Menuju konten utama

Hukum Membatalkan Puasa Ramadhan Pasien Covid-19 & Tenaga Medis

Hukum membatalkan puasa Ramadan bagi pasien Covid-19 dan tenaga medis diperbolehkan dengan syarat-syarat khusus. Berikut ini penjelasannya.

Hukum Membatalkan Puasa Ramadhan Pasien Covid-19 & Tenaga Medis
Petugas menyuntikkan vaksin COVID-19 dosis ketiga (booster) pada Vaksinasi Booster Presisi Ditreskrimum Polda Metro Jaya di halaman Masjid Istiqlal, Jakarta, Selasa (5/4/2022). ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/hp.

tirto.id - Hukum membatalkan puasa Ramadan bagi pasien Covid-19 dan tenaga medis diperbolehkan dalam syariat Islam. Meskipun demikian, tenaga medis sebaiknya tetap berniat puasa pada malam hari, ikut bersahur, dan menjalankan puasa sejak terbitnya fajar shadiq (waktu subuh). Kemudian, apabila di pertengahan, pekerjaan pasien membludak dan ia harus tetap menjaga konsentrasinya, ia diperbolehkan untuk membatalkan puasa tersebut.

Secara definitif, puasa adalah tindakan menahan diri dari segala perilaku yang membatalkanya seperti makan, minum, berhubungan suami-istri dari waktu subuh hingga terbenamnya matahari (waktu magrib). Puasa hukumnya wajib bagi orang Islam telah mukalaf.

Makna dari mukalaf adalah kondisi saat seorang muslim atau muslimah dikenakan hukum wajib menjalankan rukun Islam karena telah memenuhi syarat-syarat tertentu, seperti balig, berakal sehat, dan tidak memiliki uzur syar’i.

Uzur syari’i adalah keadaan di luar kemampuan manusia yang menyebabkan seorang mukalaf diperbolehkan untuk tidak berpuasa, seperti sakit parah, safar (perjalanan), halangan haid, dan lain sebagainya.

Syekh Nawawi al-Bantani dalam kitabKasyifatu Saja fi Syarh Safinatin Najah (2011) menyebutkan beberapa orang yang diperbolehkan tidak berpuasa, meliputi musafir, orang sakit, orang jompo, hingga perempuan hamil.

Pasien Covid-19 termasuk ke dalam kategori orang sakit. Dengan demikian, ia diperbolehkan untuk tidak menjalankan puasa Ramadan.

Ulama mazhab Syafi'i, Imam Nawawi dalam kitabAl-Majmu Syarhul Muhadzdzab menjelaskan “jika seseorang tidak mampu berpuasa karena penyakit yang dikhawatirkan akan bertambah parah dan masih diharapkan sembuh, maka ia tidak wajib berpuasa.”

Hal itu dikuatkan oleh firman Allah SWT dalam surah Al-Baqarah ayat 184 yang memperbolehkan orang sakit untuk tidak berpuasa sebagai berikut:

“(Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka barangsiapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain.

Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin. Tetapi barangsiapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu lebih baik baginya, dan puasamu itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui,” (QS. Al Baqarah [2]:184)

Akan tetapi, pasien COVID-19 dalam perkara ini harus benar-benar dalam keadaan sakit yang membuatnya benar-benar tidak dapat menjalankan puasa. Pasalnya, banyak dari pasien COVID-19 tidak memiliki gejala dan masih kuat untuk menjalankan puasa.

Untuk mengetahui hal itu, sosok bersangkutan sebaiknya menanyakan kepada dokter atau ahli kesehatan. Apabila dokter menyatakan seorang pasien COVID-19 tidak boleh menjalankan puasa, ia diperbolehkan untuk meninggalkan perkara wajib ini tanpa ada keraguan sedikit pun.

Sementara itu, bagi tenaga medis COVID-19, puasa diperbolehkan tidak dilaksanakan dengan syarat-syarat tertentu.

Di antara syarat-syaratnya adalah kondisi pasien membludak sehingga menguras tenaga sampai ia sangat kelelahan. Padahal, untuk menangani pasien Covid-19, ia harus dalam kondisi prima dan berkonsentrasi penuh.

Dalam kondisi tersebut, ia diperbolehkan untuk berbuka daripada menimbulkan hal-hal yang tidak baik bagi dirinya dan pasien yang dirawat.

Tenaga medis, dalam keadaan ini, sebenarnya dikategorikan sebagai pekerja berat jika jumlah pasiennya tinggi.

Aktivitas pekerjaan berat dapat dikatakan sebagai uzur syar’i yang bersyarat. Apabila pekerja berat masih kuat, ia wajib menjalankan puasa Ramadan.

Namun, jika pekerja berat mengalami kondisi kepayahan dan berisiko menemui keadaan berbahaya, ia boleh segera berbuka atau mengakhiri puasanya.

Syekh Nawawi al Bantani dalam kitabNihayatuz Zain fi Irsyadin Mubtadi’in memasukkan perihal pekerjaan berat ke dalam golongan orang sakit yang boleh tidak berpuasa pada Ramadan. Meskipun demikian, seorang tenaga medis tetap harus berniat puasa di malam harinya.

Pada saat waktu sahur, ia ikut mengonsumsi makanan dan mulai berpuasa setelah terbitnya fajar shadiq (waktu subuh). Kemudian, apabila ketika tenaga medis bekerja, tiba-tiba pasien membludak tinggi dan membuatnya kepayahan, sebaiknya ia menyegerakan berbuka untuk menghindari mudarat.

Akan tetapi, tenaga medis yang membatalkan puasanya di tengah hari karena uzur syar'i itu wajib melakukan qada puasa di luar Ramadan.

Baca juga artikel terkait RAMADHAN 2022 atau tulisan lainnya dari Syamsul Dwi Maarif

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Syamsul Dwi Maarif
Penulis: Syamsul Dwi Maarif
Editor: Abdul Hadi