Menuju konten utama

Harga Tahu-Tempe Naik: Saatnya Memikirkan Ulang Integrasi Pangan RI

Integrasi pangan ke sistem internasional membuat Indonesia rapuh. Pemerintah dituntut untuk perlahan mengurangi ketergantungan tersebut.

Harga Tahu-Tempe Naik: Saatnya Memikirkan Ulang Integrasi Pangan RI
Pejual kacang kedelai impor. Antara foto/Muhammad Adimaja/aww/16.

tirto.id - Lonjakan harga kedelai impor terbukti membuat Indonesia kerepotan. Produsen tahu-tempe dalam negeri mogok kerja awal tahun ini lalu memilih berproduksi sejak tanggal 4 tapi menjualnya dengan harga lebih mahal.

Lembaga pemeringkat S&P Global menyatakan kenaikan harga kedelai terutama disebabkan peningkatan pembelian dari Cina seiring pulihnya ekonomi negara itu dari pandemi COVID-19. Peningkatan pembelian sangat terasa dampaknya karena negara itu berkontribusi terhadap 60 persen perdagangan kedelai dunia.

Dari Amerika Serikat, Cina membeli 31,8 juta metrik ton selama 1 Januari-17 Desember 2020, padahal tahun sebelumnya hanya 10,5 juta metrik ton. Dari Brazil--yang merupakan eksportir nomor satu kedelai dunia--Cina membeli 60 juta metrik ton atau naik 8 persen dari tahun sebelumnya. S&P Global meyakini tren ini bakal berlanjut tahun ini.

Melansir Indexmundi, harga kedelai internasional sudah melampaui titik sebelum pandemi. Desember 2019 harganya 383,2 per metrik ton tetapi per November 2020 499,98 per metrik ton. Di dalam negeri, mengutip Antara, harga kedelai melonjak dari Rp6.000-7.000/kg menjadi Rp9.000/kg.

Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo mengatakan upaya pemerintah untuk mengatasi masalah ini adalah segera meningkatkan produksi dalam negeri. “Ini menjadi pelajaran untuk kita semua sehingga kekuatan (produksi) lokal dan nasional harus menjadi jawaban dari kebutuhan (kedelai) itu,” ucap Syahrul di Kementan, Jakarta, Senin (4/1/2021), seperti dikutip dari Antara.

Integrasi Pangan

Guru Besar IPB University Dwi Andreas Santosa mengatakan kasus kedelai adalah peringatan betapa berisikonya mengintegrasikan sistem pangan Indonesia ke dunia sebagaimana diamanatkan oleh World Trade Organization Agreement of Agriculture. Belum lagi penghapusan larangan impor saat ketersediaan pangan mencukupi maupun ketentuan memprioritaskan produksi dalam negeri sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 11/2020 tentang Cipta Kerja.

“Berkali-kali saya peringatkan dan sampaikan ke teman-teman pemerintahan: hati-hati integrasi ke sistem pangan dunia. Ini baru contoh kecil,” ucap Dwi kepada reporter Tirto, Selasa (5/1/2021).

Tergantung pada sistem pangan dunia sama saja menaruh Indonesia dalam posisi yang rentan terhadap gejolak harga, risiko kendala produksi internasional, perebutan pasokan, sampai gangguan pengiriman, kata Dwi. Semakin dalam terintegrasi, semakin besar pula potensi masalah tersebut.

Dwi bilang bukan tak mungkin persoalan kedelai terulang pada komoditas lain seperti gandum--yang saat ini berkontribusi terhadap 25,4 persen bahan baku produk konsumsi masyarakat. Belum lagi gula yang saat ini sekitar 60 persennya harus dipenuhi dari impor dan bawang putih yang hampir 90 persen impor.

Oleh karena itu menurutnya pemerintah perlu melakukan berbagai langkah agar ketergantungan terhadap pangan dunia perlahan mengendur.

Ia bilang ada dua hal yang bisa dilakukan. Pertama, menerapkan tarif bagi produk pangan yang masih bisa diproduksi di dalam negeri. Dwi mengingatkan, jangan sampai kesalahan di penghujung 1990-an terulang. Ketika itu petani dilibas lonjakan impor seperti bawang putih dan kedelai.

Kedua, perlu ada perlindungan harga di tingkat usaha tani. Ini penting karena umumnya produk impor lebih murah. Tujuannya agar petani tetap mau berproduksi. Langkah ini pernah dilakukan pemerintah Korea Selatan dengan menetapkan harga kedelai Rp55.000/kg meski harga impor dari Brasil hanya Rp7.000/kg.

Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rusli Abdullah juga sependapat. Menurut Rusli, bayang-bayang lonjakan harga komoditas global lain bahkan sudah menanti. Pulihnya ekonomi Cina saja sudah menyebabkan kenaikan permintaan drastis sehingga harga kedelai melonjak 20-30 persen. Hal yang sama tentu bakal terjadi jika keseluruhan perekonomian global pulih.

Meski mengurangi ketergantungan dari rantai pasok global itu susah-susah gampang, Rusli menilai persoalan kedelai ini seharusnya sudah cukup menyadarkan pemerintah untuk segera melakukan berbagai upaya pada berbagai komoditas pangan lain. Berbagai janji untuk meningkatkan produksi tak boleh tanpa realisasi. Masalahnya, persis itulah yang terjadi saat ini.

“Janji periode pertama bagaimana, apakah sudah? Belum. Jokowi 2015 bilang swasembada kedelai tiga tahun. Sekarang enggak ada,” ucap Rusli kepada reporter Tirto, Selasa.

Baca juga artikel terkait IMPOR PANGAN atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Rio Apinino