tirto.id - Butuh nyaris dua tahun bagi para penggemar Game of Thrones━selanjutnya GoT━untuk kembali menyaksikan serial kesayangannya. Senin (15/4) waktu Indonesia, penantian itu terbayar tuntas: episode pertama GoT musim kedelapan resmi dimulai.
Linimasa kemudian riuh merayakan kehadiran serial televisi yang diklaim sebagai “yang terbesar” tersebut. Bedanya, kali ini, keriuhan yang ditimbulkan punya resonansi yang kuat dibanding sebelum-sebelumnya mengingat musim 8 merupakan edisi penutup GoT.
Di episode pertama, Daenerys Targaryen (Emilia Clarke), Jon Snow (Kit Harington), beserta bala pasukannya tiba di Winterfell. Kedatangan mereka terasa tak lengkap setelah Daenerys harus kehilangan salah satu naganya yang “dibunuh” Night King. Di Winterfell, rombongan Daenerys disambut oleh kakak-adik Stark, Sansa (Sophie Turner) dan Arya (Maisie Williams).
Sejak awal, Sansa sudah memperlihatkan gelagat ketidaksukaan terhadap Daenerys, kendati ia masih berupaya ramah menyambutnya. Sansa seperti tak sudi tunduk pada Ibu Para Naga ini karena pengalaman masa lalu: ayah Daenerys, Aerys II alias The Mad King, telah membunuh kakek dan pamannya.
Ada dua hal yang menyenangkan dari episode pertamamusim 8 ini dan semuanya berkaitan dengan Jon. Pertama, Jon untuk pertama kalinya menaiki naga Daenerys, Rhaegal, dan kedua, Jon, pada akhirnya, mengetahui identitas aslinya dari Sam━yang seketika membikin pikirannya dipenuhi wacana tentang Iron Throne hingga buih asmaranya bersama Dany yang ternyata terlarang sejak dalam pikiran.
Menebar Banyak Kemungkinan
Salah satu kekuatan GoT adalah bagaimana serial ini mampu membikin para penonton antusias menerka-nerka apa yang bakal terjadi selanjutnya. Antusiasme tersebut lalu berubah menjadi teori━tak jarang hanya othak-athik-gathuk━yang memenuhi forum-forum daring macam Reddit sampai Quora. Di musim terakhir, tafsir terhadap alur GoT diprediksi bakal lebih liar.
Salah satu teori yang banyak diperbincangkan, mengutip laporan Esquire, yakni Bran Stark (Isaac Wright) merupakan sosok yang membangun The Wall. Di musim enam dijelaskan bahwa Bran tak hanya mampu melihat masa lalu, tapi juga memanipulasinya. Terdapat sejumlah teori yang menyebut kekuatan Bran tidak terbatas.
Mereka yang meyakini teori ini berpendapat Bran hadir di setiap momen penting Westeros━salah satunya dengan menyelinap ke pikiran Mad King Aerys Targaryen sehingga membuat sang raja gila. Keyakinan itu makin bisa dibenarkan saat Bran tidak sengaja merusak pikiran Hodor kala ia melakukan perjalanan waktu ke masa lalu.
Selanjutnya ada teori yang menyatakan Jon atau Daenerys merupakan “Pangeran yang Dijanjikan”. Sebagaimana ditulis George R.R. Martin dalam babad A Song of Ice and Fire, “Pangeran yang Dijanjikan” tersebut termanifestasi pada wujud legenda Azor Ahai, pahlawan yang bertarung melawan kegelapan dengan pedang merahnya yang menyala, Lightbringer.
Menurut ramalan, Azor Ahai akan dilahirkan kembali tatkala bintang merah berdarah dan kegelapan berkumpul, di tengah-tengah asap dan garam yang ditebarkan untuk membangunkan naga dari batu. Upaya mencari Azor Ahai telah lebih dulu ditempuh Melisandre saat ia menunjuk Stannis Baratheon.
Namun, prediksi Melisandre luput dan ia segera mengalihkan ramalannya ke Jon Snow, yang berhasil ia hidupkan kembali di musim keenam selepas mati akibat ditusuk secara bergiliran oleh kompatriotnya sesama Night’s Watch. Penahbisan Jon sebagai “Pangeran yang Dijanjikan” pun tak permanen. Pada season ketujuh, ramalan berkata bahwa Azor Ahai bisa pula berarti “Putri yang Dijanjikan,” atau dalam hal ini merujuk pada sosok Daenerys.
