tirto.id - Hakim membacakan vonis atau pembacaan putusan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) terhadap terdakwa Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi Senin (13/2/2023) pagi.
Dalam sidang ini juga hadir ibunda Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat, Rosti Simanjuntak yang membawa foto anaknya ke ruang Pada foto tersebut terlihat penampilan Brigadir J yang memakai seragam Polri.
Rosti juga didampingi tim kuasa hukum Martin Simanjuntak dari awal masuk PN Jaksel hingga masuk ke dalam ruang sidang.
Sebelumnya, pada kesempatan sama, ia meminta terdakwa kasus pembunuhan berencana, Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi dihukum maksimal.
"Kami mengharapkan hukuman penjara di atas 15 sampai 20 tahun. Itu unsur daripada pembunuhan berencana pasal 340 KUHP," kata Rosti.
Ibu Yosua itu berharap kedua terdakwa diberikan maksimal hukuman oleh hakim untuk memberikan efek jera. Dia merasa kecewa terhadap tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) kepada PC yang hanya selama 8 tahun penjara.
Dia juga berharap Richard Eliezer atau Bharada E mau bertobat usai memohon maaf atas kesalahannya atas pembunuhan berencana Brigadir J.
"Dia memang sudah datang memohon maaf dan mau mengakui kesalahannya serta mau bertobat, semoga Bharada E ditakdir Tuhan menjadi umatnya," harapnya.
Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi merupakan dua dari lima terdakwa dalam kasus pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat.
Ferdy Sambo dituntut pidana penjara seumur hidup, sedangkan Putri Candrawathi dituntut pidana penjara delapan tahun oleh JPU.
Adapun tiga terdakwa lainnya adalah Kuat Ma’ruf yang dituntut pidana penjara selama delapan tahun, Ricky Rizal juga delapan tahun dan Richard Eliezer selama 12 tahun.
Putusan Ferdy Sambo Terkini: Tak Ada Pelecehan Seksual
Hakim Ketua Sidang Ferdy SamboWahyu Iman Santoso, menepis motif pelecehan seksual terhadap terdakwa kasus pembunuhan Brigadir J terhadap Putri Candrawathi.
"Majelis hakim tidak memperoleh keyakinan yang cukup bahwa korban Nofriansyah Yosua Hutabarat telah melakukan pelecehan seksual atau perkosaan atau bahkan perbuatan yang lebih dari itu kepada Putri Candrawathi," ucap Wahyu dalam sidang pembacaan putusan di PN Jaksel.
Wahyu menjelaskan, terkait dengan konteks relasi antar-gender, Putri Candrawathi yang saat itu merupakan istri dari Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo memiliki posisi yang lebih unggul dan juga dominan apabila dibandingkan dengan Yosua.
"Sehingga, karena adanya ketergantungan relasi kuasa dimaksud, sangat kecil kemungkinannya korban melakukan kekerasan seksual atau pelecehan seksual terhadap Putri Candrawathi," ujar Wahyu.
Lebih lanjut, Wahyu juga mengatakan bahwa tidak ada fakta yang mendukung Putri Candrawathi mengalami gangguan berupa stres pasca-trauma akibat pelecehan seksual atau pun perkosaan.
"Sehingga motif yang lebih tepat menurut majelis hakim adanya perbuatan atau sikap korban Nofriansyah Yosua Hutabarat, di mana perbuatan atau sikap korban Nofriansyah Yosua Hutabarat tersebut yang menimbulkan perasaan sakit hati yang begitu mendalam terhadap Putri Candrawathi," tuturnya.
Dengan demikian, majelis hakim menyatakan bahwa adanya alasan pelecehan seksual terhadap Putri Candrawathi patut dikesampingkan.
Sebelumnya, pihak Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi mengatakan bahwa telah terjadi pelecehan seksual terhadap Putri Candrawathi yang dilakukan oleh Yosua. Cerita Putri mengenai pelecehan seksual yang ia alami menyulut emosi Ferdy Sambo.
Atas dasar peristiwa tersebutlah, terjadi pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat di Rumah Dinas Ferdy Sambo di Duren Tiga, Jakarta Selatan.
"Sehingga, terhadap adanya alasan demikian patut dikesampingkan," ucap Wahyu.
Hasil Putusan Ferdy Sambo: Sambo Tembak Brigadir J
Selain tak ada bukti pelecehan seksual, hakim juga menyimpulkan Ferdy Sambo turut menembak Brigadir J.
"Majelis Hakim memperoleh keyakinan yang cukup bahwa terdakwa telah melakukan penembakan terhadap Nofriansyah Yosua Hutabarat dengan menggunakan senjata api jenis Glock, yang pada waktu itu dilakukan terdakwa dengan menggunakan sarung tangan," ujar Wahyu Iman Santoso dalam sidang pembacaan putusan terhadap Ferdy Sambo, di PN Jakarta Selatan, Senin.
Majelis hakim memperoleh keyakinan tersebut berdasarkan keterangan Ferdy Sambo yang menjelaskan momen sebelum Sambo menciptakan skenario tembak-menembak, serta kesaksian mantan ajudan Sambo, Adzan Romer, yang menyatakan bahwa ia melihat Sambo menjatuhkan senjata jenis HS yang kemudian dimasukkannya ke dalam saku kanan celana pakaian dinas lapangan (PDL) Sambo dan mengenakan sarung tangan hitam.
