Menuju konten utama

Film Kim Ji-young, Born 1982: Diskriminasi Ibu Bekerja di Korsel

Film Kim Ji-young, Born 1982 mengkisahkan tentang diskriminasi terhadap perempuan pekerja di Korea Selatan.

Film Kim Ji-young, Born 1982: Diskriminasi Ibu Bekerja di Korsel
Kim Jiyoung, Born 1982. Foto/imdb

tirto.id - Film berjudul Kim Ji-young, Born 1982 yang telah rilis di Korea Selatan (Korsel) menuai pro dan kontra. Film tentang perlakukan diskriminatif terhadap ibu atau perempuan yang telah punya anak di tempat kerja ini rencananya bakal ditayangkan di Indonesia pada 20 November 2019 mendatang.

Diadaptasi dari novel berjudul sama yang terbit pada 2016, Kim Ji-young, Born 1982 mengisahkan hidup seorang wanita berusia 30-an tahun yang mengalami diskriminasi gender di setiap titik dalam hidupnya.

Kim lahir di keluarga patriarkis. Saat Kim dilahirkan, ibunya meminta maaf kepada mertuanya karena melahirkan anak perempuan, bukan laki-laki seperti yang diharapkan.

Setelah dewasa, Kim bekerja di bidang yang sesuai minatnya. Ia mencintai pekerjaannya, namun terpaksa mengundurkan diri ketika ia hamil. Kim kemudian menjadi ibu rumah tangga.

Perlahan, ia berubah menjadi seperti ibunya, juga banyak wanita lainnya di Korea Selatan, yang terkungkung jeratan patriarki.

Diskriminasi Perempuan Bekerja

Kisaha dalam Kim Ji-young, Born 1982 bukan fiksi semata, melainkan potret kehidupan nyata di Korea Selatan yang masih konservatif.

Oleh kalangan anti feminis di Korea Selatan, novel Kim Ji-young, Born 1982 menuai kritik, dituding sangat subjektif, menyimpang, membuat generalisasi negatif dan seksis terhadap kaum pria, demikian BBC mewartakan.

Salah satu adegan diskriminasi yang mengubah hidup Kim adalah pemecatan dirinya karena hamil dan menjadikannya sebagai ibu rumah tangga seumur hidup, sesuatu yang tidak sesuai dengan kehendak hatinya.

Praktik diskriminasi di tempat kerja bagi perempuan hamil atau melahirkan, yang masih sering ditemukan di Korsel, bisa dilalukan oleh atasan maupun rekan sekerja.

Bentuk perlakukan diskriminatif itu, tulis U.S Equal Employment Opportunity Commission (EEOC), adalah segala tindakan tidak adil dalam urusan perekrutan, pemecatan, pembayaran, pembagian tugas kerja, promosi, cuti, pelatihan, bonus kerja, asuransi kesehatan, kesejahteraan, dan lainnya.

Perempuan hamil umumnya tidak dapat melakukan pekerjaan layaknya pegawai normal, sehingga harus ada tindakan alternatif seperti penyesuaian tugas, atau bahkan cuti, jika mengalami masalah dengan kehamilan tersebut.

Pemutusan hubungan kerja di luar kehendaknya, seperti yang dialami Kim seharusnya tidak terjadi. The Pregnancy Discrimination Act (PDA) menyebut ini sebagai salah satu bentuk diskriminasi.

Diskriminasi lainnya, dan yang paling umum terjadi, adalah masalah gaji dan senioritas di tempat kerja. senioritas di tempat kerja termasuk beban tugas dan hak istirahat atau cuti cek kesehatan yang kerap diabaikan.

The Times melansir, tiga perempat ibu bekerja mengalami diskriminasi di tempat kerja yang mereka sebut sebagai penalti ibu bekerja, yaitu masalah upah kerja dan senioritas yang disebutkan sebelumnya.

IFS pada 2016 mendeskripsikan hal tersebut, "Kenaikan bertahap namun berkelanjutan dalam kesenjangan upah [...] hingga anak pertama berusia 12 tahun, upah per jam wanita hanya sepertiga dibanding upah pekerja laki-laki."

Rowan Davies dalam The Guardian menyebut, perusahaan cenderung memilih pegawai yang minim resiko tanggungan kesehatan, masa produksi panjang, tidak ada risiko gaya hidup, dan tidak memiliki latar belakang sulit untuk mengurangi tanggungan perusahaan.

Pekerja yang produktif secara seksual memiliki beban tanggungan yang lebih besar daripada pria. Untuk memenuhi tuntutan perusahaan mereka secara tidak langsung dipaksa bekerja lebih dari jam kontrak.

Penelitian dari Working Families 2016 (PDF) mengonfirmasi temuan tersebut, bahwa ayah dan ibu yang bekerja full-time rata-rata bekerja lebih dari kuantitas waktu kerja sesuai kesepakatan.

Agar tidak lebih berat di sisi perempuan, Davies menyarankan agar ayah juga dilibatkan saat mengambil cuti hamil sebagai tanggung jawab penuh seorang ayah dalam membesarkan anak.

Baca juga artikel terkait DISKRIMINASI PEREMPUAN atau tulisan lainnya dari Anggit Setiani Dayana

tirto.id - Film
Kontributor: Anggit Setiani Dayana
Penulis: Anggit Setiani Dayana
Editor: Iswara N Raditya