Menuju konten utama

Bisakah Berkebun Jadi Solusi Krisis Pangan Akibat COVID-19?

Di era Perang Dunia I, Amerika dan beberapa negara lain mencetuskan kampanye berkebun mandiri untuk mengentaskan krisis pangan.

Bisakah Berkebun Jadi Solusi Krisis Pangan Akibat COVID-19?
Ilustrasi berkebun. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Pandemi COVID-19 tak hanya mengobrak-abrik tatanan kesehatan dan ekonomi, tapi juga memicu krisis pangan dunia. Indonesia harus bersiap menghadapi dua masalah lain: ketimpangan neraca pangan oleh aktivitas impor dan pembatasan pasokan dari negara eksportir.

Empat bulan sudah dunia bekerja keras melawan serangan virus SARS-CoV-2 yang menginfeksi lebih dari 2 juta orang di 210 negara. Untuk memutus mata rantai penyebaran virus, sebagian negara melakukan karantina wilayah (lockdown). Sementara Indonesia dengan jumlah kasus infeksi lebih dari lima ribu jiwa memilih melakukan pembatasan sosial berskala besar.

Kebijakan itu kemudian menimbulkan persoalan lain yang tak kalah pelik: krisis pangan. Akibat karantina atau pembatasan, sejumlah jalur distribusi pangan terputus, terjadi penimbunan bahan pangan oleh sebagian pihaK, dan harga bahan pangan melonjak.

Organisasi pangan dunia (FAO) telah memperingatkan ancaman krisis pangan dunia sebagai imbas dari wabah COVID-19 yang tak kunjung usai. Negara yang pangannya bergantung impor rentan terdampak perlambatan volume perdagangan, terutama jika mata uang mereka melemah, seperti rupiah saat ini terhadap dollar (Rp15.584 per 17 April 2020).

Kondisi tersebut bisa makin parah akibat pembatasan ekspor negara penghasil pangan. Saat ini negara seperti Vietnam dan India memilih mengamankan cadangan pangan dalam negeri. Padahal selama ini sebanyak 30 persen komoditas beras impor Indonesia dipasok Vietnam (2018). Sementara India mengirimkan bawang merah, putih, dan juga gula.

“(Kondisi ini) punya beberapa kesamaan dengan wabah Ebola 2014,” ungkap FAO dalam keterangan tertulis mereka.

Saat Ebola mewabah, rantai pasokan pertanian ikut terganggu, banyak petani tidak bisa menanam atau menjual hasil bumi mereka. Di Liberia saja, sebanyak 47 persen petani berhenti bercocok tanam. Defisit pangan kemudian mendorong harga komoditas utama naik dan memunculkan masalah gizi serta mengurangi daya beli rumah tangga.

Neraca pangan Indonesia secara umum timpang di beban impor, berkelindan dengan profesi penghasil pangan yang terus menurun. Data Kementerian Pertanian menyebut dari tahun 2003 hingga sekarang, Indonesia telah kehilangan sekitar 10 juta petani. Luas lahan sawah dari tahun 2014-2018 ikut berkurang sebanyak 1 juta hektare.

“Sebelum ada COVID-19 kita sudah krisis pangan dan sampai sekarang pola konsumsi masih belum diubah,” jelas Tejo Wahyu Jatmiko, Koordinator Nasional Aliansi Untuk Desa Sejahtera kepada Tirto, Rabu, (15/4/2020).

Mayoritas rakyat Indonesia memang mengandalkan beras sebagai makanan pokok utama. Padahal pemerintah telah mengkampanyekan diversifikasi pangan karena Indonesia memiliki sumber karbohidrat lain seperti jagung, singkong, sagu dan kentang.

Pada kondisi normal, Indonesia bisa bergantung pada hasil impor dari negara lain. Tapi di situasi sekarang negara-negara eksportir tengah menghadapi pandemi yang sama. Mereka tentu lebih memprioritaskan urusan perut rakyatnya ketimbang hajat hidup negara lain.

“Sekaranglah saat yang tepat bagi pemerintah untuk menata sistem pangan, dorong masyarakat memanfaatkan kebun komunitas dan diversifikasi pangan.”

Saatnya Indonesia Berkebun

Bukan sesak jemuran atau deretan parkir kendaraan pribadi yang memenuhi volume halaman rumah milik Sigit Kusumawijaya, tapi ragam sayur mayur seperti kangkung, bayam, cabai, tomat dan terong. Tak hanya di halaman depan dan belakang rumah, area rooftop juga tersisip beberapa jenis tanaman pangan dataran rendah.

Sigit adalah salah satu penggagas Indonesia Berkebun, sebuah komunitas urban farming. Hampir satu dekade komunitas tersebut berjalan, mereka mengkampanyekan gerakan berkebun di lahan terbatas dan terbengkalai untuk diubah menjadi kebun pangan. Dari aktivitas berkebun itulah para anggotanya mencukupi konsumsi sayur secara mandiri.

“COVID-19 membuat kita jadi sulit berpergian, bahkan untuk mendapat bahan pangan. Tapi kami sudah siap dan punya kemandirian pangan,” kata Sigit kepada Tirto, Kamis, (16/4/2020).

