tirto.id - Hari Ibu pertama kali dideklarasikan pada Kongres Perempuan Pertama di Indonesia. Kongres ini digelar di Yogyakarta pada 22 Desember 1928. Lokasinya menempati pendopo Dalem Jayadipuran milik Raden Tumenggung Joyodipoero.
Kongres ini dihadiri oleh wakil-wakil dari perkumpulannya Boedi Oetomo, PNI, Pemuda Indonesia, PSI, Walfadjri, Jong Java, Jong Madoera, Muhammadiyah dan Jong Islamieten Bond. Sekitar 600 perempuan dari berbagai latar pendidikan, organisasi, agama dan usia berbeda hadir dalam kongres Perempuan Indonesia Pertama ini.
Organisasi-organisasi perempuan yang terlibat dalam penyelenggaraan itu antara lain: Wanita Utomo, Putri Indonesia, Wanita Katolik, Aisyiyah, Wanita Mulyo, perempuan-perempuan Sarekat Islam, Darmo Laksmi, perempuan-perempuan Jong Java, Jong Islamten Bond, dan Wanita Taman Siswa, demikian yang dicatat Susan Blackburn dalam buku Kongres Perempuan Pertama: Tinjauan Ulang (2007).
Kongres ini berlangsung tak lama setelah pelaksanaan Kongres Pemuda II, pada 28 Oktober 1928, yang mendeklarasikan semboyan persatuan nasional, yakni Sumpah Pemuda. Tak heran, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Yohana Yembise menegaskan bahwa peringatan Hari Ibu di Indonesia bukanlah sekedar “Mother’s day” atau hari istimewa untuk menghargai peranan kaum perempuan dalam keluarga.
“Makna Hari Ibu (di Indonesia) ialah hari kebangkitan dan persatuan serta kesatuan perjuangan kaum perempuan yang tidak terpisahkan dari kebangkitan perjuangan bangsa,” kata Yohana di Jakarta, Senin (18/12/2017) sebagaimana dirilis Kementerian PPPA.
Pada saat Kongres Perempuan pertama digelar di 1928, banyak sekali hal penting mengenai kemajuan perempuan yang dirembug saat itu. "Kongres Perempuan 1928 merupakan tonggak sejarah pergerakan perempuan Indonesia," tulis Susan Blackburn.
Di antara banyak perwakilan organisasi perempuan era masa awal kebangkitan nasional yang hadir di kongres itu, Aisyiyah menjadi salah satunya. Organisasi perempuan yang lahir dari rahim Muhammadiyah ini mengirimkan banyak aktivis perempuannya di kongres itu. Di antaranya ialah Siti Munjiyah yang juga hadir mewakili Hoofdbestuur (HB) Moehammadijah.
Adik Sekjen Muhammadiyah yang terkenal ahli orator, yakni Haji Fachrodin, tersebut menyampaikan orasinya di Kongres Perempuan Pertama yang bertajuk “Derajat Perempuan”. Orasinya itu menjelaskan kedudukan perempuan yang setara dengan laki-laki, termasuk di dalam Islam.
“Perempuan dan lelaki Islam itu masing-masing berhak berkemajuan dan berkesempurnaan, dan bahwasannya yang dikata kemajuan dan kesempurnaan ialah menurut hak batas-batasnya sendiri-sendiri,” demikian orasi Munjiyah.
Di salah satu penggalan orasinya, yang dicatat Susan Blackburn di bukunya, Munjiyah juga menyatakan, "Dengan adanya gerakan ini, mulai sadar dan bangunlah bangsa kita, perempuan Indonesia, dari tidurnya yang nyenyak; suara yang berderu-deru senantiasa menghampiri telinga mereka, dan memang sudah waktunya kita kaum perempuan mulai maju selangkah dua langkah dan seterusnya, sebab matahari telah terbit dan menyilaukan mata kita."
Munjiyah sekaligus menyerukan agar perempuan Indonesia saat itu segera bergegas menempuh pendidikan tinggi agar lepas dari kebodohan, meraih pengetahuan sekaligus kesetaraan hak dengan laki-laki.
Di penggalan akhir orasinya, Munjiyah bahkan mengungkapkan pandangan agama yang progresif, untuk ukuran zaman awal Abad 20 di Indonesia, mengenai perceraian suami-istri. Menurut dia, setiap perempuan berhak meminta talak kepada suaminya bila kehidupan suami-istri sudah tak membawa manfaat dan kebahagiaan. "Tak ada alangan bagi perempuan untuk meminta talak kepada suaminya dan si suami pun harus mengabulkan," demikian kata Munjiyah.
Penulis: Addi M Idhom
Editor: Addi M Idhom