tirto.id - Hijrah Nabi Muhammad saw. dari Makkah ke Yatsrib adalah titik balik paling penting dalam sejarah Islam. Berdasarkan perhitungan kalender Masehi, peristiwa ini terjadi pada 16 Juli 622, tepat hari 1399 tahun lalu. Kala itu, Nabi bersama Abu Bakar ash-Shiddiq r.a., sahabatnya yang terdekat, menempuh perjalanan panjang ratusan kilometer, termasuk bertahan 3 hari di Gua Tsur, menuju tempat yang kelak berubah nama jadi Madinah.
Pada tahun-tahun menjelang hijrah, Muhammad kehilangan istri tercinta, Khadijah, disusul dengan meninggalnya sang paman sekaligus pelindungnya, Abu Thalib. Orang-orang Makkah semakin terbuka untuk menyerang dan memersekusi Nabi.
Sementara itu, di Yatsrib, suku yang dahulu dominan, Bani Qaylah, terpecah menjadi 2 faksi yang bermusuhan, yaitu Aus dan Khazraj. Mereka baru saja merasakan Perang Bu'ath, perang sipil dan konflik terbesar keempat, yang menelan lebih banyak korban.
Pada musim panas 620 Masehi, 6 orang dari suku Khazraj datang ke Makkah untuk berziarah. Mereka sementara tinggal di 'Aqabah. Di sanalah orang-orang ini bertemu dengan Muhammad. Nabi tidak mengenal mereka, tapi orang-orang ini sudah mendengar soal kenabiannya. Ketika Rasulullah menyampaikan ajaran, mereka langsung menerima.
Martin Lings dalam Muhammad: Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik (2015: 193) menuliskan, orang-orang dari Suku Khazraj ini berkata, "Kami telah meninggalkan kaum kami karena mereka tercabik oleh kejahatan dan permusuhan ... Jika Allah mempersatukan mereka karena engkau, maka tidak ada yang lebih mulia daripada dirimu."
Pencerahan yang dialami 6 orang itu menjadi awal perubahan. Musim panas berikutnya, 621 Masehi, ada 12 orang dari Yastrib yang kembali datang ke 'Aqabah, termasuk 2 dari Suku Aus. Mereka kemudian berbaiat kepada Nabi, yang dikenal sebagai Baiat 'Aqabah Pertama. Sebagai jawaban, Nabi mengutus Mus'ab bin Umair ke Yatsrib untuk mengajari orang-orang ini tata cara salat dan bacaan Al-Qur'an.
Ajaran Islam yang sederhana memikat makin banyak orang. Pada 622 Masehi, di 'Aqabah ada delegasi 73 laki-laki dan 2 perempuan. Di bawah terang bulan, terjadilah Baiat Aqabah Kedua. Perpindahan ke Yatsrib tinggal menunggu waktu.
Diam-Diam Tinggalkan Makkah
Di musim panas 622 Masehi itu, muslimin Makkah diam-diam mulai hijrah ke Yatsrib, secara sendiri-sendiri atau dengan kelompok kecil. Lambat laun, yang tersisa tinggal rumah tangga Nabi dan Abu Bakar.
Orang-orang Makkah berencana untuk mengakhiri hidup Muhammad secepatnya. Mereka mulai khawatir dengan kekuatan baru Islam yang terbentuk di Yatsrib. Rencana disusun: setiap kabilah mengajukan seorang pemuda tangkas bersenjata. Tujuannya adalah membunuh Nabi bersama-sama.
Dengan cara itu, Bani Abdul Manaf tidak dapat memerangi semua kabilah sebagai balas dendam. Selain itu, tebusan darah yang tertumpah dalam penyergapan malam itu akan ditanggung bersama.
Sore hari sebelum penyergapan, Nabi sudah mendapatkan petunjuk dari Jibril: tiba saatnya untuk hijrah. Ia langsung menemui Abu Bakar dan menyusun rencana keberangkatan. Sementara itu, Ali bin Abi Thalib diminta Nabi untuk tinggal di Makkah menjaga barang-barang yang dititipkan kepadanya di rumah.
