tirto.id - PP Nomor 18 Tahun 2017 yang disahkan oleh Presiden Jokowi Dodo 2 Juni 2017 lalu memperbolehkan adanya kenaikan tunjangan DPRD tergantung peraturan daerah masing-masing. Sekretaris Jenderal Forum Indonesia Transparansi Anggaran (FITRA) Yenny Sucipto menilai bahwa hal ini tidak mungkin dilakukan karena akan memberatkan daerah dalam hal pembiayaan tunjangan.
“Kalau kita melihat problematika yang ada, di 12 provinsi memang indeks kemampuan fisikalnya memang tinggi, tapi kita tidak bisa menegasikan bahwa ada 16 provinsi yang indeks fiskalnya sangat rendah,” jelas Yenny, Senin (24/7/2017).
Menurutnya, kenaikan tunjangan hasil dari janji Presiden Jokowi ini merupakan sesuatu yang tidak berdasar. Menurutnya, dari 524 kabupaten/kota di Indonesia, ruang fisikal rata-rata hanyalah 23 persen saja. Dari situ, maka suatu daerah akan sangat sulit untuk melakukan alokasi pembiayaan ke tunjangan anggota DPRD.
Sebagian kabupaten kota juga sangat ketergantungan terhadap daerah alokasi khusus (DAK) dan daerah alokasi umum (DAU) dan mendapat bantuan fisikal dari kota sebesar 80 persen. Menurut Yenny, hanya ada 60 kabupaten saja yang tergolong kaya untuk menghidupi daerahnya sendiri.
Dan apabila memang ada kenaikan tunjangan bagi anggota DPRD, maka alokasi tersebut – bukan tidak mungkin – akan dihasilkan dari dana pendidikan dan kesehatan. Padahal sejatinya, dana pendidikan harus mendapat alokasi APBD sebesar 20 persen. Inilah yang menjadi beban bagi daerah.
“Ini akan memangkas belanja rutin,” katanya.
Sebagai contoh, Yenny memaparkan bahwa kota Palu saja menghabiskan APBD sebesar 80 persen untuk belanja pegawai, sedangkan daerah lain 70-80 persen daerah lain menghabiskan untuk masalah birokrasi.
Di Papua saja, dikatakan Yenny, APBD untuk pendidikan pada tahun 2016 hanya sebesar 1,4 persen dan jelas tidak memenuhi standar alokasi pendidikan 20 persen. Hal ini menjadi catatan Yenny bahwa semakin tidak mungkin bagi daerah untuk mengalokasikan dana untuk tunjangan anggota DPRD.
“Dampak sederhananya adalah kalau tidak mengedepankan prinsip keadilan akan meningkatkan angka kemiskinan,” jelasnya.
Dalam hitungannya, jumlah DPRD Provinsi yang ada sebanyak 2.137 kursi ditambah dengan DPRD kabupaten/kota sebanyak 17.560 dan kemudian dikurangi kursi DPR RI sebanyak 560 kursi, maka akan ada 19.697 anggota DPRD yang memakan kenaikan tunjangan rata-rata sebesar Rp35 juta. Jika ditotal, maka pengeluaran negara untuk belanja pegawai DPRD di Indonesia adalah sebesar Rp689,3 miliar dalam 1 bulan atau Rp8,2 triliun dalam 1 tahun.
Sedangkan, APBD yang dialokasikan ke daerah saja, contohnya, Jambi, sebesar Rp1,3 triliun untuk tahun 2017. Tentu sangat sulit dengan jumlah sekecil itu untuk meningkatkan tunjangan bagi anggota DPRD yang sedang menjabat.
“Representasi ada uang paket ada uang kelengkapan itu di luar gaji dan tunjangan itu. Jika kemudian di rata-rata kabupaten/kota dikeluarkan alokasi di beberapa kabupaten/kota yang miskin, saya kira ini akan menghabiskan spending untuk sektor publik,” tegasnya.
Sedangkan Riesqi Rahmadiansyah selaku pengacara publik, dengan kenaikan tunjangan anggota DPRD ini menilai adanya kepentingan politis dalam kebijakan ini. Utang negara makin bertumpuk, tapi pemerintah malah membagi-bagi uang kepada anggota DPRD. Hal ini dinilai sebagai perbuatan pelanggaran moral, kecuali uang tersebut dialokasikan buat pembangunan infrastruktur. “Semacam sogokan agar menurut,” tuturnya.
Atas PP yang diterbitkan ini, Riezqi menjelaskan bahwa pihaknya bersama FITRA sedang berusaha untuk mengkaji lebih lanjut dan nanti akan mengajukan gugatan uji materiil ke Mahkamah Agung. Meski uji materiil yang akan dilakukan nanti bersifat tertutup, Riezqi optimis bahwa MA akan melihat masalah PP tentang kenaikan tunjangan anggota DPRD ini dengan berpihak pada rakyat.
“Kami meminta agar pemerintah mencabut PP Nomor 18 Tahun 2017. Ini adalah politis perbuatan melanggar hukum atau perbuatan melanggar moral,” tegasnya.
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Maya Saputri