Teori lain cukup populer di kalangan penggemar GoT dan masih dinanti kebenarannya: Tyrion Lannister adalah seorang Targaryen. Dasar teorinya yaitu Aerys II menghamili Joanna sebab sang raja begitu terobsesi dengan istri Tywin Lannister tersebut. Joanna meninggal tak lama usai melahirkan Tyrion. Asumsi makin masuk akal kala Tywin berkata kepada Tyrion bahwa ia bukan anaknya. Belum lagi bagaimana naga-naga Dany begitu “patuh” kepada Tyrion.
Di season terakhir ini juga lahir teori yang menegaskan Daenerys akan berubah seperti ayahnya dan menjadi musuh utama di GoT. Seperti diketahui, ayah Daenerys, Aerys II, dikenal sebagai raja gila. Kegilaan Aerys diperlihatkan melalui ketidakraguannya untuk membakar hidup-hidup mereka yang menentang kekuasaannya. Apa yang dilakukan Aerys dilakukan pula oleh Daenerys. Terbaru, ketika pada musim lalu ia membakar dua penguasa dari House of Tarly.
Selama tujuh musim, Dany --panggilan Daenerys-- telah memposisikan dirinya sebagai pemimpin yang berbeda jauh dari ayahnya. Akan tetapi, Dany tak paham kelemahannya sendiri. Dalam beberapa kesempatan, misalnya, ia diingatkan Tyrion tentang betapa rentannya Dany ketika berada di atas naga. Dany juga diberi ultimatum oleh Jon bahwa menggunakan naga untuk berperang hanya akan membikinnya seperti tiran. Dua peringatan itu nyatanya tak digubris Dany.
Karakter yang paling ditunggu kiprahnya di GoT musim ini yaitu Arya. Pada edisi sebelumnya, dengan begitu elegan, ia membunuh Littlefinger. Kematian sang pria licik di Winterfell rupanya belum disadari oleh sebagian besar penghuni wilayah selatan Westeros. Kondisi itu lantas memantik munculnya teori yang menyebut bahwa Arya akan pergi ke King’s Landing dan menyamar sebagai Littlefinger untuk menghabisi orang-orang yang masuk dalam daftarnya, termasuk Cersei.
undefined Politik GoT: Siapa yang Menang?
Terlepas dari spekulasi dan teori yang bermunculan, satu hal yang penting untuk dijawab dari musim terakhir GoT ialah siapa yang akhirnya bakal menang dan berkuasa di Iron Throne?
Zack Beauchamp, dalam tulisannya di Vox, memberikan analisa yang tajam sekaligus menarik sehubungan dengan prediksi siapa pemenang di pusaran konflik GoT dengan menggunakan pendekatan studi hubungan internasional.
Ketegangan di GoT berputar pada tiga subjek: Cersei, White Walkers, dan kongsi Jon-Dany. Pihak yang punya kemungkinan kecil untuk menang, menurut Zack, dipegang oleh Cersei (Lena Headey).
Musim lalu, Cersei memperoleh pencapaian yang cukup signifikan: membantai sekutu utamanya (Olenna Tyrell), mendapatkan bantuan pasukan dari Golden Company yang dikenal beringas, serta sepakat bekerjasama dengan bala tentara laut yang dipimpin Euron Greyjoy.
Namun, strategi itu dinilai tak cukup untuk menghentikan armada Dany beserta naganya maupun White Walkers. Cersei hanya punya pasukan, tapi tak punya alat untuk membunuh naga-naga Dany yang gemar menyemburkan api, atau menghancurkan gerombolan zombie yang merangkak dari utara.
Terlepas dari aspek teknis, yang paling dicemaskan dalam strategi Cersei adalah keputusannya untuk menggandeng Euron (Pilou Asbæk). Dalam semesta GoT, Euron bukanlah sekutu yang dapat diandalkan. Ia bersedia bergabung bersama Cersei hanya sebab ia ingin bercinta dengannya. Ketika ia sudah mendapatkan hal itu, maka besar kemungkinan Euron bakal meninggalkan koalisi.
