tirto.id - Berabad-abad sebelum Inggris membuat sepakbola populer, bola sudah ditendang-tendang di segala penjuru dunia.
Di Cina era Dinasti Han, Cuju, yang mempunyai makna harfiah menendang bola, dimainkan untuk melatih para prajurit sebagai hiburan. Bola terbuat dari kain yang diisi dengan bulu. Ada dua gawang di ujung lapangan permainan. Gawang itu digambarkan sebagai sebuah lubang yang digantung dengan menggunakan bambu.
Bagaimana caranya menentukan pemenang? Tentu saja, tim yang berhasil melewati terjangan tekel-tekel brutal dan mencetak banyak gol ke dalam gawang unik tersebut adalah pemenangnya.
Pada abad pertengahan, orang-orang Jepang juga sudah mempunyai permainan bola yang disebut dengan Kemari. Berbeda dengan Cuju, Kemari adalah permainan menjaga bola, yang biasanya terbuat dari kulit rusa, selama mungkin di udara. Tanah seluas enam hingga tujuh meter persegi menjadi area permainan. Di setiap sudut terdapat empat pohon—pinus adalah yang terbaik—yang digunakan untuk memantulkan bola. Permainan ini melibatkan empat pasangan atau delapan orang pemain.
Tidak hanya di Cina dan Jepang, pada zaman kuno bola juga menggelinding, memantul, dan disepak orang-orang dari tempat lain. Orang-orang Aborigin di Australia bermain Marn Gook, sebuah permainan bola yang tak kalah tua dari Cuju. Orang-orang Aztec di Meksiko menciptakan Tchatali. Harpastum juga sangat populer di kalangan pasukan Romawi.
Namun, permainan-permainan itu ternyata tidak pernah menjadi universal. Seperti menemui dinding pembatas tebal, permainan-permainan itu hanya melegenda di tempat masing-masing.
Dalam The Ball is Round: A Global History of Football (2007), David Goldblatt mengambil kesimpulan bahwa sepakbola menjadi universal karena faktor modernitas. “[...] bola itu setua dunia. Menendang bola itu setua dengan kemanusiaan. Masyarakat kuno tahu bola, tetapi sepakbola lahir karena modernitas,” katanya.
Pernyataan Goldblatt soal modernitas memang patut digarisbawahi. Dari sanalah Inggris mengambil peran. Sebelum memopulerkan sepakbola hingga ke seluruh dunia, mereka memodernisasi permainan sepakbola terlebih dahulu dan mendandaninya sedemikian rupa hingga terang benderang seperti sekarang.
Salah satu terobosan penting yang dilakukan orang-orang Inggris adalah mendirikan Football Association (FA) pada 26 Oktober 1863, tepat hari ini 155 tahun silam.
Cikal Bakal Football Association
Mengapa orang-orang Inggris bermain sepakbola dengan aturan yang berbeda-beda?
Pertanyaan itu menghantui Ebenezer Morley. Pengacara yang membentuk klub Barnes FC pada 1862 itu lantas mengutarakan keresahannya melalui sebuah tulisan di Bell’s Life, salah satu media Inggris yang paling terkenal pada pertengahan abad ke-19. Inti tulisan Morley sederhana: seperti di kriket, sepakbola Inggris seharusnya mempunyai satu aturan baku sehingga dapat dimainkan secara seragam.
Saat itu di Inggris memang banyak aturan yang diterapkan dalam permainan sepakbola. Hampir setiap daerah mempunyai aturan masing-masing. Dua aturan yang paling sering digunakan adalah Cambridge Rules dan Sheffield Rules. Cambridge Rules yang diprakarsai Unversitas Cambridge biasanya diterapkan di daerah Cambridge, sementara Sheffield Rules banyak diberlakukan di Inggris bagian utara.
Tulisan Morley ternyata menarik perhatian. Pada 26 Oktober 1863, para pelaku sepakbola di London dan sekitarnya, yang biasanya bermain sepakbola dengan aturan berbeda-beda, bertemu di Freemansons Tavern untuk membahas ide Morley. Ada wakil dari universitas dan 11 klub yang turut serta: Civil Service, FC Barnes, Crusaders, Crystal Palace, Blackheath, Proprietary School, Forest of Leytonstones, Kensington School, Surbiton, Kilburn, serta Charterhouse.
