tirto.id - Penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1/2016 tentang Perlindungan Anak adalah langkah yang sama sekali tidak masuk akal dan emosional. Aturan hukum tersebut cenderung tidak berpegang kepada perumusan hukum yang rasional dan tidak sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.
Hal ini disampaikan oleh Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Supriyadi Widodo Eddyono, di Jakarta, Senin, (30/05/2016).
"Dalam Perppu tersebut, pemerintah memperberat hukuman untuk pelaku kekerasan seksual dengan penambahan sepertiga dari ancaman pidana jika dilakukan berulang dan dilakukan oleh mereka yang seharusnya melindungi anak. Namun di sana tidak dijelaskan apakah pemberatan bisa dilakukan dua kali atau hanya satu kali," papar Supriyadi dalam keterangan tertulis yang diterima Antara.
Di sisi lain, imbuhnya, aturan KUHP Pasal 12 ayat (4) menyatakan bahwa "pidana penjara selama waktu tertentu sekali-kali tidak boleh melebihi dua puluh tahun". Ia mengungkapkan, bunyi pasal tersebut berarti pemberatan hukuman penjara sepertiga dari ancaman pidana tersebut tidak dapat lagi diberikan.
"Pemberatan itu bisa dipahami, tetapi yang menjadi soal, bagaimana teknis penjatuhan pidananya?" tandas Supriyadi.
Di sisi lain, ICJR turut mengkritisi Pasal 81 ayat (5) Perppu No. 1 Tahun 2016, di mana ancaman hukuman 10 tahun menanti mereka yang melakukan pencabulan dengan "korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia".
ICJR berpendapat, isi pasal tersebut tidak masuk akal karena dapat mempengaruhi hukuman pidana di pengadilan.
"Tidak akan ada lagi pertimbangan tentang berat ringannya perbuatan pelaku dan imbasnya pidana dijatuhkan oleh pengadilan tidak lagi dilakukan secara proporsional. Sebagai perbandingan, pidana 10 tahun setara dengan Pasal 354 ayat (2) KUHP tentang Penganiayaan Berat yang mengakibatkan Kematian," tutur Supriyadi.
Berdasarkan kelemahan-kelemahan tersebut, ICJR mengimbau pemerintah untuk memperkuat analisis dan kajian tentang pengukuran lamanya waktu penjara ancaman pidana, sehingga tidak menimbulkan kesan pemerintah tidak mempercayai peradilan di Indonesia.
Sebelumnya diberitakan, Presiden Joko Widodo pada 25 Mei 2016 telah menetapkan Peraturan pemerintah Pengganti Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Salah satu perubahan paling mencolok dalam aturan itu adalah pelaksanaan kebiri kimia disertai dengan rehabilitasi bagi terdakwa kekerasan seksual pada anak yang tercantum dalam Pasal 81 A ayat (3).
Pasal 81 A ini sendiri merupakan pasal baru yang sebelumnya tidak ada dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. (ANT)
Penulis: Putu Agung Nara Indra
Editor: Putu Agung Nara Indra