Keyakinan hakim juga diperkuat dengan kesaksian Mantan Kasubnit 1 Reskrimum Polres Metro Jakarta Selatan Rifaizal Samual yang menyebut Sambo membawa senjata api di dalam holster yang ada di pinggang sebelah kanan Sambo pada saat olah tempat kejadian perkara (TKP), serta kesaksian Richard Eliezer atau Bharada E.
Selain keterangan Sambo dan sejumlah saksi, kesimpulan Majelis Hakim tersebut juga didasari oleh keterangan sejumlah ahli yang dihadirkan di muka persidangan silam.
Salah satunya, keterangan Ahli Pemeriksa Forensik Muda Fira Samia yang menyatakan bahwa penggunaan sarung tangan dapat mencegah tertinggalnya DNA dalam barang. Padahal, menurut Fira Samia, pihaknya hanya dapat mengidentifikasi sidik jari Brigadir J pada senjata HS tersebut.
Selain itu, Majelis Hakim juga mempertimbangkan keterangan Ahli Forensik dan Medikolegal Farah Primadani yang menyatakan ada tujuh luka tembak masuk dan enam luka tembak keluar di tubuh jenazah Brigadir J.
Dengan demikian, menurut Hakim, ada tujuh tembakan yang masuk pada tubuh Brigadir J. Sementara itu, senjata milik Bharada E yang hanya berkapasitas maksimal 17 peluru serta tak pernah diisi maksimal, masih menyisakan sebanyak 12 peluru.
"Maka dapat disimpulkan, adanya dua atau tiga perkenaan tembakan yang bukan merupakan perbuatan Saksi Richard," ujar Wahyu Iman Santoso.
Putusan Ferdy Sambo: Ada Unsur Perencanaan Pembunuhan Brigadir J
Hakim Ketua Sidang Ferdy Sambo menyatakan bahwa unsur perencanaan pembunuhan Brigadir J
"Unsur dengan rencana terlebih dahulu telah nyata terpenuhi," ucap Wahyu dalam sidang pembacaan putusan terhadap Ferdy Sambo di PN Jaksel.
Wahyu menjelaskan bahwa perencanaan tersebut didasari rasa sakit hati Ferdy Sambo setelah mendengar aduan dari istrinya, Putri Candrawathi, mengenai pelecehan seksual yang ia alami.
Sebagaimana yang diketahui, Putri Candrawathi yang saat itu berada di Magelang, Jawa Tengah, menghubungi Ferdy Sambo yang berada di Jakarta dan menceritakan bahwa Yosua telah berlaku kurang ajar terhadap Putri.
Atas dasar tersebut, perencanaan pembunuhan pun dimulai setelah Ferdy Sambo mengetahui Ricky Rizal mengamankan senjata api HS milik Yosua.
"Yang meskipun atas inisiatif sendiri, akan tetapi diperoleh fakta sampai di Jakarta, senjata api HS masih di dashboard. Harusnya, Ricky Rizal bisa mengembalikan senjata tersebut ke Yosua, tetapi tidak dilakukannya," ucap Wahyu.
Wahyu menilai, hal lainnya yang menunjukkan bahwa Ferdy Sambo telah merencanakan pembunuhan terhadap Brigadir J perintah Ferdy Sambo kepada Richard Eliezer atau Bharada E untuk menambahkan peluru dalam senjatanya, serta meminta Eliezer untuk mengambil senjata HS milik Yosua dan memberikannya kepada Ferdy Sambo.
"Hal ini diartikan bahwa terdakwa telah memikirkan segala sesuatunya yang sangat rapi dan sistematis," ucap Wahyu.
Berdasarkan berbagai pertimbangan, Wahyu mengungkapkan bahwa majelis hakim meragukan keterangan Ferdy Sambo yang menyatakan bahwa dirinya hanya menyuruh Richard untuk menjadi back-up dirinya dan mengatakan, "Hajar, Chad" ketika mereka telah berhadapan dengan Yosua.
"Menurut Majelis Hakim, hal itu merupakan keterangan atau bantahan kosong belaka," tuturnya.
Putusan Ferdy Sambo: Sambo Dijatuhi Hukuman Mati
Majelis Hakim PN Jakarta Selatan menjatuhkan hukuman mati terhadap eks Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo atas perkara pembunuhan berencana terhadap Brigadir Yosua.
Hukuman yang dijatuhkan kepada mantan jenderal polisi bintang dua itu lebih tinggi dibanding tuntutan jaksa penuntut umum, yakni hukuman penjara seumur hidup.
"Menjatuhkan pidana kepada terdakwa tersebut dengan pidana mati," kata Ketua Majelis Hakim Wahyu Iman Santoso, dalam sidang di PN Jakarta Selatan, Senin (13/2/2023).
Berdasarkan putusan Ketua Majelis Hakim, ada beberapa hal yang yang memberatkan vonis Sambo.
Alasan pertama adalah karena dirinya menimbulkan luka yang mendalam bagi keluarga korban, Nofriansyah Yosua Hutabarat.
Ia juga dinilai telah menimbulkan kegelisahan dan kegaduhan di masyarakat sekaligus mencederai institusi Polri mengingat posisinya sebagai Kadiv Propam saat melakukan pembunuhan.
"Perbuatan tersangka telah mencela institusi Polri di mata masyarakat Indonesia dan dunia internasional. Perbuatan terdakwa menyebabkan banyaknya anggota Polri lainnya yang turut terlibat, " kata Wahyu.
Sambo juga terbukti berbelit-belit dan tidak mengakui perbuatannya. Sebaliknya, tidak ada satupun hal yang meringankan Sambo selama persidangan berlangsung.
Editor: Addi M Idhom