Dilansir dari situs resmi FA, mereka datang karena memiliki tujuan yang sama, yakni “membentuk asosiasi sepakbola untuk menetapkan aturan yang pasti dalam permainan sepakbola”. Rinciannya, mereka akan membentuk asosiasi terlebih dahulu, menciptakan aturan, dan seiring berjalannya waktu mereka akan menggodok aturan tersebut sebelum benar-benar diterapkan.
Dari situlah FA terbentuk dan menjadi asosiasi sepakbola pertama di dunia. Menyoal aturan pertandingan, Morley dipercaya untuk membuat drafnya. Aturan yang dibuat Morley itu akhirnya disetujui pada pertemuan keenam yang berlangsung pada 8 Desember 1863.
Beberapa di antara aturan itu adalah:
(1) Tidak ada mistar gawang, sehingga gol dapat dicetak dengan ketinggian berapa pun; (2) Membawa lari bola dengan tangan jelas dilarang, tetapi menangkap bola dengan tangan dalam keadaan diam diperbolehkan; (3) Tendangan sudut tidak diberlakukan; (4) Tidak ada aturan khusus mengenai penjaga gawang, durasi pertandingan, jumlah pemain, hukuman terhadap pelanggaran, hingga waktu turun minum.
Sembilan hari setelah aturan itu disepakati, FA menguji aturan tersebut dalam pertandingan antara Barnes melawan Richmond yang berakhir dengan skor 0-0.
Sayangnya, hadirinya FA beserta aturan yang dibuatnya tak serta merta disetujui semua pihak. Sejumlah sekolah umum di London bahkan mengabaikan FA berserta aturannya itu. Di luar London, klub-klub juga masih bermain memilih bermain dengan caranya sendiri termasuk dengan memperbolehkan hacking atau berlari dengan membawa bola yang ditentang oleh FA.
Dalam The Official History of Football Association (1991), Bryon Butler menulis, “Pada awalnya FA tidak mempunyai pengaruh yang dramatis dan meluas dalam pertandingan sepakbola di Inggris. Anggotanya sedikit dan otoritas serta aturan yang mereka buat sering ditentang dan diabaikan.“
Tak kunjung mempunyai nasib baik, Charles Alcock, yang saat itu menjabat sebagai sekretaris FA, menggagas ide untuk mengadakan kompetisi di bawah naungan FA. Kompetisi tersebut akan dilangsungkan dengan sistem gugur dan rencananya akan diikuti 55 klub anggota FA. ”Sangat diharapkan bahwa kompetisi yang berhubungan dengan asosiasi harus diadakan dan semua klub yang tergabung di dalam asosiasi harus ikut berkompetisi,” tutur Alcock.
Ide Alcock tersebut direalisasikan pada 1871. Meski pada akhirnya hanya diikuti 15 klub, Piala FA berhasil menjadi pijakan FA untuk memperluas anggota juga untuk memperbaiki aturan-aturan yang dibuatnya, sehingga mudah diterima para pelaku sepakbola Inggris.
Seiring berjalannya waktu, aturan-aturan FA yang diterapkan dalam Piala FA terus berkembang hingga mengarah ke peraturan sepakbola yang sekarang. Saat Piala FA pertama kali digelar, yakni pada 1871, kiper mempunyai peran yang spesifik: ia diperbolehkan menggunakan tangannya untuk menghindarkan gawangnya dari kebobolan. Pada 1882, garis tengah lapangan mulai dibuat, membagi wilayah kedua tim yang sedang bertanding. Sekitar lima tahun setelahnya, kotak penalti diciptakan dan tendangan penalti mulai diberlakukan untuk menghukum pelanggaran. Pada 1912, kiper hanya diperbolehkan memegang bola di dalam kotak penalti.
Dari situ, klub-klub Inggris secara perlahan mulai menyukai aturan yang diterapkan FA sekaligus mengakui keberadaan asosiasi sepakbola pertama di dunia tersebut. Alasannya: dengan aturan yang menarik, sepakbola ternyata bukan hanya olahraga yang asyik dimainkan dengan otot, tapi juga perlu menggunakan akal. Jika semula tim-tim Inggris hanya tahun formasi 2-1-7 yang mengandalkan kemampuan dribble, formasi-formasi lain kemudian bermunculan. Dari formasi 2-3-5 yang mengandalkan umpan-umpan pendek hingga formasi W-M yang tersohor itu.