Apa yang dialami Cersei terlihat relevan bila mengutip Ann Tickner dalam bukunya berjudul Gender in International Relations (1992). Tickner menjelaskan bahwa dunia politik pada hakikatnya merupakan dunia laki-laki. Ruang partisipasi perempuan dalam dunia ini sangatlah minim, jika tak ingin dikata nihil.
Cersei boleh saja melakukan pendekatan yang maskulin untuk menegaskan kekuasaannya. Tapi, ia adalah perempuan yang dalam semesta GoT, diperlakukan tak lebih dari sekutu militer yang tak penting serta cenderung dijadikan objek seksual belaka oleh pemimpin yang lain.
Di urutan kedua ada Night King dan White Walker. Dalam konteks kemiliteran, pasukan Night King berada pada posisi yang ideal: jumlah tentara yang banyak, amunisi sihir yang kuat, dan satu ekor naga yang buas. Kendati demikian, pasukan Night King tetap tidak dalam situasi yang terbaik untuk memenangkan perang.
Alasannya sederhana: pasukan zombie Night King jauh lebih lemah dari yang terlihat dan Night King tidak punya pengalaman dalam berperang dengan pasukan yang besar sebelumnya. Apabila dikaitkan dengan studi politik internasional, Night King, tulis Zack, tidak memahami betul konsep keseimbangan pertahanan-serangan yang dicetuskan Robert Jervis, akademisi Columbia University, dalam bukunya Cooperation Under the Security Dilemma (1977)
Perang berpotensi besar dimenangkan oleh koalisi Stark-Targaryen. Faktor pendukungnya banyak: dua ekor naga, pasukan darat berjumlah besar, persenjataan yang lengkap, hingga strategi yang melimpah.
Pertanyaannya sekarang, terang Zack, adalah bagaimana koalisi ini memenangkan konflik setelah perang?
John Ikenberry, dosen Princeton University, dalam bukunya bertajuk After Victory (2001) berargumen bahwa perang besar mendorong lahirnya keinginan untuk membentuk kembali sifat politik global.
Menurut pendapat Ikenberry, demi mewujudkan visi itu, maka pelaku bersangkutan harus mengutamakan pendekatan yang berorientasi persetujuan dibanding menekankan dominasi kekuatan. Pihak yang menganggap dirinya dominan seyogyanya membatasi kewenangan mereka dan memberikan otonomi kepada pihak lain dengan imbalan dukungan sukarela untuk politik status quo.
Dalam koalisi Stark-Targaryen, kondisi tersebut sulit terlaksana mengingat sejak awal Dany melihat dirinya sebagai calon penguasa yang sah dan absolut di Westeros. Ia nyaris tak berminat mengurusi hal-hal yang menurutnya remeh seperti pembagian kekuasaan. Baginya, kekuasaan adalah miliknya secara mutlak.
Hal tersebut tentu berpotensi membuat pihak-pihak yang kritis-realistis dalam koalisi Stark-Targaryen━seperti Sansa, misalnya━akan membelot. Jika masalah ini gagal diantisipasi oleh Dany, maka kemenangan dalam perang hanya akan berubah jadi sumber konflik berkepanjangan.
Menganalisis berbagai kemungkinan mengenai jalannya GoT memang asyik dilakukan. Namun jangan terlalu berharap banyak dugaan anda benar. Sebab GoT sudah terbukti melahirkan banyak sekali twist yang tak terduga. Apalagi musim kedelapan ini ceritanya nyaris benar-benar baru, sebab belum pernah ada di serial novel A Song of Ice and Fire.
Bisa jadi, di tengah jalan nanti, plot yang sudah disusun sedemikian rapi diobrak-abrik begitu saja oleh para creator. Karena pada dasarnya, berbicara GoT tanpa menyertakan twist sama saja dengan kibul belaka.
Anda tak perlu berkecil hati. Bila segala asumsi, prediksi, maupun teori yang Anda canangkan dalam season ini belum terlaksana, Anda bisa (kembali) menuliskannya di kesempatan berikutnya.
Editor: Nuran Wibisono