Para pemuda yang bertugas membunuh Nabi sudah berjaga-jaga hingga malam. Ketika mendengar suara wanita di dalam rumah Nabi—Saudah, Ummu Kultsum, Fatimah, dan Ummu Ayman—mereka berpikir ulang. Orang-orang ini tidak mau mempermalukan diri dengan melanggar kesucian rumah seorang Arab.
Selain itu, melihat seseorang yang mengenakan selimut hijau Nabi, selimut yang dibawa dari Hadramaut, para pemuda itu memilih menunggu. Situasi berubah jadi kacau ketika fajar tiba, dan mereka menyadari, pemakai selimut itu bukan Muhammad, tetapi Ali. Muhammad dan Abu Bakar sudah keluar dari Makkah pada malam penyergapan itu, lolos begitu saja dari pandangan mata mereka.
Nabi dan Abu Bakar memang memilih rute dan waktu yang tidak seperti perjalanan pada umumnya. Mereka tidak langsung bergegas ke Yatsrib, tetapi ke arah selatan menuju gua di Gunung Tsur. Amir bin Fuhayra, penggembala domba-domba Abu Bakar, mengikuti keduanya dari belakang bersama gembalaannya untuk menyamarkan jejak.
Nabi dan Abu Bakar bertahan 3 hari di gua. Sepanjang waktu itu, mereka mendapatkan bantuan putra-putri Abu Bakar, Abdullah, dan Asma'. Mereka memperoleh informasi pula bahwa orang-orang Makkah menawarkan hadiah 100 ekor unta bagi siapa saja yang bisa menemukan Muhammad dan membawanya kembali. Mata-mata Badui dan para pemburu hadiah terus berupaya mencari, tapi sang Nabi tidak ditemukan.
Jalan Memutar
Setidaknya terdapat 3 mukjizat umum yang dikisahkan selama 3 hari itu, yaitu adanya sarang laba-laba di depan gua yang mengecoh para pemburu hadiah, hinggapnya burung dara, dan tumbuhnya pohon yang menyamarkan keberadaan Rasulullah bersama sang sahabat.
Namun, hal yang paling menyentuh adalah ketika Abu Bakar gelisah, lalu sang Nabi berkata, "Abu Bakar, kalau kau menduga bahwa kita hanya berdua, ada yang ketiga: Tuhan."
Setelah 3 hari berlalu, Nabi dan Abu Bakar keluar dari gua. Amir bin Fuhayra membawa seorang pemandu jalan beserta 3 ekor unta Abu Bakar.
Barnaby Rogerson dalam Muhammad Biografi Singkat: Kisah Penderitaan dan Perjuangan yang Indah (2013:152) menuliskan, untuk mengelabui rombongan pencari yang mengawasi semua rute yang diketahui dari Makkah ke Madinah, Nabi dan Abu Bakar mengendarai unta dengan arah berlawanan.
Mereka terlebih dahulu bersegera ke arah barat daya sampai tiba di pantai Laut Merah. Yatsrib memang ada di utara Makkah, tapi ini adalah rute yang paling mungkin demi keselamatan Nabi dan Abu Bakar. Barulah setelahnya, mereka bergerak ke utara lagi, dengan berjalan malam hari sepanjang pantai, sebelum berbelok ke arah Yatsrib.
Kedatangan Nabi Muhammad di Yatsrib menandai babak baru dalam ekspansi agama Islam. Sang Rasul kemudian membentuk kekuatan baru di tanah Arab yang tidak dipersatukan oleh ikatan darah atau ikatan apa pun, kecuali persaudaraan atas dasar keimanan kepada Tuhan. Peristiwa hijrah juga dijadikan titi mangsa untuk kalender Hijriah, sistem penanggalan Islam berdasarkan Bulan.
==========
Versi awal artikel ini ditayangkan pada 11 November 2020. Redaksi melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.
Editor: Ivan Aulia Ahsan & Agung DH