Kesombongan Sepakbola Inggris
Untuk membuat standardisasi aturan di Britania Raya yang dapat digunakan di pertandingan Internasional, pada 1886 FA bersama Scottish Football Association (SFA), Football Association of Wales (FAW), dan Irish Football Associaton (IFA) membentuk International Football Association Board (IFAB). FIFA, otoritas tertinggi sepakbola di dunia yang berdiri pada 1904, kemudian menggunakan aturan yang diciptakan IFAB.
Meski begitu, terutama Inggris, negara-negara asal Britania Raya tersebut seringkali berselisih paham dengan FIFA. Bergabung bersama FIFA pada 1905, melalui FA, Inggris langsung mendesak FIFA agar mau menyingkirkan Jerman dan Austria-Hongaria, yang kemudian menjadi musuh Inggris di Perang Dunia Pertama. Karena FIFA menolak, Inggris akhirnya memutuskan keluar dari FIFA.
Yang menarik, setelah kembali bergabung bersama FIFA pada 1924, Inggris kembali bersitegang dengan FIFA. Kali ini isu pembayaran para pemain amatir menjadi masalahnya. Inggris lantas keluar lagi dari anggota FIFA pada 1928.
Setelah itu, meski diundang FIFA untuk ikut serta, Inggris menolak untuk berpartisipasi dalam gelaran Piala Dunia 1930, 1934, juga 1938. Ada asumsi yang mengatakan bahwa Inggris menolak karena krisis keuangan melanda dunia setelah perang. Namun, menurut Sporting Heritage, Inggris menolak ikut serta Piala Dunia karena tingkah congkak mereka. Mereka ingin selalu dianggap sebagai negara kuat dan setiap kegagalan, termasuk dalam sepakbola, hanya akan menodai kegagahan mereka.
Tingkah congkak Inggris dapat dilihat beberapa saat setelah Piala Dunia 1934 berakhir. Saat itu mereka mengundang Italia, juara Piala Dunia, untuk melangsungkan pertandingan persahabatan di Inggris. Dalam pertandingan yang berlangsung di Highbury itu, Inggris menang 3-2. Pers Inggris, seperti diwartakan The Guardian, memberi label pertandingan itu sebagai “pertandingan final Piala Dunia sesungguhnya”.
Saat aturan yang dibuat FA diterima di seluruh dunia, kesombongan tersebut pada akhirnya hanya membikin sepakbola Inggris jalan di tempat. Kembali bergabung dengan FIFA pada 1948, Inggris hanya sekali menjadi juara dunia, yakni saat menjadi tuan rumah Piala Dunia 1966. Selebihnya, Inggris hanya meninggalkan lelucon di dalam setiap keikutsertaan mereka dalam kompetisi sepakbola dunia.
Lalu, bagaimana cara orang-orang Inggris menyikapi keadaan sepakbola mereka yang menyedihkan?
Menurut George Mikes dalam How to be an Alien (1946), orang Inggris terbiasa bersikap absurd. Mereka suka ngobrol tentang cuaca, sinis terhadap orang pintar, juga menyukai antre. Perkara antre, Mikes bahkan menyebut bahwa “meskipun tidak ada orang lain, mereka akan memulai antrean.”
Tingkah absurd orang Inggris tersebut juga dapat dilihat dalam sepakbola. Negara yang mengklaim sebagai “bapak sepakbola modern” itu selalu mendewakan sejarah. Setidaknya, pernyataan Simon Kuper, salah satu penulis sepakbola ternama, bisa menjadi patokannya.
Suatu waktu, menurut David Winner dalam Those Feet: A Sensual History of English Football (2005), Simon Kuper pernah mengatakan, “Saya besar di Belanda pada 1980-an tapi hampir tidak ada orang Belanda yang membicarakan kehebatan timnas Belanda di Piala Dunia 1974. Benar-benar tidak ada. Namun di Inggris, orang-orang tidak pernah berhenti membicarakan kemenangan Inggris pada Piala Dunia 1966. Seolah-olah itu baru saja terjadi. Di Inggris, masa lalu bisa tampak lebih nyata daripada masa kini.”
Editor: Ivan Aulia Ahsan