tirto.id - Yuri (bukan nama sebenarnya) adalah perempuan asal Tokyo yang pernah berstatus siswi sekolah menengah atas sekaligus anggota ekstra kurikuler drama. Dulu ia punya rencana meneruskan pendidikan ke sekolah vokasi untuk belajar mode busana.
Tak banyak orang yang tahu: di sela-sela studi, pada usia 16-17 tahun, Yuri sempat bekerja di industri JK sebagai cosplayer.
Pekerjaan itu menuntut dirinya dan teman-teman satu perusahaan lain untuk mau didandani serupa karakter anime atau video game untuk sesi foto-foto di sebuah gedung apartemen. Di lain waktu ia juga wajib menemani para pelanggan pria dewasa untuk bersenang-senang di tempat karaoke.
Kisah Yuri dilaporkan Ishikawa Yuki di kanal Nippon, pada awal Mei 2017. JK adalah kepanjangan dari “Joshi Kosei” yang artinya gadis sekolah menengah. Para pria bisa menyewa mereka untuk berkencan dengan cara mendatangi tempat para gadis biasa mangkal.
Salah satu titik paling terkenal untuk berburu gadis-gadis JK adalah daerah Akihabara di Tokyo, terutama di Gang JK. Di Gang JK, para gadis usia sekolah menengah menawarkan jasa kencan melalui pamflet yang berisi “menu” layanan. Mereka biasanya masih mengenakan seragam sekolah atau sudah berdandan ala cosplayer.
Layanannya beragam. Ada gadis JK osanpo yang menemani pelanggan berjalan-jalan. Ada JK cafe untuk layanan teman mengobrol, bermain game, diramal dengan menggunakan kartu tarot, atau pemotretan sebagai cosplayer di cafe. Ada JK rifure untuk pelanggan tiduran di paha sang gadis JK, sambil dipijiti, atau dapat pelukan sesudahnya.
Semua layanan dibatasi waktu. Tergantung berapa uang yang pelanggan bayar. Maret lalu BBC Three merilis dokumenter yang mengulas fenomena ini dengan tajuk Young Sex For Sale in Japan. Reporter Stacey Dooley mengungkap perkiraan harganya adalah Rp660 ribu untuk 40 menit kencan di kafe—termasuk biaya minuman keras.
Lain layanan lain pula harganya. Semakin lama durasinya, semakin mahal tagihannya. Pendapatan rata-rata yang diterima para gadis JK berkisar di angka Rp190 ribu per jam. Itu saja sudah sangat lumayan, sebab jumlahnya bisa dua kali lipat dari gaji kerja paruh waktu di industri jasa lain.
Banyak gadis yang masuk ke bisnis ini karena tergiur bayaran. Termasuk Yuri, yang merasakan gaji Rp2,6 juta per bulan saat bekerja paruh waktu di sebuah restoran. Upah itu tidak mencukupi kebutuhan sehari-harinya.
Pada suatu hari, temannya membagi info lowongan gadis JK dengan jumlah gaji yang lebih besar serta jam kerja lebih sedikit. Yuri awalnya ragu dan malu. Untungnya pelamar boleh mendaftar secara anonim.
Ia memilih nama “Momo”. Perusahaan yang ia tuju memilah penampilan dan latar belakang pelamar ke berbagai peran. Oleh perusahaan Yuri dirasa cocok sebagai gadis JK yang mampu menonjolkan kemampuan akting, mengingat sebelumnya ia cukup aktif di ekskul drama.
Bayangan awal Yuri tentang orang-orang yang berkecimpung di dunia JK adalah sekumpulan pria bertampang menyeramkan. Namun, yang membukakan pintu saat pertama kali ia ke kantor adalah seorang perempuan yang ramah dan bersahabat. Perempuan itu juga yang mengurus wawancara hingga persiapan kerja Yuri.
Keberadaan para karyawan perempuan membuat Yuri merasa aman di masa permulaan kerja. Suasananya menyenangkan, akunya. Gadis-gadis JK lain jadi temannya. Para senior ia anggap sebagai kakak sendiri. Terkadang mereka juga diajak makan di luar bersama, ke tempat-tempat yang menjual makanan enak.
Yuri bersyukur karena bisa menghasilkan uang dengan cara mudah. Ia pun memutuskan untuk bekerja secara reguler. Harga dirinya melambung akibat sering dipuji sebagai “siswi SMA yang cantik, tidak seperti yang lainnya”.
Situasi ini punya konsekuensi yang berat: Yuri makin patuh pada bos. Gaji tinggi dan dukungan sosial yang diberikan perusahaan membuat Yuri tak berani menolak permintaan pelanggan. Ia tak ingin dianggap tidak loyal atau mengkhianati komitmen awal.
Lama kelamaan, kontrol perusahaan terhadap Yuri semakin besar. Kondisi ini menuntun Yuri kepada dampak yang dialami gadis-gadis JK lain serta tidak pernah ia antisipasi: mendapat pelecehan dan kekerasan seksual.
Sekali dua kali, ia diajak berhubungan seksual oleh klien, yang rata-rata adalah pria dewasa hidung belang. Ia tak mampu menolak, dan saat diperkosa pun tak kuasa untuk melawan.
Pertimbangannya mengerucut pada risiko kehilangan pekerjaan. Ia tak punya alternatif pekerjaan lain dengan jam kerja yang manusiawi dan gaji yang cukup untuk menambal biaya kebutuhan sehari-hari.
