Menuju konten utama
20 Oktober 2011

Hari-Hari Terakhir Muammar Khadafi, "Si Anjing Gila" Diktator Libya

Khadafi mengawali kepemimpinan dengan pujian dan meninggalkannya dengan hujatan.

Hari-Hari Terakhir Muammar Khadafi,
Ilustrasi tumbangnya Khadafi. Tirto.id/Deadnauval

tirto.id - Bukan tanpa alasan media-media barat menyebutnya "Si Anjing Gila". Kolonel Muammar Mohammed Abu Minyar al-Khadafi, si penyandang julukan itu, memerintah Libya selama 42 tahun. Sepanjang empat dekade lebih itu ia dikenal sebagai pembangkang terhadap dunia Barat.

Khadafi naik ke tampuk kekuasaan melalui sebuah pemberontakan di Benghazi, kota di timur Libya, yang kemudian melebar ke ibu kota Tripoli. Gerakan 1 September, demikian nama pemberontakan itu, tak menuai perlawanan berarti dari raja Libya saat itu, Idris I, yang saat itu tengah menjalani perawatan medis di Turki.

Pada awal pemerintahannya, Khadafi meluncurkan sejumlah kebijakan populis yang sangat diapresiasi masyarakat. Ia mencabut izin markas militer Amerika Serikat dan Inggris di Libya, mendirikan Bank Sentral Libya, dan mengambil alih industri minyak mentah dengan mendirikan perusahaan minyak negara (NOC).

Selain menyita aset-aset asing, Khadafi rajin blusukan ke desa-desa, menyapa warganya, kadang tanpa pengawal. Hal yang paling diutamakan Khadafi saat itu adalah pembangunan sekolah, rumah sakit, jalan, dan segala jenis infrastruktur.

Tahun 1975, perubahan kepemimpinan Khadafi mulai terlihat. Ia menerbitkan manifesto bertajuk Buku Hijau pada tahun yang sama. Seturut manifesto itu, Khadafi mengecam parlemen dan sistem pemungutan suara sebagai bentuk pemerintahan diktator. Sejak itu Khadafi dipandang telah menghancurkan kebebasan politik dan mengantarkan Libya ke arah otoritarianisme. New York Times mencatat bagaimana rezim mulai menyikat para pengkritik, yang tak jarang diinterogasi dan diadili di hadapan massa. Adegan-adegan itu disiarkan di televisi.

Pada 2011, setelah Khadafi lengser, Human Rights Watch berhasil mendapat rekaman mahasiswa bernama Sadiq Hamed Shwehdi yang digantung di lapangan basket di Benghazi pada1984. Sadiq didakwa bersalah hanya karena beroposisi terhadap rezim. Ia juga dituduh sebagai "agen Amerika".

Khadafi juga mendukung kelompok-kelompok bersenjata yang beroperasi di Eropa, Timur Tengah, hingga Afrika, di antaranya Fraksi Tentara Merah (Jerman Barat), Tentara Republikan Irlandia, Brigade Merah (Italia), dan Organisasi Pembebasan Palestina, dan Jalan Terang (Peru). Yang paling fenomenal adalah pemboman pesawat Pan Am rute Frankfurt-Detroit pada 1988. Pesawat itu jatuh di Lockerbie, Skotlandia. Pada 2003, Khadafi menyatakan bertanggungjawab atas pemboman itu.

Dikhianati Barat

Rezim Khadafi melakukan blunder luar biasa ketika melarang anggota keluarga menjenguk narapidana di penjara Abu Salim, Tripoli yang kebanyakan berisi tahanan politik. Walhasil, ada banyak tahanan yang berusaha melarikan diri. Pemberontakan di dalam penjara pun pecah pada Juni 1996. Sebanyak 1.200 orang narapidana diberondong peluru oleh pasukan khusus yang menggunakan senjata laras panjang.

Sejumlah personel menggunakan pistol untuk menembak siapa pun yang masih hidup dari jarak dekat. Ribuan jenazah kemudian dikubur dalam parit yang di atasnya kelak dibangun sebuah tembok penjara yang baru.

Sejak akhir 2010, Timur Tengah dan Afrika Utara disapu gelombang revolusi. Pemerintahan diktator Ben Ali di Tunisia ditumbangkan rakyatnya sendiri, begitu pula Hosni Mubarak di Mesir.

Peristiwa yang dikenal dengan Arab Spring ini akhirnya memicu gerakan massa besar-besaran di Libya untuk menjatuhkan Khadafi. Beberapa menteri Khadafi juga mengundurkan diri dan membentuk National Transitional Council (NTC) untuk mendesak PBB mengambil sikap terhadap Khadafi. Upaya ini diambil sebagai tindak lanjut atas perebutan kembali Benghazi yang sebelumnya dikuasai pemberontak.

