tirto.id - Berbohong, menggunjing, mengadu domba, bersumpah palsu, dan memandang dengan syahwat memang tidak membatalkan puasa. Namun, tindakan-tindakan ini dapat mengurangi bahkan menghapus pahala berpuasa. Inti dari puasa adalah pengendalian diri.
Nabi Muhammad SAW berkata, “Betapa banyak orang-orang yang berpuasa tidak mendapatkan balasan kecuali lapar dan haus”. (H.R. Ath-Thabrani)
Berdasarkan riwayat tersebut, seorang muslim layak curiga terhadap dirinya sendiri, apakah upayanya menahan lapar, haus, dan tidak berhubungan badan sejak waktu terbitnya fajar shadiq (subuh) hingga terbenamnya matahari (magrib) sudah mencukupi untuk disebut sebagai puasa atau tidak.
Memang, puasa dapat dimaknai sebagai tidak makan, minum, dan bersetubuh dalam waktu yang sudah ditetapkan di atas. Namun, sepanjang waktu tersebut seorang muslim mesti menjaga perkataan dan perbuatannya.
Dari Sahabat Anas bin Malik, Rasulullah SAW berkata “Ada 5 perbuatan yang menghapus pahala puasa, yaitu berbohong, menggunjing, mengadu domba, bersumpah palsu, dan memandang dengan syahwat”.
Pertama, berbohong (berdusta), berkata tidak sesuai dengan kejadian atau fakta yang sebenarnya. Orang yang sekali berdusta akan membuka ribuan pintu dusta lainnya.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah saw. bersabda “Siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta (tetapi justru) mengamalkannya, maka Allah tidak butuh dari rasa lapar dan haus yang dia tahan (saat puasa)” (H.R. Bukhari 1903).
Dalam Fathul Bari, Ibnu Hajar al-Asqalani mengutip perkataan Imam Al-Baidhawi (Abdullah bin Umar bin Muhammad bin Ali al-Baidhawi asy-Syirazi), bahwa "maksud pensyariatan puasa adalah bukan sekadar menahan lapar dan dahaga.
"Bahkan ada maksud lain; seperti mengekang syahwat, mengendalikan jiwa yang menyuruh untuk berbuat buruk dan mengubahnya menjadi jiwa yang tenang (muthma'innah). Apabila yang demikian itu tidak tercapai, maka Allah tidak akan melihat kepadanya dengan pandangan rida dan menerima (puasanya)."
Kedua, mengunjing (gibah), membicarakan kejelekan orang lain. Rasulullah saw. bersabda bahwa gibah adalah, “kau ceritakan hal tentang saudaramu, yang jika ia mendengar, maka ia tidak rela”.
Gibah ini apabila diteruskan dapat menimbulkan fitnah. Jika gibah adalah sesuatu yang buruk tentang orang lain yang berdasarkan kenyataan, fitnah adalah sesuatu yang buruk dan tidak berdasarkan kenyataan, hanya prasangka busuk. Allah berfirman dalam Surah Al-Baqarah ayat 191, “fitnah itu lebih kejam dari pada pembunuhan”.
Perbuatan gibah ini seharusnya dihindari ketika berpuasa. Memilih bersikap diam, atau mengingatkan diri sendiri tengah berpuasa penting untuk tidak bergibah.
Ketiga, adu domba, menimbulkan perselisihan atau pertikaian dua pihak yang awalnya sepaham atau rukun demi mendapatkan keuntungan atau menciptakan kekacauan. Dewasa ini, adu domba mungkin saja dimulai dari media sosial.
Seorang muslim, baik berpuasa atau tidak, semestinya pandai dalam memfilter hal-hal yang hendak disampaikannya. Diriwayatkan dari Abu Syuraih Al Khuza'i, bahwa Nabi saw. bersabda, "... barangsiapa beriman kepada Allah dan hari Akhir hendaknya ia berbicara baik atau diam" (H.R. Ibnu Majah 3662).
Keempat, memandang dengan syahwat, tindakan ini tidak dibenarkan saat berpuasa. Di dalam Surah Al Baqarah ayat 185 dikatakan bahwa “diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”.
Kemudian, Rasulullah saw. menambahkan dalam perkataanya, “barang siapa yang tidak mampu menahan syahwatnya maka berpuasalah”.
Pada kedua dalil di atas dapat diambil maslahat bahwa berpuasa itu adalah menahan nafsu dan wujud dari orang-orang yang bertakwa. Maka sebaiknya memandang dengan syahwat lelaki maupun perempuan dihindari saat berpuasa.
Kelima, sumpah palsu, ucapan atau keterangan saksi yang isinya tidak benar atau tidak sesuai fakta yang akan menguntungkan suatu pihak dan merugikan pihak yang lain.
Perbuatan ini memiliki kecenderungan terhadap kezaliman dan tertutupnya kebenaran. Sumpah palsu dapat meruntuhkan pahala puasa dan sebaiknya dihindari.
Penulis: Syamsul Dwi Maarif
Editor: Fitra Firdaus