalam pencegahan dan penanganan penyakit TBC.

“TBC ada faktor lain yakni hygiene sanitasi lingkungan, sehingga saat kita bicara suatu problematika TBC maka kondisi lingkungan jadi sangat berperan,” kata Adib kepada reporter Tirto, ditemui dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (20/3).

Maka, Adib menilai bahwa masyarakat memiliki peran untuk mensukseskan program-program pencegahan TBC yang dilakukan oleh pemerintah dan organisasi profesi kedokteran. Ia menilai bahwa usaha pencegahan penyakit TBC juga perlu melibatkan intervensi di level masyarakat.

“Maka dalam suatu usaha surveilans epidemiologi, bahwa dalam satu wilayah itu ada kasus TBC meningkat, maka yang harus diintervensi bukan hanya orang sakitnya saja. Tapi lingkungan dan masyarakat juga harus diintervensi,” tutup Adib.

Baca juga artikel terkait TBC atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Restu Diantina Putri