tirto.id - Debat Pilpres 2019 putaran kedua yang hanya menampilkan calon presiden Joko Widodo dan Prabowo Subianto selesai malam tadi (17/2/2019). Mereka membahas isu pangan, energi, infrastruktur, dan lingkungan hidup.
Keduanya saling menyerang sembari bertahan, berjanji, dan memaparkan data-data. Yang disebut terakhir terutama dilakukan Jokowi selaku petahana.
Tapi tak semua yang dia ucapkan benar. Kesalahan-kesalahan krusial ini jadi catatan kritis Manajer Kampanye Keadilan Iklim Walhi, Yuyun Harmono.
Tak Ada Konflik Agraria
Salah satu kesalahan yang dimaksud adalah klaim Jokowi soal konflik agraria. Begini katanya:
"Pak Prabowo bisa lihat dalam empat setengah tahun ini hampir tidak terjadi konflik pembebasan lahan untuk infrastruktur kita. Karena apa? [Karena] tidak ada ganti rugi, yang ada ganti untung," kata Jokowi.
Walhi mencatat sepanjang tahun lalu ada 555 konflik agraria. Angka ini jelas sangat besar untuk disebut "hampir tidak terjadi".
"Data teman-teman Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) bisa jadi berbeda. Tapi intinya konflik agraria ada, tidak seperti yang diucapkan oleh Jokowi. Dan ini bisa dikonfirmasi di media mana pun," kata Yuyun.
Salah satu yang cukup ramai diberitakan adalah pembangunan New Yogyakarta International Airport (NYIA).
Konflik ini bahkan memicu kericuhan berkali-kali. November 2017, misalnya, PT Angkasa Pura I (AP I) beserta aparat kepolisian memaksa warga untuk meninggalkan rumah. Mereka mendobrak pintu rumah dengan tendangan, linggis, dan palu. Seketika, pintu dan jendela rumah hancur.
Sungai Citarum Sebagai Contoh
Berikutnya adalah klaim Jokowi mengenai pembersihan Sungai Citarum yang sukses dan bisa menjadi contoh perbaikan lingkungan. Yuyun pesimistis karena banyak hal yang belum terselesaikan, dan itu membuatnya tidak patut dijadikan contoh.
"Prioritas utamanya adalah penegakan hukum ke perusahaan-perusahaan yang mengotori [sungai] selama ini. Tidak hanya membersihkan, tapi memastikan bahwa perusahaan tak akan melakukan hal yang sama," kata Yuyun.
"Begitupun juga sampah. Sampah mulai diurus, baik sampah darat dan laut. Tapi yang paling penting adalah menuntut tanggung jawab produsen untuk mengurusi sampah yang mereka produksi. Produsen juga harus tanggung jawab," lanjutnya.
Dalam debat tadi malam Jokowi mengatakan dia akan mengurangi penggunaan sampah plastik. Sebagai informasi, berdasarkan studi McKinsey and Co. dan Ocean Conservancy, Indonesia adalah negara penghasil sampah plastik nomor dua di dunia. Angkanya hanya lebih kecil dari Cina.
Klaim Atasi Kebakaran Gambut
Berikutnya adalah klaim Jokowi kalau pemerintahannya berhasil mengatasi kebakaran lahan gambut. Kata Jokowi, salah satu faktor kenapa itu bisa diatasi adalah karena penegakan hukum yang tegas terhadap siapa pun."
Jika merujuk data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, memang betul ada penurunan drastis kebakaran sejak 2015 hingga 2017. Pada 2015 ada 891.275 hektare lahan gambut yang terbakar. Angka ini turun menjadi 97.787 hektare pada 2016 dan 13.555 hektare pada 2017.
Namun, pada 2018, angka kebakaran naik drastis. Daerah terdampak menjadi 125.340 hektare.
Tidak ada yang "telah diatasi" oleh Jokowi.
"Jadi masih ada kebakaran hutan dan lahan. Tapi saat mereka bicara begitu, di Riau sedang terjadi kebakaran lahan," kata Yuyun.
Prabowo Hanya Jargon
Prabowo, sang oposisi, juga tak memberikan angin segar. Kata Yuyun, dia tak memberi solusi alternatif, nir program konkret dan hanya pandai mengobral jargon. Ini bahkan telah mengemuka sejak segmen pertama.
"Menurutku sama saja. Prabowo enggak ada program dan aksi konkret, jargon dan janji doang. Kalau mau diukur, Jokowi lebih bisa meyakinkan publik. Kalau mau disurvei, sepertinya Jokowi akan lebih unggul," kata Yuyun.
Dan memang begitu kenyataannya. Bagi dia yang penting retorika, bukan angka dan data. Dari 2.789 kata yang keluar dari mulut Prabowo, ia hanya menyebut angka 20 kali. Jumlah ini amat timpang dibandingkan Jokowi yang menyebut angka 98 kali--meski seperti yang tadi telah disinggung: banyak kelirunya.
Pada akhirnya Yuyun menilai keduanya tak dapat menjawab ekspektasi publik terhadap solusi konkret terhadap masalah yang dihadapi masyarakat.
"Ekspektasi itu dijawab. Jika masyarakat kesulitan mencari dan mendapatkan air, udara, dan energi bersih, lalu apa langkahnya? Jadi ekspektasi publik belum terjawab. Mereka tahu persoalan, tapi jawaban atau solusi yang mereka tawarkan tidak menjawab ekspektasi itu. Hanya solusi jangka pendek tanpa kemudian secara jangka panjang menyelesaikan persoalan," pungkasnya.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino