tirto.id - Seri terbaru Game of Thrones akan ditayangkan Minggu, 17 Juli besok. Pada musim ketujuh ini kita melihat sekilas dari trailer Jon Snow berseteru dengan White Walkers; Jaime sedang berperang dalam pengepungan laut; dan Beric Dondarrion berdiri dengan pedang api. Kegilaan para penggemar melahirkan fantasi dan ramalan bagaimana cerita baru dari saga cerita brutal karangan George R. R. Martin ini.
Bagi Anda yang belum pernah membaca novel atau menonton seri ini, sebaiknya Anda berhenti karena mungkin ada beberapa bagian tulisan ini yang menghadirkan spoiler, baik dari buku atau serinya.
Game of Thrones (GoT) musim ketujuh ini akan menjadi pengantar dari puncak dari pertarungan berbagai pihak dalam musim kedelapan. Ini tentu momen yang sangat ditunggu oleh banyak penggemar. Meski kerap menghadirkan adegan seks vulgar, kematian yang sadis, dan percakapan yang kasar, serial ini tetap dinanti oleh para penggemarnya. GoT melahirkan subkultur baru, generasi yang membincangkan kegilaan dengan kebahagiaan.
Tapi siapa karakter paling gila dalam episode ini? Apa kejahatan yang ia lakukan? Mengapa karakter ini demikian jahat?
Travis Langley, psikolog dan penulis Game of Thrones Psychology: The Mind is Dark and Full of Terrors, menjelaskan bagaimana karakter-karakter dalam GoT tidak jauh berbeda dengan kita. “Di kehidupan nyata, akan susah dipelajari [mengapa mereka gila]. Kita tahu dalam eksperimen bahwa melihat kekejaman memiliki dampak pendek pada perilaku seseorang, tapi sangat susah dipelajari jika itu berlangsung lama,” katanya.
Tragedi dan kondisi lingkungan yang keras akan membuat manusia biasa mengalami gangguan kesehatan mental, tapi dalam kasus GoT gangguan ini ada dalam kategori yang parah. Saat wawancara bersama Neil deGrasse Tyson di National Geographic, Langley mengungkapkan karakter-karakter di GoT tidak seluruhnya terlahir jahat atau keji.
Beberapa di antara mereka menjadi jahat karena coping mechanism untuk bertahan hidup. Pada beberapa bagian cerita, kita juga melihat trauma kepala (karena dirasuki) membuat beberapa karakter menjadi memiliki gangguan kesehatan mental seperti Hodor.
Tyson menyebut mengapa banyak orang menyukai GoT bukan karena jalan cerita fantasinya, tapi bagaimana karakternya tumbuh, berkembang, dan hadir. Ada pertanyaan yang muncul ketika melihat karakter-karakter dalam GoT. Mengapa Joffrey Baratheon demikian brengsek dan menyebalkan, mengapa Cersei Lannister demikian angkuh dan keji, dan mengapa Tyrion Lannister demikian cerdik dan licik? Atau mengapa Ramsay Bolton menjadi karakter paling diingat karena kekejiannya?
Kemunculan sihir seperti naga, White Walker, atau Red Priestesses tidak muncul di awal. Para penggemar seri film atau buku disajikan cerita tentang karakter. Mereka tidak sedang menonton fantasi sihir, tapi emosi manusia yang utuh. Tyson dalam Game of Thrones Psychology menyebut dendam dan keinginan untuk balas dendam muncul pada cerita keseluruhan. Orang jadi tidak lagi fokus pada naga atau sihir, tapi pada apa yang membuat karakter ini mendendam dan kebencian apa yang membuat orang jadi demikian jahat.
Syarafina Vidyadhana, salah seorang penggemar GoT, mengatakan GoT menarik karena manuver politik dalam cerita ini. Siapa yang bakal berkuasa dan dengan cara apa menjadi penting karena menggambarkan bahwa karakter dalam GoT sangat manusiawi. Syarafina menyebut kembalinya Jon Snow dari kematian menjadi titik balik pertikaian politik di GoT. Ia juga mengamati bagaimana GoT menampilkan karakter-karakter perempuan. Meski penggambaran karakter perempuan dalam seri ini selalu pasrah dan dilemahkan, tapi mereka berkembang—jika tak mati.
"Terutama di season baru ini. Si Sansa sudah lebih pintar, Danny mau ke Westeros, dan Cersei jadi ratu. Aku enggak bisa bilang mereka jadi empowered atau apalah, tapi setidaknya mereka sudah berkembang dari yang lugu dan menyerah sama keadaan menjadi lebih perhitungan dan teguh," katanya.
Ada banyak psikolog dan konselor kesehatan mental yang melakukan analisis kejiwaan terkait karakter GoT. Salah seorang di antaranya adalah Colleen Jordan, seorang konselor kesehatan mental berlisensi. Ia menyebut Joffrey Baratheon memiliki gejala sociopath klinis atau antisosial. Joffrey suka menyakiti orang, membunuh orang, dan menikmati prosesnya.
Sandor Clegane atau The Hound mengalami Posttraumatic stress disorder (PTSD) karena mengalami penyiksaan luar biasa. Ia disiksa oleh kakaknya Gregor Clegane yang juga membakar muka Sandor sehingga ia memiliki rasa takut luar biasa terhadap api. Meski terlihat kejam dan sadis toh Sandor menunjukkan empati dan kepedulian terhadap Sansa dan Arya Stark.
Dr. Kirk Honda, terapis pernikahan dan keluarga berlisensi, menyebut apa yang terjadi pada Joffrey merupakan produk dari salah asuh dan trauma. Disiksa oleh ayah dan punya ibu yang sangat berjarak, ia tumbuh dengan melihat ayah dan ibunya bertikai, sering diganggu karena memiliki perawakan seperti perempuan. Dalam detil pada bukunya disebutkan bahwa ibunya mabuk-mabukan saat hamil dan ia besar dengan didikan bahwa ia adalah yang terbaik. Semua ini membuat Joffrey menjadi megalomania dan memandang rendah orang selain dirinya.
Karakter lain yang menunjukkan gejala gangguan kesehatan mental parah adalah Lysa Arryn adik dari Catelyn Stark. Ia masih menyusui Robert Arryn anaknya yang berusia 10 tahun, menunjukkan gejala Borderline Personality Disorder. Gangguan kesehatan mental ini lahir dari trauma. Ia nyaris dikunci di menara, tak mampu membentuk relasi sosial yang sehat, dan selalu dibuat ketakutan.
Lysa memiliki gejala paranoia dan tak mampu mempercayai orang lain. Ini yang membuatnya tetap menyusui Robert meski telah berusia 10 tahun dan tak menyerahkannya kepada orang lain. Di dalam versi buku, Sandor Clegane alias The Hound telah menjadi prajurit dan membunuh orang pada usia 12 tahun.
Gangguan kesehatan mental tidak harus dalam bentuk yang destruktif. Theon Greyjoy menurut Colleen Jordan mengalami Stockholm Syndrome. Ia merupakan putra dari Lord Balon Greyjoy dari Iron Islands yang gagal melakukan pemberontakan. Setelah ayahnya kalah, Theon dibawa Eddard Stark sebagai sandera. Saat dewasa, alih-alih kembali ke Iron Island, ia bersetia kepada Rob Stark—putra dari orang yang menyanderanya. Theon sempat mengalami gangguan kejiwaan saat dihajar dan disiksa luar biasa oleh Ramsay Bolton sehingga menjadi peliharaan bernama Reek.
Dari banyak karakter gila dan sakit jiwa dalam GoT, barangkali Ramsay Bolton-lah yang paling menarik. Ramsay merupakan anak haram dari Lord Bolton yang didiagnosis memiliki beragam gangguan kesehatan mental seperti sexual sadism disorder dan anti-social personality disorder/psychopathy. Mirip dengan Joffrey, tapi Ramsay memiliki kegilaan yang ia tunjukkan dengan lebih sadis. Ia membunuh, menyiksa, memperkosa, dan membantai keluarganya untuk kemudian diberikan kepada anjing. Semua ini dilakukan demi kesenangan belaka.