NTC menuding Khadafi telah membantai dan memperkosa warga sipil. Namun, tuduhan ini sulit dibuktikan dan PBB tak kunjung mengambil tindakan militer.

Singgasana Khadafi baru mulai goyang ketika sejumlah negara Barat mulai campur tangan.

Yang menguatkan desakan terhadap PBB adalah Perdana Menteri Inggris David Cameron dan Presiden Perancis Nicolas Sarkozy. Mereka menghendaki North Atlantic Treaty Organization (NATO) agar bisa masuk ke zona udara Libya dan melakukan serangan. Perancis dan Inggris bersama-sama mendesak Sekretaris Pertahanan Amerika, Hillary Clinton, yang kemudian meyakinkan Presiden Amerika, Barrack Obama menyetujui NATO mengintervensi Libya.

Sebanyak 110 misil jenis Tomahawk ditembakan ke Libya. Dukungan dari Sarkozy dan Cameron bisa jadi tak lahir dari ruang hampa.

Satu hal yang banyak disorot publik saat itu adalah fakta bahwa Khadafi sebenarnya ikut mendanai kampanye Sarkozy dalam Pemilu 2007. Sebelas tahun kemudian, Sarkozy ditahan polisi Perancis karena diduga memakai biaya $61 juta yang didapat dari Khadafi. Selain melanggar aturan batasan dana kampanye sebesar $26 juta, sumber uang itu juga bermasalah karena didapat dari luar negeri.

Sedangkan Inggris punya skandal tersendiri dengan Khadafi. London School of Economics (LSE) menerima uang 1,5 juta Euro dari Libya selama lima tahun sejak 2009. Setiap tahun, LSE mendapatkan 300 ribu Euro.

Alih-alih membela Khadafi karena telah dibantu, Inggris dan Perancis mendorong pergantian rezim di Libya.

“Sarkozy tidak tahu diri. Gara-gara saya dia bisa jadi presiden. Kami kasih dia dana sehingga bisa menang," kata Khadafi dalam wawancara dengan France 3 TV16 Maret 2011, tiga hari sebelum NATO menghujani Libya dengan misil.

Infografik Mozaik Gaddafi

Infografik Mozaik Muhmmad Abu Minyar Gaddafi. tirto.id/Nauval

Hari-Hari Terakhir Kolonel

Setelah NATO menyerbu Libya, Khadafi terpojok dan mengungsi ke kampung halamannya di kota Sirte. Sadar dirinya terdesak, Khadafi menawarkan negosiasi. Pasukan pemberontak menolaknya.

Khadafi kemudian mengungsi dari Sirte ke Misrata, kota dekat Tripoli, bersama ratusan orang. Saat konvoi itu melaju, pesawat NATO kembali menjatuhkan bom. Human Rights Watch melaporkan lebih dari 100 orang anggota konvoi meninggal dunia.

Khadafi pun akhirnya bersembunyi di pipa saluran pembuangan air. Musuh menemukannya. Khadafi diseret, didorong, diteriaki, dan digebuki pemberontak hingga babak belur.

"Jangan tembak!" kata Khadafi saat tertangkap.

Demonstran kemudian memasukan Khadafi ke dalam ambulans untuk dibawa ke rumah sakit. Hanya beberapa menit sebelum sampai, Khadafi meninggal dunia.

Tak ada yang tahu pasti bagaimana Khadafi meninggal. Kala itu, ada banyak pemberontak yang mengaku menyaksikan penembakan Khadafi. Ada juga versi yang mengatakan Khadafi ditembak pengawalnya sendiri. Otopsi resmi menyatakan bahwa kematian Khadafi disebabkan oleh luka tembak di kepala.

Jenazah lelaki yang dulu sempat dikagumi rakyat Libya itu kemudian dimasukkan ke dalam sebuah ruang pendingin dengan kasur berukuran kurang dari 2x1 meter. Dalam foto yang beredar, Khadafi bertelanjang dada dengan luka-luka yang masih terlihat segar. Selembar kain warna coklat dan pakaian yang compang-camping membungkus tubuhnya.

Dalam video penangkapannya, Khadafi bertanya-tanya "Apa yang sudah kulakukan pada kalian?" Bertahun-tahun setelah sang kolonel dipastikan meninggal pada 20 Oktober 2011, tepat hari ini 8 tahun lalu, Libya masih dirundung perang sipil.

Baca juga artikel terkait SEJARAH DUNIA atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Politik
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Windu Jusuf