Menuju konten utama

Ibuprofen Tak Disarankan untuk Obati Gejala COVID-19

Penggunaan ibuprofen untuk mengobati gejala COVID-19 tidak disarankan karena dapat  memperburuk efek virus. 

Ibuprofen Tak Disarankan untuk Obati Gejala COVID-19
Ilustrasi Virus Corona. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Menteri Kesehatan Perancis Oliver Veran memperingatkan bahwa obat anti-inflamasi seperti ibuprofen tidak dapat digunakan untuk mengatasi gejala COVID-19, karena justru dapat memperburuk efek virus.

Hal tersebut disampaikan Oliver Veran dalam akun Twitternya. Ia menuliskan, penggunaan ibuprofen dapat memperburuk infeksi. Apabila penderita telah terlanjur menggunakan obat antiinflamasi atau ragu, mintalah saran dari dokter.

Dilansir dari NHK World Japan, juru bicara Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Christian Lindmeier berbicara kepada wartawan pada Selasa (17/3/2020) bahwa tidak ada bukti terbaru yang mengaitkan obat ini dengan peningkatan kematian. Namun dia menambahkan, para ahli saat ini sedang melakukan penyelidikan untuk memberikan panduan lebih lanjut.

Lindmeier menyarankan bahwa orang harus mengobati sendiri dengan asetaminofen bukan ibuprofen. Asetaminofen adalah obat analgesik dan antipiretik.

Ibuprofen telah dikenal oleh masyarakat luas sebagai obat yang digunakan untuk meredakan nyeri dan peradangan.

Selain itu, ibuprofen juga dapat digunakan untuk obat penurun panas yang juga merupakan salah satu gejala klinis COVID-19 yang sedang mewabah di seluruh dunia.

Peringatan Veran tersebut merujuk pada penelitian yang diterbitkan The Lancet yang menunjukkan bahwa obat-obatan tertentu meningkatkan jumlah yang disebut reseptor ACE2 pada permukaan sel.

Reseptor ini digunakan oleh COVID-19 untuk menginfeksi sel dan dalam teori pasien yang menggunakan obat mungkin lebih rentan terhadap virus termasuk obat ibuprofen tersebut.

Lendmeier mengatakan bahwa penggunaan ibuprofen harus diresepkan oleh para profesional kesehatan.

Hingga saat ini, kasus virus Corona atau dikenal dengan COVID-19 setidaknya 198.178 jiwa dan membunuh 7.954 jiwa menurut peta global John Hopkins.

Gejala ringan muncul akibat infeksi virus ini, namun dapat juga menyebabkan pneumonia dan beberapa kasus penyakit parah yang menyebabkan kegagalan organ.

Akan tetapi, dilansir dari The New York Times, Dr. Michele Barry mengatakan tidak ada bukti bahwa pasien yang terinfeksi COVID-19 harus menghindari penggunaan ibuprofen sementara.

"Sampai ada bukti, tidak ada alasan sama sekali untuk mengeluarkan pedoman kesehatan masyarakat,” kata Dr. Garret FitzGerald, ketua departemen farmakologi di Perelman School of Medicine di University of Pennsylvania dikutip dari The New York Times.

Tetapi untuk penyakit menular, kekhawatiran yang lebih besar adalah bahwa ketika ibuprofen atau paracetamol tersebut mengurangi demam.

Penderita mungkin lebih nyaman tetapi suhu yang lebih rendah dapat merusak hubungan pertahanan utama tubuh terhadap infeksi.

New York Times menuliskan bahwa sebuah studi telah menemukan jika orang yang terinfeksi berbagai virus dan mikroorganisme lainnya menurunkan demamnya, gejala mereka dapat bertahan lebih lama.

Lebih lanjut, para penderita dapat terus menyimpan virus untuk waktu yang lebih lama yang berarti mereka mungkin menular untuk periode yang lebih lama.

Pasalnya, sistem kekebalan bekerja lebih baik ketika suhu tubuh lebih tinggi, memungkinkannya untuk lebih efisien membunuh virus dan bakteri.