Colt Blunt, pekerja forensik kejiwaan profesional, menyebut Ramsay memiliki perilaku yang diberi nama dark triad, satu set perilaku yang jahat secara partikular dan memiliki ciri narsisisme, Machiavellianisme, dan psikopati ekstrem. Jika Joffrey tak bisa merasakan empati, Ramsay secara umum membenci dan secara sadar menolak ide tentang empati. Ia merasa kepedulian sebagai sesuatu yang salah, kasih sayang itu menjijikkan, dan kebaikan sebagai hal yang buruk.
Apakah ini membuat Ramsay gila atau bodoh? Berkebalikan dengan itu Ramsay Bolton adalah sosok cerdas yang brilian. Dalam buku Ramsay lebih kejam dengan membuat tahanannya kelaparan hingga makan tikus, memperkosa teman Sansa Stark dengan anjing, hingga membuat korbannya memohon untuk dibunuh. Ia secara sadar mengabdikan diri kepada Lannister, menikahi Sansa Stark, merebut Winterfell dan menyusun pasukan untuk berperang melawan Jon Snow meski akhirnya kalah. Ia bisa membuat strategi perang, pemufakatan jahat, dan juga merencanakan perebutan Winterfell dari Ironborn dengan cerdas.
GoT menjadi salah satu tontonan atau bacaan yang menarik untuk dikaji secara psikologis. Mengapa buku juga penting untuk dibandingkan? Seri film ini merupakan adaptasi buku di mana banyak adegan, cerita, latar belakang, dan penjelasan karakter bisa didapatkan lebih tuntas di buku, sementara kerap di tayangan di HBO hanya memotong dan kadang menghadirkan cerita yang tak ada dalam buku.
Tirto mendapatkan kesempatan untuk berbincang bersama Dipa Raditya, salah seorang anggota Westeros Indonesia, komunitas pembaca serial novel A Song of Ice and Fire. Pertama-tama, mereka ingin meluruskan bahwa seri novel ini adalah A Song of Ice and Fire sementara Game of Thrones adalah judul pertama dari seri ini. Saat ini, telah ada lima buku yang terbit dan diperkirakan akan ada dua buku lain yang menyusul sebelum akhirnya tamat. Dipa menyebut banyak hal dalam buku yang bisa menjelaskan cerita GoT lebih baik daripada versi film yang kerap mengada-ada.
Karakter dalam buku juga lebih kompleks dan rumit karena mereka masing-masing punya cerita dan masa silam kelam yang mustahil dijelaskan secara utuh dalam seri. Menurut Dipa, karakter GoT di buku dan film memiliki perbedaan yang cukup substansial. “Seperti Stannis di buku dan TV series berbeda sekali. Dia great commander di buku, sering melempar joke sarkas, pragmatis namun calculating. Di TV, cuma digambarkan dia megalomaniak yang mengorbankan siapa pun biar dapat kekuasaan,” katanya.
Silvana, pendiri Westeros Indonesia di Depok menyebut bahwa adaptasi seri film di HBO memiliki keterbatasan. Dalam seri film ini banyak hal yang dikorbankan seperti pembunuhan karakter, penghapusan karakter dan plot penting, juga pembuatan cerita yang tidak ada di buku. Ia mencontohkan karakter Jaime Lannister yang direduksi oleh film.
“Di buku, Jaime adalah salah satu karakter yang menjalani apa yang kita sebut sebagai ‘character growth’. Di TV, Jaime mengalami kemunduran, karakternya dikirim ke Dorne melakukan hal yang tidak masuk akal, dan karakternya tidak berkembang. Jaime di buku ketiga dan buku kelima sudah sangat jauh berbeda dari Jaime GOT,” katanya.
Film seri di HBO menurut Silvana banyak merusak logika narasi seri A Song of Ice and Fire. Ia mencontohkan bagaimana Stannis Baratheon, komandan tempur terbaik di Westeros yang dibuat kalah menghadapi Ramsay Bolton.
“Para pembaca ASOIAF akan disuguhi “Battle of Ice” yang kanon [bukan fan fiction] di buku ke-6 di mana Stannis akan membuktikan kembali kemampuannya sebagai pemimpin. Lebih banyak karakter yang masih hidup dan berperan penting tetapi sudah dibunuh di [seri] GOT,” katanya.
Penulis: Arman Dhani
Editor: Maulida Sri Handayani