Sejumlah gadis JK lain terpaksa menerima pelecehan atau kekerasan seksual akibat perusahaannya yang menerapkan kompetisi sengit antar pekerja. Mereka diurutkan berdasarkan performa dalam menyenangkan klien.
Gadis di ranking teratas akan diganjar bonus dan diajak untuk ikut makan malam spesial. Foto-foto menyenangkan selama diajak makan malam disebar ke gadis-gadis lain sebagai motivasi. Mereka dituntut secara halus agar makin giat menyenangkan klien—termasuk jadi objek pelampiasan birahi.
Pelacuran Terselubung
Empat tahun silam, Tomohiro Osaki dari Japan Times melaporkan pengalaman gadis-gadis JK yang awalnya trauma, namun lama-lama terbiasa. Sejak awal, mereka telah memahami risiko bekerja untuk jasa penyewaan kencan di negaranya.
Tomohiro kemudian mengutip laporan tentang perdagangan manusia yang dipublikasikan oleh Departemen Luar Negeri AS pada Juni 2014. Di dalamnya, untuk pertama kali, pemerintah AS menyinggung industri JK sebagai bentuk prostitusi anak.
"Jaringan prostitusi yang canggih dan terorganisir menargetkan perempuan usia muda dan usia anak-anak di tempat-tempat umum, seperti kereta bawah tanah, tempat nongkrong remaja populer, sekolah-sekolah, dan melalui jaringan online," kata laporan itu.
Ishikawa mengutip data Departemen Kepolisian Metropolitan Tokyo 2016 yang menyebutkan setidaknya 174 lokasi yang digunakan para gadis JK untuk menawarkan layanannya. Jumlah 174 lokasi baru meliputi Tokyo saja.
Kembali mengutip laporan BBC Three, Jepang adalah rumah bagi 300 kafe yang berstatus spesialis tempat kencan bagi pria dewasa dan gadis JK sewaannya. Diperkirakan ada hampir 5.000 siswi sekolah menengah di seantero Negeri Matahari Terbit yang menyewakan dirinya di bisnis JK.
Praktik ini barangkali mengejutkan jika terjadi di Indonesia dan negara lain, sekaligus mengundang pertanyaan: apa saja yang diperbuat pihak berwenang Jepang?
Persoalannya, di atas kertas, bisnis JK memang resmi dan legal. Ia tak bisa direpresi secara semena-mena, asal gadis-gadis yang terlibat tidak di bawah umur. Realitasnya: banyak yang masih berusia di bawah 18 tahun.
Pihak berwenang tahu akan hal ini dan kadang menggerebek kantor-kantor perusahaan JK yang bermasalah. Sayangnya, aksi mereka belum mampu menghentikan bisnis ini. Jasa sewa gadis-gadis di bawah umur tetap lestari. Hubungan dengan aparat keamanan setempat bak kucing-kucingan belaka.
Anna Fifield dari Washington Post pernah meminta pendapat Kazue Muta, profesor Sosiologi dan Studi Gender di Universitas Osaka, soal penyebab menjamurnya bisnis JK di Jepang. Ia mengatakan pria-pria di Jepang memang menyenangi gadis-gadis usia sekolah menengah.
Ia menambahkan elemen tabu yang melekat pada seragam siswi SMA membangkitkan fantasi dan gairah seksual. Mereka berusaha menyalurkannya meski dengan cara menyewa. Elemen tabu juga ingin mereka praktikkan kepada siswi SMA, sehingga kasus kekerasan seksual kepada gadis-gadis JK jamak terjadi.
“Jepang adalah masyarakat yang patriarkal. Warganya punya selera bahwa (perempuan) yang muda dan tampak polos justru lebih berharga dan lebih memikat,” jelasnya.
Secara umum praktik kencan transaksional sudah ada sejak lama di Jepang. Istilahnya “Enjo-kosai” atau cukup disingkat “enko”. Pria dewasa (atau yang beranjak tua) memberikan uang dan/atau hadiah mahal kepada perempuan (yang lebih muda) agar ditemani atau untuk berhubungan seks.
Merujuk kembali ke laporan Ishikawa Yuki, siswi SMA yang mau menjalani profesi sebagai gadis JK tidak hanya didorong motif ekonomi. Kebanyakan dari mereka adalah korban kemiskinan, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), atau perceraian orangtua.
Beberapa gadis sengaja tidur di kantor perusahaan agar bisa terhindar dari perlakuan kasar orangtua di rumah. Ishikawa menyimpulkan bahwa budaya kekerasan di rumah menyebabkan mereka tak sadar tengah jadi korban kekerasan dalam bisnis JK.
Para perempuan muda itu tumbuh tanpa anggota keluarga yang bisa mereka percayai, juga yang tidak mampu memenuhi kebutuhan atas afeksi (kasih sayang) mereka.
Kehidupan sosial mereka di sekolah pun terganggu. Kesimpulan kedua Ishikawa: sejak awal mereka memang dalam posisi yang rapuh. Mereka tidak punya sistem pengamanan diri yang kuat dari godaan pemilik bisnis JK.
“Industri JK terkait dengan aspek paling gelap dari masyarakat Jepang. Perannya dalam menarik gadis-gadis SMA ke arah industri seks didukung oleh kemiskinan dan kehancuran keluarga yang menimpa anak-anak perempuan, di era kekinian,” pungkasnya.
Editor: Windu Jusuf