Sebagai seorang arsitek, Sigit juga sering diminta merancang bangunan dengan konsep urban farming. Ia kemudian berbagi tips cara berkebun sederhana guna mencukupi konsumsi pribadi. Masyarakat perkotaan dengan lahan terbatas bisa memanfaatkan sistem raised bed di area balkon. Metode ini membentuk media tanam serupa dipan seluas 1×2 meter.

Jika tak memiliki balkon atau halaman yang cukup, maka tanaman bisa ditempatkan pada media pot dengan sistem vertikultur. Pilihlah jenis tanaman sesuai kondisi geografis, warga perkotaan bisa mencoba sayur-mayur dataran rendah yang cukup “bandel” seperti kangkung atau bayam.

Perawatan keduanya tidak terlalu sulit dan relatif cepat panen. Cukup dipupuk, disiram dua kali sehari, dan mendapat sinar matahari minimal enam jam per hari. Kangkung dan bayam memiliki masa panen singkat, yakni 21 hari.

Selain kedua sayur itu masih ada komoditas pangan lain yang bisa ditanam secara swadaya seperti tomat dengan masa panen 60 hari, kemudian cabai 70 hari, umbi-umbian 80 hari, timun 75 hari, terong 90 hari, atau sawi dan caisim yang dipanen minimal 40 hari setelah masa tanam.

“Berkebun untuk konsumsi pribadi bisa menghemat belanja sayur dan biaya transportasi 50-60 persen,” ungkap Sigit mengacu pada pengalamannya berkebun.

Perancang bangun dari Sigit.Kusumawijaya Architect & Urbandesigner ini kemudian menjabarkan tingkat lanjut dari berkebun menggunakan sistem aquaponik. Sistem ini menawarkan dua manfaat sekaligus yakni ketersediaan sayur sekaligus protein dari budidaya ikan air tawar.

Namun, jika dirasa terlalu sulit, menanam sayur di pot sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan harian keluarga. Supaya kebutuhan tercukupi dan bervariasi Sigit menyarankan penanaman bibit menggunakan sistem rotasi.

Menangkan Perang dengan Berkebun

Perang Dunia I telah mengubah pola konsumsi rakyat Amerika Serikat dan beberapa negara lain seperti Inggris, Kanada, Australia, dan Jerman. Mereka yang semula bergantung pada negara untuk pemenuhan konsumsi harian harus menghasilkan sayur, buah, dan sumber protein sendiri.

Kala itu jumlah petani berkurang drastis akibat perekrutan dinas militer, sisa lahan pertanian juga hancur karena perang. Sementara hasil pertanian negara harus digunakan untuk memenuhi pasokan pangan tentara. Rakyat Amerika lalu diminta berkebun untuk membantu menurunkan harga sayur dan menghemat pengeluaran negara.

Infografik Mari Kita Berkebun

Infografik Mari Kita Berkebun. tirto.id/Rangga

“War Gardens for Victory.”

Sebuah slogan persuasif terpampang pada poster seorang perempuan berbusana terusan, lengkap dengan serbet merah melingkar di leher. Tangan kanannya membawa keranjang sayur dan buah, sementara tangan yang lain menggenggam cangkul.

Menggunakan bivakmut di kepala, sosok dalam poster menyejajarkan usaha berkebun dengan perjuangan merebut kemenangan di masa perang. Poster tersebut disebar Pemerintah Amerika Serikat untuk mendorong rakyatnya agar mau berkebun.

Dengan berkebun secara tidak langsung mereka membantu negara menekan dana pangan untuk memperkuat militer. Dengan berkebun mereka menyelamatkan diri sendiri dari kelaparan, menyelamatkan calon tentara dan tenaga kesehatan yang dibutuhkan negara dalam perang.

Buku bertajuk Eating for Victory: Food Rationing and the Politics of Domesticitykarya Bentley Amy (1988) menuliskan program berkebun rakyat Amerika disebut sebagai kampanye “Victory Garden”. Masa itu, orang Amerika berkebun di mana saja, atap rumah, tangga darurat, halaman belakang, di setiap lahan kosong.

“Sekitar 20 kebun kecil milik warga pada tahun 1944 mampu menghasilkan sekitar 8 juta ton bahan pangan,” tulis Amy, jumlah itu setara lebih dari 40 persen total konsumsi buah dan sayuran segar Amerika.

Biasanya warga menanam kentang, bit, kol, dan sayuran. Selain itu mereka juga diminta memelihara ayam untuk dimanfaatkan telurnya. Kampanye Victory Garden dimulai pada tahun 1918 dan terus berlanjut hingga Perang Dunia II.

Meski bukan terlibat perang secara harfiah, dalam melawan COVID-19 kita bisa menerapkan swasembada pangan serupa Amerika dalam Perang Dunia I dan II, dibanding harus berebut dan berharap bahan pangan harga kembali normal seperti sedia kala.

Baca juga artikel terkait KRISIS PANGAN atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Windu Jusuf